🌸 18 🌸

154 23 0
                                    

"Terima kasih. Datang kembali, ya." Senyum Hinata mengembang sempurna, saat memberikan dua buket bunga ke pelanggan.

Aktivitas Hinata kembali sedia kala, sudah sebulan ini berlangsung. Rutininas menjaga toko bunga, wasiat mendiang Ibunya. "Merasa sepi tidak? Biasanya ada Sakura yang selalu berbicara angkuh di sini. Aku rindu si merah muda itu." punggung Tenten meluncur ke meja. Dari mulutnya terembus udara, dengan kernyit tajam di dahinya dia mengamati Hinata yang tampak tidak acuh. "HINATA!"

Spontan pot bunga plastik terlepas dari tangannya, gara-gara teriakan tadi. "Apa, sih? Enggak lihat aku sedang sibuk? Bukannya membantu, kerjamu cuma duduk-duduk."

"Sesuai janji kita, waktuku untuk membantumu sudah habis. Kamu 'kan tidak bakal libur lagi. Tetanggamu yang tampan itu juga sudah pergi. " tiba-tiba Hinata merengut, semangatnya menghilang. Dia malah ikut-ikutan duduk di dekat Tenten sambil badannya pun mencelos ke meja.

"Rumahku kembali suram, sunyi lagi. Aku jadi malas pulang. Kadang-kadang aku lupa kalau sekarang Naru tidak di rumah itu. Habis memasak, aku menyiapkan makanan untuknya. Lalu kemarin ayah datang ke dapur. Dia langsung bertanya, bekal yang kusiapkan buat siapa? Aku jadi bingung sendiri di depan ayah."

"Terus, kamu bilang apa?"

"Tidak ada. Justru karena ayah, aku malah jadi galau. Kamu tahu apa yang ayahku katakan?" Kedua pundak Tenten terangkat.

Orangnya sudah pergi. Lama-lama anak gadis ayah jadi gila. Satu dua hari, wajar kalau lupa. Sudah seminggu begini kok belum sadar. Takutnya nanti, kamu pikun lebih cepat dari ayah.

Terdengar gembira sekali ketika Tenten terbahak-bahak. "Ayahmu asyik, ya. Selalu benar omongannya." Tawa meledek bersambung-sambung, sampai Hinata melempar pelan pot bunga plastik ke arahnya dan perempuan Tionghoa itu langsung terdiam. "Maaf, maaf. Aku terbawa suasana."

"Kamu dan Sakura sama, hobi kalian menyebalkan. Riang banget mengolok-olong orang."

"Tapi, Hin ... yang dikatakan ayahmu itu tepat. Coba pikir sendiri, memangnya dia tidak berpamitan sebelum pergi? Aku cuma heran, dampaknya terhadap dirimu kok mengerikan. Padahal kamu dan dia sering bertengkar. Apa jangan-jangan ... kamu menyimpan perasaan untuk tetanggamu itu?"

"Aku tidak tahu. Sebenarnya sebelum kepergian Naru, aku merasa hubungan kami sedikit lebih baik. Dia ... dia sempat menciumku." Entah kenapa justru Tenten yang bereaksi berlebihan. Perempuan itu menelan berat salivanya sembari dia melotot.

"Wah, Hin ... kamu serius?!" Serunya dengan kepala yang digelengkan serta lidah berdecak-decak. "Pacaran, dong?!"

"Enggak."

"Loh! Kok begitu?"

"Ya, harus bagaimana? Dia di Tokyo, aku di Kyoto. Dan lagi ... aku agak waswas tentang Vanessa. Aku dan dia bagai perak dan emas, tidak bisa dibanding-bandingkan. Jelas aku yang kalah."

"Cuma perasaanku doang, apa memang dirimu makin pintar, ya? Sejak tadi kamu sangat tenang. Aku belum mendengar keluhan juga ocehan apapun darimu. Cara bicaramu jauh berbeda dari biasanya."

Hinata pikir dia tidak perlu membuat sebuah pengakuan, meski perubahan tersebut disengaja. Dia hanya ingin membentuk sikap sebagai perempuan yang lebih baik. "Kayaknya betul cuma dugaan doang. Aku masih seperti dulu, kok."

"Ehm ... iya deh! Aku juga ragu sih. Sudah terbiasa melihatmu berisik, asal-asalan bicaranya, tahu-tahu kalem begitu ... agak seram . Eh, maaf. Maksudku aneh, sedikit." sambil dia mengatur gestur telunjuk dan ibu jarinya, nyaris menempel. Menegaskan bahwa dia tidak berniat mengejek, "Omong-omong Hinata ... apa kamu enggak kangen?"

"Aku enggak mau jawab. Ujung-ujungnya kamu pasti mengata-ngataiku."

"Ya, bebas. Enggak dijawab juga sudah kelihatan, Hin. Buat apa bersandiwara?"

"Kamu sendiri bagaimana? Bukankah sejak awal kamu duluan yang suka sama dia?" Tenten menyandarkan dirinya ke punggung kursi, kini lesu yang tampak di rautnya.

"Demi kebahagiaanmu, aku bakal move on. Apalagi kalian sudah berciuman. Itu satu bukti, kemungkinan dia punya perasaan serupa denganmu."

"Ya jangan diulang-ulang jugalah. Aku malu."  Akhirnya Hinata memalingkan mukanya, menutupi pipinya yang bersemu merah.

-----

"Naru, Ibu ingin bicara denganmu." Kedatangan Kushina begitu lekas mengundang atensinya. Dia tengah merapikan kerah kemeja di hadapan cermin dan kini menoleh, menghampiri Ibunya di bingkai pintu.

"Ibu mau apa dariku? Bulan depan ulang tahun Ibu 'kan?" Senyum Kushina mengembang, lalu tangannya terangkat untuk membetulkan kemeja Naru yang tadi belum sempat diperbaiki oleh lelaki itu.

"Perhatianmu, Ibu tidak pernah meragukannya. Ini soal masa depan kamu. Sini, duduklah sebentar." Seraya menarik tangan Naru, dia mengajak putranya duduk sekejap di pinggir kasur.

"Ibu ... bukannya aku ingin membangkang atau tidak berbakti kepada Ibu. Sejujurnya jalan yang kupilih berbeda, karena ini adalah hidupku, Bu." Naru hanya berusaha terbuka kepada sang ibu, saat dia masih berpikir bahwa dia dan Ibunya tiada pernah akan selaras.

"Kamu sangat mirip dengan ayahmu. Kalian sama-sama terlalu cepat menyimpulkan."

"Maksud Ibu...?"

"Nak," Kushina menggenggam tangan putranya. "Lebih dari semua harapan Ibu di muka bumi, kebahagiaanmu adalah yang paling utama. Ibu tidak mau yang lain. Jika terjadi sesuatu padamu, Ibu mesti bagaimana? Ayahmu, lalu Maruko. Sudah cukup kesedihan karena ego Ibumu ini." Perlahan air matanya mengalir. Sampai dengan sigap Naru menghapus tangisannya.

"Mereka telah bahagia di surga. Kehilangan bagian dari takdir yang patut kita terima, Bu." Naru memeluk sembari menyapu pelan punggung Ibunya. "Aku janji akan selalu menjaga dan menyayangi Ibu. Jadi, jangan khawatirkan hal itu lagi."

"Iya, Ibu mempercayaimu."  Usai mengangguk, dia melerai pelukannya. "Galerimu? Lusa peresmiannya 'kan? Apa yang bisa Ibu lakukan?"

"Mendampingiku di sana. Orang-orang harus tahu aku memiliki Ibu yang sangat cantik juga luar biasa. Ibu yang akan menyambut para tamu."

"Ibu pasti mempersiapkan yang terbaik. Hinata dan ayahnya, kamu tidak mengundang mereka? Akan menyenangkan jika ada Hinata di sini. Pasti dia banyak bertanya, lalu kami tidak akan kehabisan obrolan."

"Sedang kupikirkan. Aku bingung dengan cara apa mengajaknya, Kyoto lumayan jauh dari sini. Aku pernah dengar dari Hinata kalau ayahnya tidak mengizinkan dia pergi ke kota." Seketika muka Kushina terlihat masam, dahinya mengernyit.

"Padahal Ibu sangat mengharapkan kedatangannya." Detik sekian Naru menghela napas, kemudian sisa udara berembus dari pernapasannya.

"Ibu tenang saja. Hinata bakal datang, apapun caranya." Baru Kushina dapat merasa lega, kentara dari senyuman yang terukir di wajahnya.

"Ya sudah. Sebelum berangkat, makanlah dulu. Ibu masak makanan kesukaan kamu."

Bersambung...

Uninvited Neighbor ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang