🌸 15 🌸

138 25 2
                                    

Ditemani rinai hujan, serta secangkir matcha yang masih panas, Naru duduk berdiam diri di engawa. Seperti pandangan kosong, sorot netra si Uzumaki tertuju lama pada tetesan air yang jatuh ke permukaan dedaunan di taman. Kini dia memahami, perasaan tiada pernah mudah untuk ditebak, meski menyangkut isi hati pribadi.

Tiga hari berlalu, gelisah itu masih menghantui pikiran. Satu-persatu pernyataan, ungkapan terdalam oleh Vanessa, berputar konstan di kepala Naru. Sehingga menyebabkan gairahnya menurun, ekspresi pun buruk, berbeda dari yang biasanya terlihat. Beginilah ketika cinta menjadi kekeliruan. Apa gerangan keinginan tersebut, namun begitu Vanessa mengutarakan isi hatinya, Naru hanya mampu bungkam lewat seberkas senyum tipis.

Dia telah lama mendamba, berkali-kali pengakuan ini terbilang secara sadar. Kehadirannya memiliki tempat khusus dalam hidupnya. Siapa pun tahu, dia nyaris sempurna. Para lelaki tergila-gila, demikian pula dia. Persiapan matang tentu pantas sebagai penyampai bait cinta untuk sosok Vanessa.

Lantas seluruh pemikiran kompleks itu tanpa arti sekarang. Bukan euforia yang dia dapatkan, Naru justru bimbang dengan seluruh rasa yang tersimpan. Keraguan muncul, tanpa debar-debar penanda kasmaran. Sulit berbohong, namun jujur juga tiba-tiba menjadi berat. Diakhiri seringai membingungkan, terlukis di wajah tampannya.

"Kamu persis marmut sakit kehilangan betina. Kekasihmu pergi, kamu langsung meratap." Kakashi datang, ikut duduk sembari memegang mug berisi susu hangat. Ejekannya tadi tak menggubris posisi Naru. Tetap si Uzumaki mematung, seolah terpaku akan rintik hujan. "Kamu bisa menyusulnya jika mau. Bersikaplah layaknya pria dewasa, bukan menangisi nasib seperti para remaja yang galau."

"Vanessa wanita impianku, banyak rencana sempat terlintas bila kami hidup bersama. Tapi sekarang khayalan itu tidak lagi menyenangkan buatku. Kupikir aku adalah pria yang paling bahagia di muka bumi, ketika dia lebih dulu mengatakan cinta. Sampai kusadari seluruhnya berubah. Aku malah terbebani karenanya. Barangkali kesiapan itu memang tidak sungguh ada. Aku hanya berandai-andai tentang masa depanku, sedangkan peran Vanessa di sana cuma dampak dari kebersamaan kami. Apakah penjelasanku cukup waras menurutmu? Aku sendiri sangat dipusingkan soal ini. Lidahku kelu untuk membalas kejujurannya. Aku merasa berdosa, membiarkan wanita sebaik dia menunggu."

"Harusnya kamu bersikap tegas. Sengaja mengabaikan wanita cantik, bukanlah pria jantan."

"Aku tahu... aku tahu! Perkataanmu memperparah emosiku." dia melirik sinis pada Kakashi. "Jika ingin memberi saran, silakan! Jangan mencibir! Ini tak semudah yang kamu duga. Aku sempat sangat mengidam-idamkan dia, tapi kenapa sekarang berbeda. Apa mungkin karena aku tak bisa mensyukuri kenyataan bahwa semua ini terlalu mudah bagiku." Alhasil perkara sederhana tersebut berhasil membangkitkan amarahnya. Meski Kakashi terbiasa mendapati nada penekanan darinya, tetap jua dia risi akan tindakan mendadak demikian.

"Jika begitu, pastikan dulu. Apa susahnya?"

"Baru kukatakan ini tidak gampang, kamu paham atau tidak?! Lebih baik diam di situ!"

"Terserah apa maumu, aku tidak peduli."

"Ya, itu bagus!" Tetap saja suaranya meninggi, teredam desau angin yang mengempas halus tetes hujan ke wajahnya.

"Urusanmu dengan anak si pemilik rumah, sudah selesai 'kan? Aku tidak melihatnya beberapa hari ini."

"Hinata?"

"Siapa lagi memangnya?" Kata Kakashi sambil menatap tak acuh.

"Astaga, aku lupa!" Buru-buru dia bangkit sampai mengagetkan Kakashi. Pria itu melongo heran tatkala Naru menerobos gerimis, berjalan cepat ke rumah pak Hiashi.

-----

Hari ini langit begitu kelam. Awan kelabu menutupi  hampir seluruh kota Kyoto. Cuaca dingin mendorong orang-orang tetap bertahan di rumah sembari menikmati secangkir minuman hangat, atau pula berbaring di tempat tidur di bawah selimut bulu yang lembut.

