🌹'12|Sakya.

666 46 0
                                    

"Lo di mana setan! Io ngilang kemana? Ini udah malem!"

Sakya menjauhkan ponsel dari telinganya—menghindar dari teriakan Lavino di sebrang sana.

"Berisik anjing! Gua lagi—"

"Berani macem-macem di luar sana, lo mati di tangan gua!"  ancam Lavino yang malah dibalas tawa keras oleh Sakya.

"Gua gak main-main! Lo lagi di mana biar gua jemput," tanya Lavino dengan nada kesal.

"Bisa biarin gua sendiri gak? Gua muak tau gak sama lo semua!"

"Sakya!"

"Gak usah so peduli dan so perhatian, gua gak butuh itu semua dari lo—"

"WOY ANAK DAJJAL! BALIK LO SETAN. ATAU LO GUA SERET DARI SITU—"

Tut... tut...

Sakya mematikan sambungan teleponnya, meletakan ponselnya di lantai dan kembali memperhatikan langit yang terlihat kosong tanpa bintang.

"Kenapa? Lagi ada masalah sama temen-temen kamu?" Romi duduk di samping Sakya sambil memberikan gelas berisi kopi pada Sakya.

Sakya menerima gelas yang di sodorkan oleh Romi, lalu meletakannya di samping ponselnya.

"Entah lah, Pak. Sakya muak sama orang-orang yang bermuka dua," kata Sakya dengan helaan napas di akhir kalimat.

"Maksudnya?" tanya Romi dengan raut wajah bertanya.

"Mereka yang mengaku teman tapi di belakang ternyata musuh Sakya, Pak." Sakya tertawa pelan.

"Benarkah? Atau itu hanya perasaan kamu aja?" tanya Romi yang seakan-akan tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Sakya barusan.

Sakya menggeleng pelan, mengambil gelas kopi dan meneguknya dengan perlahan.

"Sakya pamit pulang yah, Pak. Salam sama Ibu," kata Sakya setelah meletakan kembali gelas di tempatnya dan berdiri dari duduknya.

Romi ikut berdiri, "gak mau nginep aja?" tanyanya.

Sakya menggeleng, "besok Sakya sekolah, Pak."

"Yaudah hati-hati di jalan yah. Langsung pulang jangan belok ke tempat lain dulu," perintah Romi yang diberi angguk oleh Sakya.

"Sakya pamit, assalamualaikum." Sakya menyalimi tangan Romi dan berlalu pergi dengan berjalan kaki menelusuri jalanan perkampungan menuju jalan raya.

"Kamu membangun tembok masa lalu dengan begitu kokoh, hingga menimbulkan luka yang kamu buat sendiri."

•••

Untuk kesekian kalinya Sakya menghela napas. mau tidak mau bahkan ingin tidak ingin ia harus tinggal di Apartement Salsa untuk sementara waktu. Mungkin hanya beberapa hari, setelah itu ia akan mencari Apartement lain untuk ia tinggali.

"Sakya!" Salsa yang tengah menonton acara televisi refleks berdiri saat melihat Sakya yang baru saja masuk dengan penampilan yang terlihat berantakkan.

Benar-benar cara yang ampuh untuk membedakan antara Sakya dan Taksa.

"Lo baik-baik aja, kan?" tanya Salsa setelah mendekat pada Sakya, memperhatikan wajah Sakya yang masih memperlihatkan bekas luka.

"Berisik! Gua cape," gertak Sakya. Berlalu melewati Salsa dan berlalu masuk ke dalam kamar yang berada di samping kamar Salsa.

Sebuah kamar yang memang Sakya sediakan jika sewaktu-waktu orang tua Salsa berubah pikiran dan mau tinggal di Apartement ini.

"Sakya—"

Sakya menghela napas dengan kasar, ia baru saja ingin memejamkan matanya. Tubuhnya lelah, ia butuh istirahat. Namun dengan menyebalkannya Salsa malah terus saja menganggunya.

"Gua boleh nanya?" Salsa duduk pada kursi rias yang terletak di samping ranjang, menatap Sakya dengan raut wajah ragu.

"Gak. Mending lo keluar," usir Sakya sambil merubah posisinya menjadi memunggungi Salsa.

"Sakya!" panggil Salsa lagi.

"Ck! Ganggu banget sih lo." Sakya bangun, menatap Salsa dengan sorot mata tajamnya.

"Buruan apa? Gua cape mau tidur!" kesal Sakya.

"Kenapa lo gak bilang ke gua kalo mau ke rumah orang tua gua?" tanya Salsa dengan penuh hati-hati, ia tidak mau membuat Sakya marah atau membuat pemuda itu semakin kesal.

Karna Salsa tau, sesimpel apa pun pertanyaanya, tetap akan berakhir membuat Sakya kesal dan marah. Karna Salsa tau jelas jika Sakya tidak menyukainnya dan benar-benar muak padanya.

"Harus banget gua bilang ke lo dulu? Lo bukan siapa-siapa gua," ucap Sakya dengan snatainnya, bahkan tanpa berfikir dua kali saat mengucapkannya.

"Gua? Bukan siapa-siapa lo? Beneran?" tanya Salsa dengan tenang, namun nadanya dan sorot matanya terlihat jelas jika ia terkejut dan merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Sakya.

"Keluar gih, muak gua lama-lama," ucap tajam Sakya dan langsung membaringkan kembali tubuhnya.

"Sakya ... udah sejauh ini dan lo bilang kalo gua bukan siapa-siapa lo?" Salsa menatap nanar pada Sakya yang berbaring memunggunginya.

Ini menyakitkan untuk Salsa. Ia tidak masalah dengan kasar dan kerasnya Sakya padanya. Tapi, saat Sakya sendiri bilang jika dirinya bukan siapa-siapa bagi pemuda itu, lalu selama ini mereka apa? Untuk apa mereka bertahan sampai sejauh ini meski pun hanya dirinya yang berjuang? Untuk apa Sakya memberikannya perhatian kecil pada saat yang terduga jika dirinya bukan siapa-siapa untuk pemuda itu?

"Salsa! Gua bilang keluar!" usir Sakya dengan suara dinginnya.

Salss menghela napas lirih, mendongkak menatap langit kamar untuk menahan air matanya yang akan menerobos keluar.

Salsa tidak tau apa maksud Sakya yang menahannya selama ini, memaksanya agar tetap tinggal dan tidak beralih pada yang lain. Apa maksud dari itu semua hanya untuk kesia-siaan saja?

Salsa berdiri dan berlalu keluar dengan perasaan yang mendadak hancur. Padahal beberapa menit yang lalu ia tengah begitu mencemaskan Sakya.

•••

𝐒𝐚𝐤𝐲𝐚: 𝐈'𝐦 (𝐧𝐨𝐭) 𝐨𝐤𝐚𝐲!✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang