Chapter 4

1K 133 18
                                    

Kutatap wajah damai milik putraku. Tuhan, diusianya yang baru menginjak empat bulan ini ia begitu tampan. Aku jadi teringat dengan ucapan tetangga sebelah yang mengatakan bahwa Zee adalah copy Shani. Mereka begitu mirip. Aku bahkan tak menemukan sedikitpun kemiripan antara aku dan Zee.

Dengan melihat Zee, aku seperti melihat Shani. Apa mungkin Shani sewaktu bayi seperti ini?

Zee menggeliat manja saat aku menyentuh pipinya yang bulat dan ranum mirip bakpao itu. O..ya aku baru menyadari kalau pipi Zee agak mirip denganku. Maksudku pipi Shani kan tidak bulat melainkan agak tirus. Keningnya juga, agak sedikit lebar sepertiku.

Hah...mungkin jika ia dewasa, pasti Zee tampan dan gagah seperti Shani. Semoga saja.

Aku melirik jam berbentuk tomat yang menggantung dikamar Zee. Sudah jam satu lebih tapi Shani belum pulang juga. Padahal paling malam biasanya hanya sampai jam dua belas ia pulang.

"TOK...TOK..."

Baru saja aku mencemaskan Shani, sudah ada orang yang mengetuk pintu. Aku langsung tahu bahwa itu adalah Shani, terdengar dari suara ketukannya yang keras.

Aku langsung berlari menuju pintu dan mendapati tubuh limbung Shani yang langsung menubruk tubuhku. Untung aku sigap sehingga tak sampai kehilangan keseimbangan.

"Shan, Shani kamu mabuk ya?" Tebakku. Dari mulutnya tercium bau alkohol yang sangat menyengat.

"Heh... dasar istri tolol! Mau.. ak.. aku.. mabuk itu suka-suka aku dong... Heh?" Ia mulai mengoceh tak jelas. Aku segera membawa tubuhnya kesofa. Namun tiba-tiba saja...

BUGH...

Tubuhku terlempar jauh. Shani melemparku dengan kasarnya. Aku jatuh tersungkur. Kurasakan sakit yang mendera punggungku.

"AKH...! Shani lepasin!" Aku meronta tak berdaya saat Shani mulai menjambak rambut panjangku dan menyeretku. Kurasakan pusing yang amat sangat. Shani tak hanya menjambak rambutku tapi juga dipelintirnya. Aku mengerang kesakitan tapi tak dihiraukannya.

"Kenapa... Kenapa kamu nangis hah?" Ia menyeringai tak jelas. Aku semakin takut. Ia mulai mengoceh. Tiba-tiba saja tubuh Shani mendekatiku.

"Ampun.." Bisikku lirih.

"Hah.. ampun?! You bitch! Muak aku liat kamu! MATI AJA KAMU..!" Kurasakan kedua telapak tangannya mencekik leherku. Napasku tercekat. Apa aku akan mati sekarang?

Sayup-sayup aku mendengar suara jerit tangis Zee. Kulihat mata Shani semakin berkilat marah. Ia segera melepas tangannya dari leherku dan berjalan menuju kamar Zee. Tidak takkan kubiarkan ia menyakiti putraku.

"LEPASKAN AKU BODOH!"

"Tidak! Jangan sakiti Zee! Ak..aku saja..." Tubuhku bergetar hebat saat menahan kakinya. Tapi dengan mudah ia membuat tubuhku terlepas. Aku ditendangnya. Aku tak putus asa. Aku mencoba cara terakhir. Bagaimana pun akan kulakukan asalkan putraku selamat.

Aku berlari mendahului Shani. Memasuki kamar Zee dan menguncinya dari dalam. Shani tak menyerah ia masih menggedor-gedor pintu. Aku meringkuk sambil memeluk Zee. Ini bukan yang pertama kalinya Shani memperlakukanku seperti ini. Tapi ini baru yang pertama kali ia menyakitiku sampai melibatkan Zee.

Beberapa lama, aku tak mendengar suara Shani lagi. Ia sudah berhenti. Aku bernapas lega. Zee menatapku. Aku tersenyum sendu. Kuciumi pipi ranum putraku lembut. Seolah mengerti perasaan bundanya, tangan-tangan mungil miliknya mengusap-ngusap pipiku. Aku menangis, Zee memang malaikat pelindungku. Jika ia tak menjerit dan menangis tadi, mungkin aku takkan selamat. Terima kasih nak...

000000000000000

Empat tahun sudah aku menjalankan hubungan sebagai suami dan istri. Tapi tetap tak ada yang istimewa didalamnya.

Aku bodoh, karena itulah aku bertahan menjalani hidup rumah tangga dengan Shani. Aku yakin orang lain mungkin takkan sanggup berhadapan dengan suami sepertinya. Dan hanya orang bodoh sepertiku sajalah yang justru malah semakin mencintainya. Setiap pukulan, tamparan dan tendangannya sudah kuanggap sebagai makan sehari-hari bagiku. Aku sudah terbiasa. Benar-benar miris bukan?

Sejak kejadian itu, Shani semakin acuh padaku dan Zee. Ia tak pernah mau mengurus bahkan memperhatikan perkembangan Zee.

Aku mengurus semua keperluan Zee sendiri. Shani hanya berperan sebagai pemberi nafkah kami, dan tak pernah sedikit pun ia menggendong Zee. Menyentuhnya saja tidak

Hari ini, aku bermaksud ingin menyekolahkan Zee di taman kanak-kanak. Karena memang usianya yang menginjak empat tahun tiga bulan kupikir sudah cukup untuk Zee mengenyam pendidikan. Namun aku tak mungkin melakukannya sendiri. Aku memberanikan diri mengetuk pintu kamar Shani. Ya.. mulanya ini adalah kamar kami, tapi aku tak pernah tidur didalamnya sehingga kuanggap ini adalah kamar Shani.

Tok...tok...tok...

"Siapa?" Suaranya terdengar dari dalam.

"Ini aku... Chika." Jawabku lirih. Lama sekali ia menjawab, sampai akhirnya ia mengizinkanku masuk kekamarnya.

Kulihat ia sedang duduk diranjang sambil membaca buku kedokterannya yang tebal itu. Aku duduk bersimpuh disamping ranjang tempat ia berbaring dan inilah memang kebiasaanku jika ingin berbicara dengannya. Anggaplah aku ini adalah pembantunya.

"Ada perlu apa?" Tanyanya sinis dan tetap tak berpaling dari buku tebalnya. Aku menghela napas panjang, berharap dapat menghilangkan rasa gugupku.

"A... aku ingin memintamu menyekolahkan Zee di taman kanak-kanak, Shani." Jawabku lirih.

Bruk...

Terdengar suara buku kedokterannya yang ditutup secara paksa. Aku memejamkan mataku cepat sebelum akhirnya terbuka kembali dan mata kami langsung bertemu.

"Itu bukan urusanku!"

"Tap.. tapi Shani, Zee putramu juga kan? Aku...ak..aku... Maksudku Zee lahir karenamu juga kan?"

PLAK...

Kurasakan pipiku memanas. Aku ditamparnya. Ya.. aku pantas mendapatkannya. Karena aku telah lancang, mengungkit kembali masa lalunya. Masa lalu kami. Tapi aku takkan menyerah ini demi putraku juga.

"Tapi kalau Zee tak kau sekolahkan bagaimana dengan nasibnya nanti? Ia butuh semua itu Shan! Aku mohon!" Aku mengemis belas kasihannya. Sangat menjijikan. Tapi aku harus melakukannya kan?

Shani sedikit berfikir. Ia menatapku sinis dan pada akhirnya ia menghela napas panjang.

"Baiklah kalau kau memaksa! Lagipula apa kata keluargaku nanti jika ia tak bersekolah!" Aku tersenyum lalu menggumamkan kata terima kasih sembari berjalan keluar kamarnya.

-&-

Memori Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang