Kutatap malaikat yang ada didekapanku. Ia begitu mungil dan ringkih. Dia adalah putraku. Ia sangat tampan. Kulitnya putih kemerah-merahan. Rambutnya, matanya hitam seperti ayahnya. Begitupun dengan raut wajahnya, putra kecilku ini begitu mirip dengan Shani. Melihatnya seperti melihat Shani.
Masih terngiang ditelingaku, kata-kata Shani ketika pertama kali melihat putraku. "Kenapa harus mirip denganku? Memuakkan!". Putraku tak salah Shani, ia mirip denganmu semata-mata hanya untuk mengingatkanmu bahwa ia adalah darah dagingmu. Kau adalah ayahnya, dan sampai kapanpun itu tak akan pernah berubah. Aku ini takkan hamil jika tak ada sperma Shani yang masuk kerahimku kan?
"Jadi siapa nama cucu tampanku ini?" Pertanyaan itu keluar dari bibir seorang Veranda Natio. Aku tersenyum. Mata coklatku bergerak melirik Shani. Ia nampak berfikir keras. Sudah kuduga. Jangankan menyiapkan nama, peduli saja mungkin tidak. Aku menunduk sedih.
"Kalian belum menyiapkan nama?" Tanya ayah mertuaku, Harry Natio bingung.
"Hmm.. masalah nam..-"
"Arez.. Zee Arez Natio" Ucapku lirih sambil menatap suamiku. Mungkin aku akan dipukulnya karena telah lancang memotong pembicaraannya. Tapi aku menolongnya kan?
Shani balas menatapku. Ia tersenyum. Kujelaskan lagi ia tersenyum padaku. Hatiku terasa meleleh. Walaupun aku tahu bahwa senyum itu hanya sandiwara belaka tapi aku tetap merasakan ada sisi baik suamiku. Karena aku harus mengakui, meski tak menginginkannya tapi aku mencintainya.
"Arez.. berarti bumi! Nama yang bagus Chika!" Puji Nenek Saras. Aku tersenyum bahagia. Ya. kuberi nama Arez yang berarti bumi. Aku selalu berharap anakku akan menjadi lelaki gagah yang akan melindungiku nantinya. Menjadi bumi bagiku. Menjadi lelaki lembut, berakal dan bertanggung jawab seperti ayahnya. Ya.. bertanggung jawab. Bagiku Shani yang sudah bersedia menikahiku adalah salah satu bentuk dari tanggung jawabnya. Hanya saja kelak aku ingin putraku tak melakukan ini, karena aku selalu berdoa agar ia menikah dengan orang yang dicintainya sehingga ia takkan memperlakukan istrinya seperti ayahnya memperlakukan bundanya. Walau aku selalu berharap Shani akan berubah dan pada akhirnya menerima keberadaanku dan Zee sebagai orang yang dicintai dan bukan sebagai penganggu.
Perlahan aku merasakan tangan lembut milik ibu mertuaku mengambil Zee dari gendonganku. Aku mengizinkannya.
" Zee! Namamu Zee Arez Natio sayang!" Ucapnya penuh dengan kebahagian. Kebahagian telah mendapat cucu. Hatiku kembali menangis. Aku selalu berharap bahwa yang mengatakan hal itu adalah Natio lain dan bukan Veranda Natio. Melainkan ayahnya Shani Natio.
0000000000000000
Kehadiran Zee ditengah-tengah kami tak lantas membuat Shani melunak. Kehadiran malaikat kecilku itu malah semakin membuatnya menjadi. Ia jadi lebih kasar dan cepat marah. Kesalahan kecil saja selalu ia besarkan. Dan akhirnya aku pula yang harus menjadi sasaran empuk baginya.
"Dasar bodoh! gitu saja salah!" Kata itulah yang kuterima pagi ini bersamaan dengan gerakan tangannya yang menamparku. Kenapa dia begini? Masalahnya sepele. Hanya karena aku salah mengambil kaus kaki. Aku menangis. Tapi hanya dalam hati saja. Jika aku menangis dihadapannya, aku akan semakin disiksanya.
Ia pergi meninggalkanku sendirian diruang keluarga. Aku hanya bisa menatap punggung tegapnya. Punggung yang tak pernah kusentuh dan tak pernah kujadikan sandaran.
"Jangan keluar! Ingat itu!" Perintahnya. Aku tahu kenapa ia tak mengizinkanku keluar. Karena aku tak boleh menunjukan tanda memerah ini. Tanda memerah dipipiku. Agar orang-orang tidak curiga dan selalu menganggapnya sebagai seorang Natio yang menyayangi istri dan anaknya.
"Oh dan satu lagi.." Suaranya kembali terdengar, tubuhnya berbalik dan menatapku. Aku masih dalam posisiku. Jatuh tersungkur dan belum ada niat untuk berdiri. Ia berjalan kearahku. Tubuhku bergetar hebat saat ia mulai berjongkok dihadapanku dan mulai mengangkat tangan kanannya. Aku memejamkan mataku. Aku takut. Aku takut pada suamiku sendiri.
Perlahan yang kurasakan bukanlah sakit akibat pukulan suamiku. Melainkan ada sesuatu yang aneh dan belum pernah kurasakan. Lembut dan dingin, itulah yang kurasakan. Aku membuka mataku mataku kabur akibat ada selaput bening tipis yang menutupi mataku. Aku berkaca-kaca dan setelah air mata itu tumpah, aku dapat melihat dengan jelas wajah suamiku yang begitu dekat. Matanya yang hitam pekat, hidungnya yang mancung semua dapat kulihat sempurna. Aku juga dapat melihat dan merasakan tangan kanannya mengusap pipiku lembut.
Aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku bahagia. Inikah rasanya disentuh oleh orang yang kucintai? Shani terus bertahan dan akupun begitu. Perlahan kupejamkan mataku, merasakan dan meresapi sentuhan Shani.
Hampir sekitar satu menit, Shani melepaskan tangannya dari pipiku. Aku merasa kosong dan hampa. Perlahan aku membuka kembali mataku dan tiba-tiba...
Plak...
Aku merasakan ada sesuatu yang menampar wajahku. Aku mengerjap kaget dan melihat banyak lembaran uang yang berserakan ditubuhku.
"Itu uang untukmu! Berhentilah berjualan! Buat aku malu aja!" Ujarnya seraya berdiri dan berbalik meninggalkanku. Sekilas aku dapat melihat tatapan jijiknya yang selalu ditujukan padaku.
Tangisku sudah tak dapat dibendung lagi. Sebagai istri aku merasa terhina. Tak adakah cara yang lebih baik, dan haruskah ia memberikan uang padaku dengan cara melemparnya? Ia melakukan itu seolah aku ini pelacur yang baru dibayarnya. Bahkan mukin pelacur sekalipun tak diperlakukan seperti itu.
Aku menangis dalam diam. Bertubi-tubi hinaan yang diberikannya padaku. Setelah sentuhan hangatnya yang membuat hatiku melambung tinggi, ia langsung jatuhkan aku dengan penghinaan seperti ini.
Aku menatap nanar lembaran uang yang berserakan dilantai. Aku mengambilnya satu persatu, mengumpulkannya. Dengan uang ini aku dan Zee akan tetap hidup. Ditengah rasa sakit yang mendera batinku, ada secercah harapan bagiku. Ya... Harapan bahwa Shani telah memikirkan kehidupanku. Ia telah menafkahiku walau dengan cara yang hina begini, aku tetap bersyukur.
Terima kasih Tuhan...
-&-
KAMU SEDANG MEMBACA
Memori Tanpa Nama
FanfictionAku mengelus perutku, aku mengelus anakku. Ya.. anakku. Aku hamil. Aku hamil di luar nikah. Dan Shani lah tersangka dari semua ini. Aku mencintainya. Tapi ia tak mencintaiku. Lalu kenapa ia menghamiliku?