Beberapa minggu sebelum kedekatan Hinata dengan si penyewa resek...
Hinata memarkirkan sepedanya di samping rumah. Karena kebiasaan menggerutu, tanpa sadar hal itu kerap terjadi di kala dia merasa jengkel. Sekarang pun demikian. Terdengar dia menyebut nama-nama temannya dengan nada kesal. "Setiap hari titip salam. Memangnya aku kurir apa? Lain cerita kalau ada uangnya. Kelamaan jomlo jadinya begitu. Tenten ... Tenten ... makanya cari pacar. Usaha dong!" Mungkin saat ini dia khilaf. Sendirinya juga jomlo, tapi yang namanya mencibir tentu lebih gampang, suka tidak sadar, Hinata memang sering lupa sama keadaan sendiri.
Puas mengumpat, dia mengambil rangkaian bunga di dalam keranjang sepeda. Bunga-bunga tersebut sudah dikelompokkan menjadi beberapa ikat, berisi 3-5 tangkai bunga. Hinata berjalan melewati pintu rumahnya, sampai ke rumah sebelah. Kebetulan di sore itu, pintunya terbuka lebar. Sedikit mengherankan bagi Hinata, ketika dia hafal betul tingkah si penghuni rumah. Selalu mengunci pintu, seolah-olah menutup kesempatan bagi tamu yang ingin berkunjung. Mengusir secara tak langsung, itu yang dipahami Hinata.
Menyelonong tetap nomor satu, itulah Hinata. Dia mondar-mandir ke sana kemari dengan santainya. Niatnya baik, bunga tadi dia taruh di beberapa vas kosong yang terletak di atas perabot. Rumah ini sudah tidak kosong lagi sekarang. Dia menghiasnya dengan bunga-bunga agar suasananya terasa asri juga ceria.
Tujuan selesai, Hinata hendak melangkah keluar. Dia malas jika harus ketemu dengan si penghuni rumah, ujung-ujungnya pasti saling melempar ejekan. Daripada makin emosi, lebih baik pergi sebelum si penyewa yang menyebalkan nongol di depan dia.
Alih-alih pulang, Hinata justru memutar langkah kian ke dalam. Ada suara-suara asing, bagi Hinata agak mengerikan di telinga. Dari ekspresinya sekarang, jelas sungguh aneh. Seperti baru menyaksikan sesuatu yang membuat dia bergidik geli.
Akan tetapi, rasa penasaran lebih kuat dari yang terbayangkan. Kaki-kakinya mendorong dia menuju asal suara. Perlahan mengikuti bunyi yang masih terdengar, tanpa sadar Hinata tiba di washitsu; yaitu ruang yang dipakai untuk menyambut tamu. Naru mendesain ulang dengan menambahkan televisi dan sofa tunggal di dalamnya. Fusuma tidak tertutup rapat, hanya setengah. Mengakibatkan apa yang terjadi di ruang itu, dapat terlihat jelas.
Sepasang manusia tanpa busana tampak terengah-engah. Meski hanya sebagian tubuh mereka yang direkam kamera, tetap saja menegaskan dengan nyata apa yang sedang mereka lakukan di sana. Kedua pipi Hinata bersemu merah, spontan dia membuang muka. Denyut jantung menggila, dia gugup luar biasa. Gagal mengontrol diri, alhasil dia menyerah dan memutuskan ingin segera menyingkir dari sana. Buru-buru dia memutar badan seraya membungkam sebagian wajahnya, terutama mulut demi menahan teriakan yang sedari tadi ingin keluar.
"AWAAAASS!!!" tiba-tiba Naru memekik. "Kamu menjatuhkannya!" dia mengusap gusar kepalanya. Baru saja kamera yang dia bawa terlepas dari tangan, jatuh ke lantai dan lensanya pecah. Ekspresi Naru saat ini kentara bingung bercampur marah. "Kamu harus perbaiki kerusakannya! Kameraku hancur!"
"Cuma kacanya yang retak. Kameramu tetap utuh, kok." Hinata memungutnya dan memperlihatkan kondisi lensa yang pecah pada Naru. Dan karena situasi di antara mereka seketika menjadi sengit, Hinata sampai dibuat lupa dengan video terlarang tadi. "Kamu sendiri yang menabrakku."
"Kamu buat apa ke sini? Aku 'kan sudah bilang, enggak boleh sembarangan masuk ke rumahku."
"Rumahmu?! Ini rumah ayahku! Jangan beraninya mengaku-ngaku, ya!" punya suara halus dan rendah, dipaksa untuk berbicara dengan lantang. Alhasil tenggorokannya jadi kering.
"Aku bayar mahal uang sewanya. Sampai waktu perjanjian habis, aku berhak atas rumah ini. Dengar ya, kamu harus mengganti biaya perbaikan kamera ini." Hinata mendongak dan memperlihatkan muka yang berkerut. "Kamera ini harganya seratus ribu yen. Mana uangmu? Sini!" Naru menengadahkan telapak tangannya di depan muka Hinata.
"Se-sera-tus ribu?!"
"Kurang jelas?"
"Aku enggak ada uang sebanyak itu."
"Pokoknya harus ganti, enggak usah banyaj alasan." lagi-lagi Naru mengintimidasi dengan nada suara yang tinggi. "Karena kameraku rusak, pekerjaanku terhambat."
"Pengangguran bisa kerja? Aku jadi penasaran pekerjaan apa yang kamu lakukan? Ehh, enggak penting juga ya. Sudahlah! Aku mau pulang." Tiada rasa bersalah sedikitpun, Hinata melewati Naru dengan santainya. Tapi tangan Naru lebih cepat menarik tubuhnya yang mungil.
"Kamu enggak diizinkan pulang, sebelum membuat kesepakatan denganku!"
"Lepaskan tanganku!"
"Enggak!"
"Lepaskan!"
"Diam!" Hinata meringis, menjerit kecil berulang-ulang ketika Naru mengunci lengannya. "Dengar baik-baik ... untuk biaya ganti kerusakan, kamu diwajibkan bekerja padaku selama aku menetap di rumah ini. Kamu tahu artinya apa?" Hinata menggeleng-geleng pelan, sambil sesekali mengaduh. "Kamu mesti membantu semua pekerjaanku sampai aku benar-benar pergi dari sini, mengerti?! Tahu asisten 'kan?"
"Kamu mau aku jadi pembantumu, begitu?!"
"A-sis-ten. Pahami ejaannya. Pembantu dan asisten enggak sama."
"Apanya yang beda? Mau asisten atau pembantu, tetap saja kamu pasti terus-terusan menyuruhku."
"Mau atau enggak, terserah! Tapi kalau kamu enggak mau, bayar seratus ribu yen padaku. Secepatnya!"
"Dasar penjajah!"
"Kamu bilang apa barusan?! Enggak sadar banget kamu ya, biang masalah!"
"Biang masalahnya itu dirimu, bukan aku!"
"Astaga! Kenapa dia bodoh sekali." berurusan dengan Hinata, sama saja dengan menguji kesabaran. Naru bahkan sering enggak tahan, kepalanya mendadak terserang pening sekarang. "Cukup! Besok pagi-pagi sekali kamu harus datang. Atau aku akan memberitahu hal ini ke Ayahmu."
"Kamu!"
"Hei ... kalian tolonglah berhenti! Tidur siangku terganggu." Kakashi muncul dari ruang tamu. Dia menguap di hadapan mereka. Sontak Naru menoleh, namun sekian detik kemudian kelopak matanya terbelalak.
"Kakashi, apa yang kamu lakukan?! Kamu menonton film laknat itu di rumahku?!" Asal kalian tahu, Naru sungguh mengamuk saat ini. "Jangan bilang kalau kamu melihatnya, Hinata!"
"A ... anu, aku ... aku harus pulang. Sepertinya Ayah memanggilku." Hinata bergegas kabur saat mendapati wajah seram Naru menguasai di situ.
"Apa kamu sudah gila?! Kamu sengaja mengotori rumahku dengan kebiasaan mesummu. Pantas aku jadi sial hari ini, ya Tuhan ..."
"Aku masih mengantuk." Kakashi sekali lagi menguap, lalu masuk kembali ke dalam ruangan. Mengabaikan keadaan Naru yang tengah tersulut emosi di tempatnya. "Kenapa banyak sekali orang gila di sini?!" Dia menyingkir bersama wajah ketat, penuh kesal dan amarah.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Uninvited Neighbor ✓
RomansaPagi Hinata yang mestinya penuh khidmat, tak disangka-sangka di hari itu menjadi sekelebat mimpi aneh. Dia melihat sesosok bertubuh polos, tidak dikenal dan berada di dalam kamar mandinya, dia ragu apakah seorang pria sungguhan? Tapi bagaimana kalau...