Brak...
Tiba-tiba sosok mungil Zee terlihat dari pintu. Entah apa yang terjadi, tapi mungkin Zee menggunakan kunci cadangan yang pernah Chika titipkan padanya. Tapi disaat seperti ini kehadiran Zee justru tidak menguntungkan Chika. Bagaimanapun keselamatan putranya pasti akan terancam.
"AYAH JAHAT! Ayah jahat! Zee benci ayah!" Jerit Zee seraya melayangkan pukulan-pukulan tak berarti di kaki ayahnya. Sang ayah Shani sama sekali tak merespon pukulan putranya. Ia masih saja mencengkeram kepalanya seperti orang sakit.
Dengan sisa tenaganya Chika menarik tubuh Zee kepelukannya. Ia segera memaksa Zee untuk menunduk dihadapan ayahnya. Air mata kembali tumpah bercampur dengan darah yang mengalir. Bercampur menghasilkan warna kontras yang menyedihkan.
"Minta maaf pada ayah...nak!" Paksa Chika. Disaat seperti ini, ia masih ingin menunjukan bahwa ia bukanlah istri tak berguna, bodoh, atau yang lainnya. Ia ingin menunjukan bahwa selama ini ia mendidik Zee untuk bisa menghargai dan menyayangi ayahnya. Bagaimanapun keadaannya.
"Tapi Bunda..."
"Hormati ayah seperti yang bunda ajarkan sayang! Ayo lakukan!" Pekik Chika putus asa. Zee hanya menuruti kata-kata Chika dan menunduk meminta maaf pada Shani. Pipi ranum Zee yang semula putih, berubah warna menjadi merah akibat darah bundanya.
"Bunda...berdarah..." Bulir-bulir bening mengalir dari mata hitam Zee.
"Tak...ukh...apa nak.."
Chika tersenyum damai dan mengelus kepala Zee lembut dan perlahan dengan sisa tenaganya ia peluk putra semata wayangnya yang sedang menangis. Sakit dikepala Shani semakin menjadi. Ia tak sanggup melihat Chika. Melihat darah yang mengalir serta memar yang terpahat di tubuh kurus istrinya itu. Jujur akan lebih baik jika saat ini juga Chika pergi dari hadapannya, mengadu pada kakaknya dan meminta cerai.
Kenapa? Kenapa justru Chika menatap matanya dengan tatapan seperti itu. Kilau coklatnya mengatakan bahwa ia sangat mencintai suaminya. Apa yang telah ia lakukan? Ia telah menuduh orang yang tak pernah disayanginya itu berselingkuh. Padahal apa kenyataannya? Chika seperti itu mungkin karena tak mendapatkan haknya sebagai seorang istri. Yaitu kebahagian dengan suaminya. Sehingga apa salahnya ia mencari kebahagian itu diluar?
Dan kenapa ia marah? Padahal hampir seminggu sekali ia mencari kehangatan dengan wanita-wanita murahan yang mengobral dirinya di bar atau diskotik.
Ia jauh lebih jalang dibandingkan Chika. Chika berhak mendapat kebahagiannya. Meskipun dengan laki-laki lain. Tapi yang ia rasakan apa? Sakit. Hatinya berdecit ketika melihat istrinya akrab dengan pria itu. Apa ini yang dirasakan Chika ketika ia bermain dengan wanita lain?
'Kau hanya bisa menyakiti istrimu...'
"ARGH...!" Teriaknya menggila dan keluar dari rumah. Chika hanya menatap nanar punggung suaminya. Perlahan rasa sakit menyeruak ditubuhnya. Bermula dari kaki dan berujung pada sakit di kepalanya. Kesadarannya mulai berkurang. Apa ia akan mati setelah dianiyaya suaminya?
Ditatapnya helaian rambutnya yang panjangnya sepunggung itu. Rambut hitamnya sudah berubah warna menjadi merah gelap dibeberapa bagian. Disentuhnya sudut bibirnya. Sakit, kulit bibirnya pecah dan mengeluarkan cairan merah.
Perlahan tapi pasti rasa sakit itu kembali menyerang sampai pada akhirnya ia terjatuh dalam pusaran hitam yang membawanya terus jatuh dan jatuh kedalamnya.
"BUNDA!"
0000000000000000000
Tetes demi tetes cairan infus mengalir melewati selang bening untuk menyuplai kebutuhan nutrisi bagi si pemakai. Jarum tipis menancap dalam di tangan mungil milik Chika. Tubuh lemah tak berdaya miliknya terbaring diatas ranjang rumah sakit. Sebagian tubuhnya, yaitu lengan kiri, pergelangan kaki kanan, lutut kaki kiri, serta kepala terlilit kain kasa putih dengan sedikit darah bercampur cairan antiseptik yang merembes.
Semua telah hadir. Menunggu kesadarannya kembali. Semua hanya diam. Bergelut dalam pikiran masing-masing. Semua menunggu dokter keluar dan membawa kabar yang entah itu baik atau buruk.
"Bunda.." Tangis putra Natio sambil memeluk tubuh sang nenek. Nenek Saras hanya berusaha menenangkan cucunya itu.
"Kamu! Apa yang kamu lakukan pada adikku?!" Desis Aran murka. Ia tarik kerah baju suami adiknya itu.
BUGH...
Satu pukulan telak mengenai wajah bungsu Natio hingga terlempar ke lantai rumah sakit yang dingin. Sang ibu, Veranda hanya bisa menangis di pundak Harry suaminya. Malu. Sebagai seorang ibu ia malu memiliki putra berkelakukan layaknya binatang itu.
Diluar, dihadapannya dan keluarga besar Natio, Shani selalu menunjukan sikap baik dan menyayangi istri dan anaknya. Tapi didalam, Shani berubah buas sampai akhirnya mampu melukai menantunya itu hingga dirawat di rumah sakit.
"KAMU KEPARAT! Apa yang sudah kamu lakukan pada adikku?" Amuk Aran. Berkali-kali ia layangkan pukulan dan tendangan keras ke tubuh kekar Shani.
Shani? Hanya meringkuk tak melawan. Tubuh dan hatinya terasa beku. Hanya ada satu rasa yang mampu ia rasakan sekarang. Menyesal.
"Ayah!" Pekik Zee yang langsung melompat dari gendongan neneknya. Menghampiri ayahnya, melindunginya, memeluk kepala ayahnya dengan satu tangan mungilnya. Sedangkan tangan yang lainnya bergerak mencegah serangan dari pamannya.
"Kenapa? KENAPA KAMU MELINDUNGINYA ZEE?"
"Aran cukup!" Cegah Vino. Tak tega rasanya melihat adiknya diperlakukan seperti ini.
"Kamu bisa berkata seperti itu karena kamu keluarganya! Natio keluarga terhormat? Apa itu? Dasar sampah!" Umpat Aran. Yang lain hanya terdiam. Harry sendiri tak mampu membela putranya. Ia justru malu memiliki seorang anak yang munafik seperti Shani. Nama Natio tercoreng dengan kejadian ini.
"Ayah.. Zee takut.." Gumam Zee dipelukan sang ayah. Shani hanya mengelus kepala anaknya lembut. Begitu banyak beban yang ditanggung Zee dan semua itu karenanya.
Ceklek...
Pintu ruang rawat inap Chika terbuka. Tampak seorang dokter wanita berparas cantik keluar dari dalamnya. Bibir datarnya berubah menjadi senyum prihatin manakala melihat tampang cemas dari semua orang yang ada disini.
-&-
KAMU SEDANG MEMBACA
Memori Tanpa Nama
FanfictionAku mengelus perutku, aku mengelus anakku. Ya.. anakku. Aku hamil. Aku hamil di luar nikah. Dan Shani lah tersangka dari semua ini. Aku mencintainya. Tapi ia tak mencintaiku. Lalu kenapa ia menghamiliku?