10

232 9 0
                                    

Mayumi ragu saat ingin mengatakan tentang pekerjaan yang ia dapatkan pada ibunya. Dan juga, jika Mayumi memang bersedia menerima pekerjaan itu, maka ia harus bersedia pindah ke rumah mereka. Apa yang harus Mayumi katakana? Jika Mayumi pergi, ibu akan sendirian di rumah.
“Apa ada yang salah?” tanya Hana.
Hana duduk di samping Mayumi. Dari raut wajah Mayumi yang termenung, Hana pikir ia gagal mendapatkan pekerjaan.
“Tidak apa kalau kamu belum mendapatkan pekerjaan,” ucap Hana sambil mengusap lengan Mayumi.
Mayumi spontan menoleh, ia tatap wajah ibunya lalu tersenyum. Sebuah senyum yang manis dan tulus, tapi menunjukkan ada sesuatu kebimbangan di dalamnya.
Mayumi menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bicara. “Aku sudah mendapatkan pekerjaan,” ucapnya.
“Sungguh?”
Reaksi antusias itu membuat Mayumi tersenyum getir. Ia senang, tapi bagaimana dengan ibu yang akan di sini sendirian?
Hana merasa ada yang aneh karena putrinya itu tidak menunjukkan kalau sedang senang mendapatkan pekerjaan. Biasanya dia akan antusias saat memberitahukan sesuatu yang membuatnya Bahagia atau senang. Jika raut wajahnya datar begitu, pastilah ada sesuatu.
“Apa ada yang salah?”
Mayumi lagi-lagi tersenyum tipis. Dia menghela napas dan meraih kedua tangan ibunya. “Tidak ada, Bu. Aku hanya sedang bingung.”
“Kenapa?”
“Aku sudah mendapat pekerjaan, dan gajiku sangat besar.”
“Sungguh? Wah, ibu ikut senang!” Hana tersenyum lebar lantas memeluk Mayumi beberapa saat. Namun, reaksi Bahagia sang ibu seperti tidak ditanggapi oleh Mayumi.
Ketika pelukan sudah terlepas, Hana meraih kedua lengan atas Mayumi. Ia sedikit mengguncang Pundak itu. “Kenapa? Apa kamu tidak menyukai pekerjaannya?”
Mayumi menggeleng lalu menunduk. Cukup lama ia menunduk sampai membuat Hana bingung dan tiba-tiba kedua Pundak itu bergerak naik turun—terdengar suara tangis.
“Astaga, Mayumi! Kamu baik-baik saja?” dengan cepat Hana meraih dan menaikkan dagu putrinya itu. Saat wajah itu mendongak, terlihat jelas wajah cantik Mayumi sudah basah.
“Kenapa menangis? Ibu tidak akan memaksamu bekerja jika kamu tidak mau.”
Mayumi menggeleng kuat. Dia tidak mungkin melepas pekerjaan ini. Mayumi baru menyadari sesuatu hal di mana orang tidak mudah menemukan orang baik yang akan dengan senang hati memberinya sebuah pekerjaan. Namun, Mayumi kembali menyadari kalau dalam situasi seperti ini, Tuhan selalu memberi sebuah pilihan.
Mayumi mengusap wajahnya yang basah dibantu ibunya. Setelah merasa jauh lebih tenang, Mayumi menarik napas lebih dulu supaya bisa bicara tanpa hambatan.
“Aku sudah mendapatkan pekerjaan, tapi ….”
Mayumi terhenti sejenak dan menatap wajah ibunya dalam-dalam. “Aku harus tinggal di rumah mereka.”
Saat itu juga Hana tercengang. Antusias yang tadi ia curahkan kini berubah menjadi ekspresi bingung.
“Pekerjaan apa yang kamu dapatkan? Kenapa harus sampai tinggal di sana?” tanya Hana.
Mayumi terdiam. Ia membisu karena bingung bagaimana cara menjelaskan semuanya. Mayumi takut ibunya akan marah jika tahu pekerjaan apa yang Mayumi dapatkan.
“Pelayan,” celetuk Mayumi.
Hana tidak bereaksi apa pun seperti yang dibayangkan Mayumi. Ia hanya terdiam membisu seperti orang yang kebingungan. Tatapannya pada Mayumi juga terlihat aneh.
“Aku menjadi pelayan di rumah Nyonya Sarah. Dia orang baik yang sudah mau memberiku pekerjaan tanpa syarat,” ujar Mayumi. “Aku tidak sengaja bertemu dengan beliau Ketika beliau hampir saja di jambret.”
Hana tidak mempermasalahkan tentang status pekerjaan. Ia termenung diam hanya sedang berpikir pekerjaan pelayan seperti apa yang nantinya Mayumi lakukan? Pekerjaan itu pasti akan sangat berat.
“Apa ibu tidak menyetujui pekerjaanku?” tanya Mayumi.
Hana menggeleng. “Ibu tidak mempermasalahkan hal itu. Ibu akan mendukung di mana pun kamu bekerja, ibu hanya khawatir kalau kamu akan kesusahan dengan pekerjaanmu.”
Mayumi merasa lega dengan jawaban ibunya. Ia pikir ibu akan arah atau melarangnya untuk pergi, tapi sepertinya hanya ada rasa khawatir yang memang ditunjukkan sebagai seorang ibu.
Dan siang harinya, setelah mendapat ijin dari sang ibu, Mayumi mulai bersiap-siap. Dia menurunkan koper besar yang sudah sejak dua tahun bersemayam di atas lemari. Mayumi bersihkan lebih dulu koper itu dari debu-debu Barulah kemudian mempersiapkan pakaian. Mayumi memilih sekitar belasan pakaian untuk dibawa.
Sekitar hampir satu jam mempersiapkan semua, kini Mayumi sudah berdiri sambil meregangkan tubuhnya yang terasa pegal.
“Ya, Tuhan! Aku baru saja beres-beres sedikit, tapi badanku sudah pegal semua. Bagaimana dengan nanti kalau aku sudah mulai bekerja?”
Mayumi membanting tubuhnya di atas ranjang sambil membuang napas. Ia hempaskan rasa lelah hari dan coba menyiapkan mental untuk malam nanti dan hari seterusnya.
“Apa sudah selesai?” Hana masuk.
Mayumi yang hampir memejamkan mata seketika terbangun lalu duduk terkesiap. Ia duduk dengan kedua kaki terlipat dan senyum  ke arah koper yang sudah berdiri di samping meja rias.
“Sore nanti aku akan dijemput,” ucap Mayumi.
Hana hanya mengangguk. Ia bingung harus bicara apa saat ini. Ia tidak mungkin melarang meski dalam hatinya ingin putrinya tetap di sini. Namun, Hana tidak boleh egois, Mayumi berhak mendapatkan apa yang ia inginkan. Kalau hanya berdiam diri di sini, mungkin Mayumi akan bosan melihat ibunya.
Mayumi menarik lengan ibunya mengajak untuk duduk. Mayumi lantas bergeser lalu memeluk ibunya dengan erat, ia usap punggung yang sudah rapuh itu. Ingin rasanya menangis, tapi tidak akan Mayumi lakukan.
“Aku janji akan menjenguk ibu sesering mungkin,” ucap Mayumi.
“Jangan pikirkan tentang ibu. Ibu akan baik-baik saja di sini.”
Sungguh perpisahan yang sangat mengharukan. Meski Mayumi harus tinggal di rumah orang, setidaknya Mayumi sudah tahu kalau ibu sekarang sudah benar-benar sehat kembali. Jadi, Mayumi kan merasa tenang saat nanti sudah mulai bekerja.
Sore menjelang, sebuah mobil berwarna hitam sudah berhenti di halaman rumah. Mayumi yang sudah bersiap sedari tadi, kini menarik napas dalam-dalam, sebelum kemudian menyeret kopernya.
Mayumi memeluk dan mencium ibunya sebelum kemudian berlalu bersama mobil hitam itu. Mayumi tidak ingin menangis sekarang, ia tahan sampai merasakan dadanya sesak. Dan menit berikutnya, air mata itu tumpah tidak terkendalikan lagi.
Hampir sepanjang perjalanan Mayumi menangis, dan akhirnya harus terhenti saat mobil Sudah sampai di tujuan. Dari balik kaca jendela, Mayumi mengintip ke luar sana.
Astaga! Rumah apa ini? Rumah ini berbeda dengan rumah di hutan pinus itu.
Mayumi ternganga tidak percaya. Mayumi berpikir ia akan bekerja di rumah mewah hutan pinus itu, tapi ternyata bukan. Rumah ini tidak jauh kalah besarnya, tapi bangunannya sudah lebih mengikuti mode jaman sekarang.
“Seperti apa dalamnya rumah itu?” gumam Mayumi.
Glek!
Pintu mobil terbuka, Mayumi dipersilahkan untuk ke luar.
Sungguh rumah yang sangat mewah. Mayumi masih melompong penuh kekaguman.
“Mari saya antar menuju ruangan, Nona.” Sopir itu menuntun ke mana Mayumi harus melangkah.
***

Pesona PelayankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang