Satu masalah selesai, Naru menjatuhkan diri ke atas kasur. Kelegaanpun dapat terdengar dari bunyi napasnya. Ternyata, berurusan dengan Hyuuga Hiashi tidaklah serumit yang dia duga. Lelaki paruh baya tersebut dapat memaklumi semua keinginannya. Tanpa pertimbangan, dia menyanggupi. Lalu kini alasan Naru bisa menjadi lebih tenang adalah bahwa Hiashi sudah benar-benar menutup akses putrinya untuk masuk ke rumah itu, termasuk memindahkan abu jasad sang istri.
"Ugh! Masih sakit. Dia itu badak apa, ya? Kepalanya keras sekali." Naru mencibir sendirian, usai meraba hidung dan merasa nyerinya tak kunjung hilang. Padahal hari mulai petang, tapi bekas terjangan kepala Hinata masih amat membekas.
Netra samudranya meneliti ke sepenjuru ruang. Dinding sebelah kiri dihiasi beberapa pajangan khas tradisional Jepang kakekuji. Sebuah lukisan dinding berisikan dua orang geisha dalam pose menari. Ada pula lukisan rumah Jepang kuno, dilengkapi kolam ikan di tengah-tengah halaman serta pepohonan bambu yang membingkai sisi halaman rumah. Dan masih ada lukisan lainnya yang digantung teratur.
Desain interior kediaman Hyuuga Hiashi terbilang sederhana. Dia cenderung konservatif terhadap budaya bahkan untuk rutinitasnya. Seperti tradisi minum teh seraya bermain sogi juga ketika dia selalu mengenakan kimono sebagai pakaian sehari-hari. Apalagi untuk konsep ruang dan penataan di rumah utama, Hiashi masih mengedepankan peninggalan para leluhur meski dia tetap menyatukannya dengan nilai futuristik.
Bangunan biasa pula perabotan ala kadarnya, namun Naru mendapati kenyamanan di tempat ini. Sangat berbeda bila dibandingkan dengan kediamannya saat di Prancis atau mansion mewah milik keluarganya di salah satu kompleks elit yang terdapat di Tokyo.
Ketenangannya terusik, Naru berdecak lidah sambil mendengkus kesal. Dia terduduk dalam keadaan terpaksa, lalu mengerang malas. Kerasnya bunyi ketukan pintu dari depan, benar-benar melenyapkan lamunan indah yang nyaris membawanya ke tidur lelap.
Naru mempercepat langkahnya menuju pintu, usai dia kembali memakai kaus putih yang tadi sempat dibuka. Lalu seketika dia membuang muka, mendapati putri si pemilik rumah berdiri di hadapannya, cengar-cengir pula.
"Hidungmu sudah lebih baik 'kan?" Hinata tersenyum lebar, senyuman yang bagi Naru telah merusak suasana hatinya dalam sekejap.
"Padahal aku baru saja ingin tidur. Sampai keributan yang kamu timbulkan mengusir rasa kantukku. Oke, biang kerok! Apa yang kamu cari sekarang?" terdengar sarkas memang, tapi kemunculan Hinata lagi-lagi di waktu yang tidak tepat.
Mukanya seketika berubah masam. Lantas tanpa mau menyahut perkataan Naru, Hinata mengentakkan kaki, menyingkir dari sana. Sementara Naru langsung menutup pintu tanpa merasa perlu peduli.
"Bagusnya hidungmu yang panjang itu betulan patah, aku 'kan cuma nanya. Kalau bukan karena perintah Ayah, aku juga enggak mau." Begitu sampai di rumah, ocehan Hinata baru berhenti. Tak menyadari jika ayahnya telanjur menguping celotehannya.
"Hinata ..." Hyuuga Hiashi menghampiri putrinya, lalu memimpin langkah ke ruang keluarga yang hanya dibatasi oleh sekat terbuat dari kertas tembus cahaya, berbingkai kayu. "Usiamu sudah 25 tahun. Ayah tidak bermaksud mengatur, tapi di usia itu Ibumu sungguh menjadi wanita idaman. Banyak lelaki yang berkunjung ke rumahnya dan membawa lamaran." kata Hiashi setelah mereka sama-sama duduk di lantai berlapiskan tatami. "Bukan membanding-bandingkan, tapi Ayah cukup heran jika perbedaan sikapmu dan mendiang ibumu kejauhan. Lagi pula dia selalu mengajarkanmu banyak kebaikan. Andai dia masih hidup ..." pak Hiashi menarik napas lumayan panjang. Dia tidak berencana menciptakan momen haru di tengah kebersamaan mereka di malam ini, maka dari itu dia menghentikan ucapannya.
"Ayah ..."
"Ayah tahu ..." pak Hiashi menyela ucapan putrinya tadi, "Perubahan sikapmu ini mungkin karena Ayah." Hinata melongo dalam posisinya, bersimpuh di depan sang Ayah. "Kalau dari awal Ayah memberi kebebasan padamu, kamu tidak akan bertindak kekanak-kanakan seperti ini. Maafkan Ayah." dia merunduk sekejap, sedangkan Hinata mulai merasa bersalah.
"Ayah ..." muka Hinata tampak kecewa. Tentu terhadap dirinya sendiri. "Bukan Ayah yang salah, aku yang memang kekanak-kanakan. Tapi aku harap Ayah tetap percaya padaku. Itu karena dia orang asing, selain kepadanya ... aku selalu menjaga sikapku." Kedua tangan Hinata terkepal di atas paha, sorot matanya tertuju ke bawah, sungkan menatap ayahnya saat tahu lelaki tua tersebut terang-terangan mengungkap penyesalan dan menyebut dirinya sendiri sebagai penyebab.
"Dia datang ke sini bertepatan dengan fajar dan Ayah tahu kamu belum bangun, makanya tidak merundingkannya dulu denganmu. Ayah sangat senang ada yang bersedia menyewa rumah kita. Akhirnya tempat ini tidak akan sepi lagi. Mulai sekarang ... Ayah minta agar kamu bisa mengalah. Bagaimanapun juga dia adalah tamu. Setidaknya jangan memancing keributan, atau apa saja yang dapat mengganggu ketenangannya."
Meski dongkol bukan main, mau tak mau Hinata harus menyanggupi titah tersebut. Melihat Ayah bersedih tak jarang justru menaikkan emosionalnya begitu cepat. Cukup sekali menyaksikan Ayah terpuruk sebab kematian Ibunya. Cuma Ayah satu-satunya keluarga dan orang terdekat yang dia miliki.
"Ayah tenang saja, aku janji akan menuruti kata-kata Ayah."
-----
Hinata mendadak heran ketika pintu rumah di samping sulit dibuka. Padahal dia yakin sudah memutar kunci dengan benar, tetapi pintunya tetap tidak bisa didorong. Sia-sia mencoba ulang, sampai dengan keadaan marah dia terus menarik engsel pintu kuat-kuat.
Di setiap pagi, sebelum pergi ke toko bunga milik mereka di perempatan jalan, Hinata kerap menyempatkan diri mengunjungi Ibunya. Kini merasa dihalangi, kemarahannya kian menjadi-jadi. Pikiran Hinata menduga sesuatu yang buruk, bahwa Naru sengaja melakukan hal ini terhadapnya. Sampai kegeraman itu menyebabkan dia terdiam dengan wajah merengut.
Di sela lamunannya, tahu-tahu pintu ditarik dari dalam, membuat tubuh Hinata ikut tergiring. Dia hampir saja jatuh bila Naru tak sigap menangkap lengan-lengannya. Tubuh mereka berdempetan, bahkan Uzumaki Naruto dapat menyadari jantung Hinata berdetak amat cepat. Kedua bola mata yang kontras saling menilik, sementara muka Naru seketika mengernyit tak senang.
"Heh, burung! Mau apa kamu kemari?! " Naru sengaja menaikkan alis-alisnya demi menunjukkan keberangannya. "Aku enggak suka kamu bolak-balik ke sini. Rumah ini kusewa untuk tiga bulan ke depan dan sudah kubayar penuh, bahkan tiga kali lipat. Jadi, tolong beri aku privasi selagi tinggal di sini. Enggak ada orang yang suka jika kedamaiannya terusik. Orang-orang sepertimu ini kerjanya cuma meresahkan saja." Daripada memedulikan keluhan Naru. Hinata justru menikmati debar-debar dirongga dadanya, jarang yang terlalu dekat di antara keduanya mengakibatkan Hinata terjebak dalam perasaannya sendiri.
"I-bu ... aku cuma ingin menemui Ibuku." Lalu rasa gugupnya tidak terelakkan lagi, Hinata terbata-bata.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Uninvited Neighbor ✓
RomancePagi Hinata yang mestinya penuh khidmat, tak disangka-sangka di hari itu menjadi sekelebat mimpi aneh. Dia melihat sesosok bertubuh polos, tidak dikenal dan berada di dalam kamar mandinya, dia ragu apakah seorang pria sungguhan? Tapi bagaimana kalau...