Jam sudah menunjukan pukul satu siang. Waktu dua jam rasanya cukup bagi Chika dan Zee untuk berjalan-jalan. Chika menolak ajakan Gita untuk mengantarnya dan Zee sampai rumah. Ia lebih memilih berjalan kaki dibanding harus merepotkan Gita.
"Bunda ayo cepat! Hula pasti sudah menunggu Zee dirumah!" Pekik Zee keras sambil menarik-narik lengan Chika untuk segera membuka pagar rumahnya yang setinggi dua meter itu.
"Iya ini juga Bunda sedang buk-" Kata-kata Chika terhenti manakala menyadari gembok rumahnya telah terbuka. Itu pertanda bahwa telah ada orang yang masuk kerumah ini sebelum Chika.
Hanya ada dua kemungkinan, antara ada maling yang membobol rumahnya atau...
"Ya..Tuhan!" Ia segera mendorong pintu pagar itu dan seketika mata coklatnya terbuka lebar. Kakinya mendadak lemas.
Yang membuatnya lemas adalah bukan karena melihat ada seorang maling yang sedang membobol rumahnya. Melainkan lebih buruk, ia melihat sudah ada mobil sedan hitam milik suaminya yang terparkir digarasi rumah. Shani sudah pulang bekerja.
"Ayah sudah pulang Bunda!" Seru Zee semangat dan segera menerobos pintu kayu rumahnya. Namun dengan sigap Chika meraih tubuh mungil putranya yang terbalut seragam taman kanak-kanak itu dan langsung menggenggam tangannya.
"Tetaplah bersama bunda nak.." Lirih Chika bergumam ditelinga putranya. Disaat banyak istri senang mendapati suaminya pulang cepat, Chika justru takut. Ia takut, tak biasanya Shani pulang cepat. Terakhir Shani pernah pulang cepat karena ayah dan ibu mertuanya datang.
Chika sedikit bernapas lega. Karena mungkin saja sekarang ayah dan ibu mertuanya sedang berkunjung. Ya.. semoga saja begitu.
"Aku pulang..." Ucap Chika lirih. Ia mulai berjalan memasuki ruang tamu. Kosong. Tak ada siapapun. Padahal disinilah tempat favorit sang ayah mertua saat berkunjung. Chika menahan napas dan mulai mempersiapkan mentalnya untuk hal terburuk.
Sepertinya Tuhan belum mau menyudahi penderitaan wanita bergummy smile ini. Karena benar saja, ketika ia melangkah menuju ruang keluarga terlihat disana berdiri Shani yang sedang menatapnya tajam.
"Sh.. Shan aku pulang.." Ucap Chika gemetaran. Takut yang teramat sangat melanda dirinya. Apa yang akan Shani lakukan jika mendapati dirinya pulang terlambat? Mau beralasan pun pasti sulit karena Shani tahu betul kapan seharusnya Zee pulang sekolah.
PLAK...
"BUNDA!" Satu tamparan keras mendarat dipipi kanan Chika. Membuat wanita kurus ini jatuh terlempar. Cairan asin berbau anyir mengalir dari sudut bibir dan kepalanya.
"Bunda!" Zee langsung menghampiri bundanya. Namun terlambat tangan kasar sang ayah telah menghambatnya.
"Ayah lepasin Zee!" Berontak Zee. Tapi apa daya tenaga tubuh bocah empat tahun takkan sebanding dengan kekuatan ayahnya. Zee masih menjerit-jerit minta dilepaskan, dan suara jeritan itu menyadarkan Chika.
"Lepasin tangan kamu Shani please, lepasin Zee.." Chika menggelayuti kaki suaminya. Memohon agar Zee dilepaskan. Tapi dengan mudahnya tubuh Chika kembali terlempar. Dan Zee pun telah terkunci dikamarnya.
"BUNDA!"
"ZEE!" Pekik bunda dan putranya tak berdaya. Sang ayah hanya menyeringai puas dan mendekati tubuh tak berdaya istrinya.
"Menikmati acara jalan-jalanmu itu, Bitch?" Desis Shani. Chika hanya bisa membelalakan matanya saat menyadari ternyata alasan marahnya Shani bukan karena keterlambatannya pulang. Melainkan mengenai Gita.
"Kamu salah paham Shan!" Dirasakan kepalanya sakit saat Shani mulai menjambak rambutnya. Membuat wajahnya mendongak paksa. Air mata sudah deras mengalir dari pelupuk matanya.
"Salah paham? Hah salah paham? Apa aku ga salah dengar hah?"
PLAK...
Untuk yang kesekian kalinya tubuh mungil Chika kembali terlempar. Shani belum puas dengan itu, ia kembali menghampiri tubuh tak berdaya Chika. Ia jambak lagi rambut panjangnya Chika dan menyeret wanita malang itu keruang keluarga.
Shani kembali memukuli, menampar dan menendang tubuh Chika tanpa ampun. Chika hanya meringkuk melindungi kepalanya dari serangan bertubi-tubi Shani. Sekilas ia dapat melihat ada perasaan kecewa dan marah yang amat sangat tergambar dimata suaminya, itu jarang sekali ia lihat. Pasalnya setiap kali Shani menyiksanya, yang tergambar jelas dimata Hitam suaminya adalah tatapan jijik dan kebencian.
Kesadaran Chika pun perlahan mulai menipis. Darahnya sudah mulai berceceran dilantai. Sekilas telinganya mendengar makian Shani yang menuduhnya.
"BERANINYA KAMU BERBUAT LANCANG SEPERTI ITU!"
"SIAPA LAKI-LAKI ITU? KAMU SELINGKUH HAH?"
Kenapa? Kenapa harus seperti ini? Kenapa Shani marah jika dirinya bersama pria lain? Shani tak pernah mencintainya kan?
"Kenapa? Ke...kenapa... kamu..ukh..marah?" Tanya Chika tebata. Ia merintih kesakitan. Shani berhenti dari aksinya dan menatap tubuh Chika yang meringkuk kesakitan.
"Kenapa? Kamu tanya kenapa? Apa yang kamu lakukan dibelakangku bitch?" Desis Shani ditelinga Chika.
"Kamu...sendiri..ap..apa? Kamu..hanya bisa..menyiksaku... kamu juga seling...selingkuh kan?" Ucap Chika dengan sisa tenaganya.
PLAK...
Cairan merah mengalir lagi pelipis Chika akibat tamparan Shani.
"Berani kamu bilang seperti itu? Kamu yang telah membuatku terikat dalam pernikahan bodoh ini bitch! Kamu yang telah membuatku menderita! Kamu yang membuatku harus menerima status ini..."
"LALU KENAPA KAMU MENGHAMILIKU?" Jerit Chika frustasi. Ini sudah cukup. Semua penderitaannya, semua penyiksaan ini. Sudah cukup.
"Aku takkan...takkan menjadi istrimu kalo kamu..gak...mem..buatku hamil!"
"Kamu bilang menderita? AKU JAUH LEBIH MENDERITA! AKU TAKKAN MENANGGUNG SEMUA INI KALO KAMU TAK MENGHAMILIKU!" Shani terdiam. Ia mundur beberapa langkah. Chika hanya menangis meraung-raung. Menangisi hidupnya, menangisi keadaannya dan menangisi sakit yang mendera tubuh serta hatinya. Sesekali ia memuntahkan darah dari mulutnya. Tenggorokannya terasa perih akibat berteriak.
"Kenapa? Ke..kenapa...kena..ukh...ukh...kenapa harus aku yang menanggungnya?" Tanya Chika. Shani masih terdiam tak menjawab.
"Kenapa ga... kamu..buat saja Gracia mengandung anakmu? Dengan ...i...tu kamu..akan sena..senang kan? Tap..tapi kenapa harus ak..aku?" Tanyanya frustasi. Benar apa katanya, kenapa Chika harus menanggung semuanya. Shani menjatuhkannya kelubang penderitaan karena penolakan Gracia. Semua bermula dari kesalahannya. Jika saja ia berbesar hati menerima keputusan Gracia dan tak bersikap bodoh, semua takkan terjadi. Ia takkan terlibat semua ini. Ia tak akan memupuk dosa dengan menganiyaya istri yang seharusnya ia lindungi. Chika pun juga takkan terlilit penderitaan tanpa ujung seperti ini. Dan yang paling penting, putra mereka Zee takkan ikut menanggung penderitaan diusia yang begitu dini.
"Hentikan!" Desis Shani. Dicengkeram kepalanya erat. Pertanyaan-pertanyaan Chika mengiang-ngiang ditelinganya.
"Ak..aku ikhlas.. aku..pasrah..Shani.. mati ditanganmu pun..aku rela jika..bisa menghentikan..penderitaan..i..ini.."
-&-
KAMU SEDANG MEMBACA
Memori Tanpa Nama
FanfictionAku mengelus perutku, aku mengelus anakku. Ya.. anakku. Aku hamil. Aku hamil di luar nikah. Dan Shani lah tersangka dari semua ini. Aku mencintainya. Tapi ia tak mencintaiku. Lalu kenapa ia menghamiliku?