"Sebentar...! Hujan-hujan begini?! Apa mungkin turis? Pasti tetangga kurang ajar itu menyebar desas-desus lagi. Mereka tidak pernah puas berbohong demi uang. Jika begini terus, rumahku bisa-bisa alih fungsi menjadi persinggahan gratis."

Pak Hiashi mengoceh selagi dia melangkah ke pintu depan. Jengkel karena waktu santainya terganggu oleh bunyi ketukan pintu. Sementara diluar, Naru menggigil akibat kecerobohannya sendiri. Meski jarak yang dekat, faktanya curah hujan rendah cukup bisa membasahi sebagian tubuhnya. Ditambah hawa dingin kentara menusuk ke tulang.

"Maaf jika kedatanganku tidak mengenakkan. Apa Hinata ada?" Sambil memeluk tubuhnya yang bergetar dia pun menuturkan niatnya.

"Masuklah, Kenapa tidak memakai jaket? Di sini bisa sangat dingin saat musim hujan. Padahal sudah kuberitahu." si pak tua menggiring Naru kedalam. Sedikit kecemasan tampak di rautnya. "Putriku sedang berberes-beres di kamarnya. Masuk saja, pintunya terbuka." Naru mengangguk tanpa sepatah kata terdengar dari bibirnya. Dia mendahului pak Hiashi yang kini menggeleng-geleng diam sembari mengamati geraknya. "Anak muda dijaman sekarang sukar dimengerti. Dia datang kemari seperti orang linglung. Misi putriku berhasil." detik itu juga Hiashi memandang ke langit-langit rumah dan dia berkata, "Hikari, tak lama lagi kesunyian ini akan berganti keramaian. Aku hampir putus asa, tapi Tuhan memberi jawabannya. Kuharap kamu menyaksikan hari bahagia putri kita nanti. Kamu sering bilang, dugaanku selalu tepat." Selanjutnya dia kembali merunduk, lalu menghapus setitik air di pelupuk matanya.

-----

"Hinata..."

"A...a... k-kamu datang? Kamu ... butuh sesuatu?!" Mendadak gagap saat Naru muncul begitu saja, di mana dia tidak kelihatan siap. Rambutnya digulung ke atas. Hinata memakai gaun rumahan dilapisi apron, sebab dia tengah membersihkan debu-debu yang menempel pada perabotan di kamarnya.

"Begini ... kenapa kamu tidak mampir ke rumahku? Ehm, maksudku biasanya kamu mengantar makanan untukku. Ah ... bukan itu! Aku mau bilang ... sudah lama tidak melihatmu. Jadi kupikir..."

"Kanu gugup?"

"Ti-dak ... tidak ... itu mustahil." Naru melambai-lambaikan jemarinya di depan Hinata. "Hanya saja kamu ..."

"Ya? Aku ... kenapa?"

"Kamu cantik sekali ..." tanpa sadar, terang-terangan pujian itu terbilang.

"Cantik? Kamu bergurau?"

"Hah?! Bergurau? Memangnya aku bilang apa?" Kelopak matanya mengerjap-ngerjap, Naru gelagapan.

"Aku cantik."

"Ya, benar. Can ... tik?! Kurasa bukan itu!" Makin salah tingkah, detik tadi Naru meninggikan suaranya.

"Tidak, itu yang kamu katakan barusan."

"Mungkin kamu yang salah dengar."

"Ucapanmu sangat jelas dan telingaku juga masih normal."

"Kalau begitu, berarti aku yang ..."

"Lapar? Suara perutmu 'kan? Kamu lapar." Celetuk Hinata akibat gemuruh di perut Naru memanggil, lebih kuat menarik atensinya. "Ayo, ikut aku! Tingkahmu aneh, dan ternyata itu gara-gara kamu kelaparan." Naru tercekat. Namun Hinata benar adanya, walau dia tak yakin sejak kapan rasa lapar itu muncul.

"Maaf,"

"Aku tidak perlu mengunjungimu sebelum kamu meminta, katamu waktu itu. Lagi pula kamu bakal terus-terusan pergi bersama Vanessa semasih dia di sini." Keduanya sudah berada di dapur yang letaknya pas di samping kamar Hinata, terpisah oleh sekat.

"Kamu juga menemani Ibu 'kan? Mangkanya aku mengajak Vanessa. Omong-omong, Ibu menitipkan sesuatu untukmu. Besok kamu sudah bisa bekerja seperti biasa. Toko bungamu bagaimana?" Situasi di antara mereka balik tenang semula. Kegugupan tadi sirna entah ke mana. Dan kini Naru tersenyum, mengamati satu-persatu mangkuk, piring ceper berisi bermacam menu mendarat di atas meja.

"Ibumu sangat baik. Aku merasa beruntung sempat mengenal dan mengobrol banyak dengannya. Dia bilang kapan-kapan ingin kami bertemu lagi."

"Ya, semoga tetap sama ketika tiba waktunya aku harus berbicara serius padanya." Lalu Hinata memandangnya saksama, sendok pula sumpit masih tertahan di genggamannya.

Bersambung...

Uninvited Neighbor ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang