Chapter 10

1.2K 159 10
                                    

Aran menatap miris tubuh kurus adiknya yang terbaring diatas ranjang. Tubuhnya terlihat semakin kurus dikarenakan pakaian rumah sakit yang longgar. Dielusnya kening Chika perlahan. Setitik air mata jatuh ketika melihat lilitan perban dikepala Chika.

Pria berusia dua puluh delapan tahun ini menangis. Tak pernah ia bayangkan adik kecilnya yang selalu tersenyum dan ceria akan menderita seperti ini. Tak seharusnya ia percayakan adiknya kepada orang macam Shani. Ia merasa gagal mengurus adik angkatnya. Ia gagal melindungi adiknya dari penderitaan.

Perlahan kelopak mata Chika bergerak. Sedikit demi sedikit perlahan tapi pasti Chika dapat melihat sosok Aran dan putranya.

"Bunda!" Zee langsung menghambur kepelukan bundanya. Chika tersenyum manis mengetahui putranya baik-baik saja. Tak henti-hentinya ia gumamkan kata syukurlah dan terus saja menciumi pipi Zee.

"Kamu baik-baik saja?" Tanya Aran yang telah mengontrol emosinya. Mata Chika beralih memandang wajah kakak angkatnya yang terlihat cemas.

"Ya kak.. terima kasih!" Gumam Chika pelan. Rasa perih melanda sudut bibirnya yang pecah akibat pukulan Shani yang terlampau keras.

"Kak.."

"Ya.. kenapa Chik?"

"Mana Shani kak?" Ingin rasanya Aran menghajar Shani itu sampai tewas. Sebegitu besarnya pengaruh Shani pada adiknya sehingga membuat Chika tetap mencari Shani, meskipun telah diperlakukan seperti ini?

"Kamu akan bercerai dengannya! Kakak akan urus masalah ini sampai tuntas!" Tegas Aran. Chika langsung menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ngga kak! Aku ga ingin berpisah dengan Shani!"

"Tapi ia sudah menyakitimu sedemikian rupa Chika! Sadarlah Shani bukan suami dan ayah yang baik untuk kamu dan Zee!"

"Tapi kak... Shani adalah suamiku kak, ia adalah ayah dari putraku kak! Aku mohon jangan pisahkan kami." Pinta Chika memohon. Aran hanya tertegun mendengar permintaan adiknya. Sudah disakiti seperti ini Chika tetap tak ingin berpisah dari Shani.

"Kamu bodoh Chika! Shani udah nyiksa kamu!"

"Aku memang bodoh kak! Karena itu aku bertahan dengan Shani, karena aku bodoh sehingga aku tak mengadu pada kakak tentang rumah tanggaku. Karena aku bodoh kak, aku tak ingin berpisah dari Shani kak...ak..aku bodoh karena itu aku mencintainya kak!" Air mata kembali keluar dari mata Chika. Zee hanya bisa mempererat pelukannya pada Chika, berharap dapat menenangkan bundanya.

Aran menundukan kepalanya. Ia luluh. Adiknya telah dewasa. Ia pasti bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.

"Oke, maafin aku, Chik." Ucap Aran sambil mengecup kening sang adik dan memberikan pelukan kasih sayang pada adiknya yang masih setengah terbaring.

Diluar, tak ada percakapan berarti diantara Nenek Saras, Harry, Veranda dan Shani. Semua terdiam terkecuali saat melihat Aran keluar dari kamar Chika.

Pandangan mata Shani langsung tertuju pada Aran, begitu juga sebaliknya.

"Masuklah!" Perintah Aran sinis pada Shani. Shani hanya menatap Aran heran. Setelah menghajarnya, Aran malah menyuruh dirinya masuk kedalam.

"Chika yang menginginkannya!" Tegas Aran lagi. Shani hanya mengangukan kepalanya dan memasuki kamar Chika.

00000000000000

Chika masih memejamkan matanya ketika Shani telah duduk disamping ranjang rumah sakit tempatnya berbaring. Shani hanya menatap nanar keadaan istrinya. Banyak luka lebam di wajahnya. Begitu juga dengan lilitan perban dikepala Chika.

Memori Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang