🌸 16 🌸

146 26 1
                                    

Saat ini pesanan lukisan si Uchiha sepenuhnya telah rampung. Lantas sesuai permintaan lelaki ikemen tersebut, Naru pun mempersiapkan segala barang-barang yang diperlukan untuk membungkus lukisan dengan rapi dan yang terpenting adalah menghindari risiko kerusakan. Pasalnya Naru sempat memperingatkan, agar lukisan diberikan dalam pertemuan langsung oleh mereka. Namun alasan kuat, gentingnya pekerjaan yang tengah dihadapi si pria Uchiha menyebabkan Naru menerima alternatif solusi dari kliennya itu.

Selotip berukuran sedang, kardus, plastik bergelembung, selotip besar, kotak, koran bekas, juga sebuah spidol, semua benda-benda ini terletak di atas karpet jerami. Naru duduk di zabuton, menghadap perlengkapan tadi. Usai dia mengecek peralatan, Kakashi datang sembari dia mengoceh lesu.

"Apa enggak bisa lukisannya dikirim besok? Kenapa kamu sembunyikan dariku? Aku tidak tahu dia secantik ini. Ayolah... kita teman lama. Kamu bahkan menganggapku seperti Pamanmu sendiri, berbaik hatilah padaku." Lukisan itu masih di tangannya, sedang Naru tak mengindahkan sekejappun ucapannya.

"Untuk apa?! Agar kamu bisa menjadikan gadis itu sebagai objek fantasi kotormu? Iya 'kan? Akui saja." Naru menghardiknya pelan, setelah dia melirik Kakashi. "TI-DAK! Berikan padaku!"

"Ayolah... malam ini saja. Akan kulakukan apapun, jika kamu mengizinkannya."

"Kakashi, mana harga dirimu? Dia itu tunangan orang, cari pasanganmu sendiri. Kau pikir siapa yang rela jika kekasihnya menjadi bulan-bulanan pikiran mesum di kepalamu?" Kakashi melengos diam, merelakan lukisan cantik milik si Uchiha direbut dari tangannya. "Ingat usia, tak selamanya tubuhmu kuat seperti keyakinanmu terhadap tampangmu yang menyebalkan. Tampan saja tidak cukup. Para wanita takut dengan pria pura-pura diam, tapi kurang ajar. Pembalasan bagimu, karena rahasiaku diketahui ibu dan Vanessa."

"Ya... apalagi memang? Aku sudah menduga bakal terjadi begini, tapi tak menyangka kau menggunakan wanita cantik untuk menyerangku. Itu tidak jantan. Kekasihmu yang lain sudah datang. Hari ini aku akan tidur sampai malam. Jadi, jangan menggangguku, mengerti?!" Kakashi berlalu, sebelum Naru tuntas berkata. Barangkali ada yang dia perlukan dan telanjur Kakashi merajuk karena ulahnya. "Dasar si tua mesum! Tingkahnya seperti anak kecil."

"Ada apa denganmu? Kamu marah?" Sebagaimana yang kerap berlangsung, Hinata lagi-lagi berkunjung sembari menenteng bekal makanan.

"Dia membuatku kesal."

"Tapi tidak sepantasnya kamu keras kepada orang yang lebih tua, walau dia pengawalmu." Hinata langsung duduk di samping Naru, meletakkan kotak makanan di atas meja. "Makan dulu selagi masih hangat."

"Aku bingung. Siapa yang akan mengantar lukisan ini? Kalau memakai jasa kurir biasa, takutnya tidak aman. Bisa saja terhempas, terjatuh, terhimpit. Kakashi tidak mau." Keluhan itu terbilang dengan gairahnya yang kini menurun. Memikirkan hal demikian seketika menyurutkan semangatnya.

"Ayo, makan dulu. Nanti saja kita pikirkan. Perutmu perlu diisi, biar gampang menemukan jalan keluar." Kemudian Naru manggut-manggut dan dia bergeser ke meja Oshin.

"Aromanya enak. Wah, pantasan! Ternyata tempura."

"Bibi bilang ini kesukaanmu. Daripada kau malah bosan karena hampir setiap hari makan gyoza."

Kotak bekal bersusun tiga. Hinata memisahkannya, hingga tampilan ragam makanan spontan menggugah selera si pria Uzumaki. "Kau masak tumis sayur juga?"

"Tenang saja, yang ini beda. Aku jamin kamu akan menyukainya." Mereka bergantian tersenyum. Naru makan dengan lahap juga perlahan ketika sumpit sudah di tangannya.

"Kamu sudah makan?"

"Belum. Aku buru-buru ke sini karena takut kamu kelaparan."

"Makan bersamaku saja. Ayo, aa ...!" rona merah di pipi Hinata samar-samar terlihat. Cukup lama dia dan Naru bertatapan lekat-lekat, lalu dia terkesiap saat Naru memanggilnya, "Hinata ... Kok melamun? Tanganku bisa bisa kram." Malu-malu tadi bergulir, sekarang Naru pula yang merundukkan kepala saat mendapati ekspresi manis di wajah Hinata. Padahal hanya menyelipkan sedikit rambut yang menutupi sebagian mukanya.

"Terima kasih. Ternyata kamu pria yang baik. Kupikir kamu tidak bakal berhenti mengata-ngataiku atau berdebat denganku."

"Ya, karena kamu yang memulainya duluan. Aku mana mungkin melakukannya kalau tidak merasa terganggu." kening Hinata berkerut detik itu juga. Kegembiraan di parasnya tadi lenyap sudah, berganti cemberut.

"Berarti selama ini kamu menganggapku sebagai pengganggu?"

"Saat tenang begini ya ... tidak."

"Aku pulang! Pikirkan masalahmu sendiri. Habiskan makanannya. Mungkin besok-besok aku tidak memasak lagi untukmu."

"Loh! Kok marah? Apa jujur itu salah?" Keningnya mengernyit semasih dia mengamati kepergian Hinata yang mendadak. "Mereka kembali menjadi aneh."

-----

Sebagai langkah terakhir, lukisan yang telah dia kemas rapi dan dipastikan aman, selanjutnya dimasukkan ke dalam kotak yang bentuknya simetris bingkai lukisan. Rautnya tampak serius, hendak menuntaskan segera pekerjaannya.

Penampilannya sudah oke. Naru keluar seraya membawa lukisan dengan amat hati-hati. Sementara diluar, mobil sewaan yang selama ini digunakan Kakashi sudah terparkir di depan. "Wajib ada tip untuk usahaku ini, Sasuke." Naru pergi seorang diri, bertemankan mukanya yang ketat.

"Makanya jangan merajuk, sekarang gengsi 'kan? Gara-gara hal ini, si Vassa yang kamu bilang cantik itu bisa makin dekat sama si Naru dan jika itu terjadi kamu siap-siap menunggu bujangan daei desa kita yang datang."

"Siapa yang senang kalau disebut pengganggu, memangnya Ayah suka?" Muka masam serta bibir manyun dipampangkan Hinata di hadapan ayahnya. Sejak tadi mereka menyaksikan pergerakan Naru dari balik pintu dan ketika mobilnya berderam, buru-buru keduanya keluar.

"Masih muda, dikasih tahu orang tua harusnya diam. Melawan terus kerjanya, sial baru tahu!"

"Ayah ini bagaimana sih? Kemarin-kemarin mendukung, malah Ayah yang lebih sibuk. Kalau Hinata menikahnya sama bujangan desa, ya ... mau enggak mau Ayah harus siap. Menantu Ayah serba segalanya pokoknya."

"Segalanya dari mana? Dari mimpi?"

"Ayah dengar baik-baik, SERBA PAS-PASAN! Pas-pasan tampangnya, pas-pasan kelakuannya, pas-pasan duitnya, pas-pasan otaknya. Cocok kok sama Ayah yang standar. Tapi Nata enggak mau!" siap mengoceh, dia sengaja membuang muka di depan Ayahnya, sembari bibirnya turut mencebik.

"Akhlaknya benar-benar kurang. Kurang normal," Celetuk pak Hiashi.

Bersambung...

Uninvited Neighbor ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang