Chapter 2

1.4K 169 6
                                    

Yessica Natio, itulah namaku. Nama keluargaku telah berubah seiring dengan berubahnya hidupku. Takkan ada lagi kehangatan yang biasa kurasakan saat nenek Saras memelukku. Takkan ada derai tawa dan canda milikku dan Kak Aran. Takkan ada senyuman dari semua sahabatku. Aku putus kuliah. Ayah suamiku bilang aku hanya perlu diam dirumah mengurus rumah tangga.

Tak ada senyum dan tak ada binar kebahagian dalam kehidupan rumah tanggaku. Semua terasa hampa dan sunyi. Walaupun serumah, Shani tak pernah menegur ataupun menyapaku seperti pasangan lainnya.

Tak ada ucapan 'Selamat malam istriku' kala aku berbaring disampingnya. Yang ada hanya tendangan kakinya yang mengusirku kala aku naik ke atas ranjang kami. Ia tak sudi tidur seranjang denganku. "Jijik aku tidur sama kamu!" Itulah yang keluar dari mulutnya.

Tak ada ucapan 'Selamat pagi sayang!' saat aku terbangun dalam pelukannya. Yang ada hanya gerakan tangannya yang menjambak rambutku jika ia lebih dulu bangun. "Dasar malas! Tidur saja yang kamu bisa!" kalimat itulah ucapan selamat pagi ala suamiku. Ucapan yang lebih baik jika disebut dengan makian.

Sakit, hati sakit. Aku merana. Tak pernah kudapatkan perlakuan baik darinya. Aku tidur disofa depan ruangan tamu. Disanalah aku tidur bersama dengan anakku. Anak yang ada dalam kandunganku. Aku bertahan disini karena anakku. Bersabarlah nak, lahirlah kedunia dengan selamat. Dengan itu kau bisa melindungi bunda.

Pagi-pagi sekali ia sudah berangkat kuliah dan baru pulang ketika larut malam. Tak jarang ia pulang mabuk. Dengan keadaan yang sangat tak enak untuk dilihat. Tak jarang aku menemukan noda-noda kemerahan disekitar lehernya. Juga harum parfum wanita yang terkadang menguar di pakaiannya.

Selama aku hamil, ia tak pernah sedikitpun menanyakan bagaimana keadaan anak dalam kandunganku. Ia tak pernah membawaku ke rumah sakit untuk mengecek kehamilanku. Aku pergi sendiri. Aku pergi ke bidan yang tak jauh dari rumah dengan uangku sendiri. Ia tak pernah memberiku nafkah. Aku tidak dinafkahi olehnya. Padahal yang kutahu ayah dan ibunya selalu memberikan uang padanya untuk kehidupan keluarga. Tapi tak sepeserpun uang itu kudapatkan.

Aku memutuskan untuk bekerja dirumah. Aku meminta bantuan Kak Aran untuk mengirimkan peralatan memasakku kesini. Aku mulai dengan membuat kue dan menitipkannya ke cafe yang tak jauh dari rumah kami dengan modal dari tabunganku. Uang hasil dari usaha kecilku ini kugunakan untuk menyiapkan kelahiran anakku nanti dan juga untuk makanku sehari-hari. Ya... hanya untuk makanku. Karena ia tidak pernah sudi makan-makanan yang dibuat olehku. Ia selalu makan diluar.

Setiap hari hanya cacian dan makian yang dikeluarkan oleh Shani. Aku ikhlas menerima semua itu. Dan entah kenapa aku malah semakin mencintainya. Bodoh? Ya aku bodoh. Orang pintar tak akan tahan hidup bersama orang seperti Shani. Hanya orang bodoh seperti aku yang tahan dengan siksaan fisik dan mental yang ia berikan.

Sebulan, dua bulan, sembilan bulan sudah aku bertahan dengannya. Sampai satu hari aku merasakan sakit yang amat sangat mendera perutku. Aku akan melahirkan? Ya... kupikir begitu. Aku berjalan dengan gagah ke tempat bidan. Tak kuhiraukan rasa sakit itu. Tekadku hanya satu, anakku harus lahir.

Disaat banyak ibu muda yang bahagia karena dapat melihat anak mereka lahir kedunia didampingi oleh suami mereka. Disinilah aku, berbaring menahan sakit. Berjuang untuk melahirkan anakku tanpa ada suami yang mendampingi. Aku berjuang sendirian.

Shani datang. Ia datang karena aku menelponnya. Aku tak ingin orang lain curiga karena aku melahirkan tanpa didampingi suami. Karena memang itulah yang diinginkan Shani. Shani ingin agar orang lain tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada rumah tangga kami.

Ia selalu baik, ramah dan perhatian padaku didepan para tetangga, keluarga dan kerabatnya. Tapi jika tak ada mereka. Jangan harap, yang ada malah makian, pukulan dan tendangan.

"Dasar istri merepotkan!" Itulah yang kalimat terakhir yang aku dengar ketika aku memberitahunya kalau aku telah melahirkan.

Ia duduk disampingku. Disamping tempat tidur rumah sakit. Begitu ia tahu aku melahirkan dibidan, ia langsung memindahkanku kerumah sakit. Biasa, Natio. Banyak gengsinya dari pada cintanya.

Ia duduk dengan tampang sumringah. Ya... Sumringah karena disana ada ayah, ibu, dan kakaknya serta nenek Saras dan kak Aran. Kita lihat saja nanti, begitu mereka semua pergi juga ia akan langsung mengacuhkanku. Tapi aku senang, biar sebentar tapi aku dapat melihat senyumnya.

Aku hanya menatap wajahnya sendu. Semakin lama menatapnya aku semakin mencintainya, tapi seiring dengan perasaan cinta yang kurasakan, aku juga dapat merasakan sakit yang amat sangat dihatiku. Sakit yang berasal dari lubang dihatiku yang dibuat olehnya.

-&-




Next update kalo vote diatas 100.✌🏻

Memori Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang