Tiga hari berlalu dan di pagi ini Naru kelihatan baru saja rampung mempersiapkan diri di kamarnya. Dia berpenampilan rapi, memakai kemeja pendek berwarna merah tua, denim hitam serta sepatu kasual senada tanpa dia mengenakan kaus kaki.
"Pagi-pagi begini sudah rapi , mau ke mana kamu?" Selagi Kushina sibuk menata sajian sarapan ke meja oshin. Naru datang dan langsung mengundang tanya di benaknya.
"Aku ada urusan, Ibu."
"Makan dulu, sini!"
Ada nada penekanan pada seruan Kushina.
"Tapi, Ibu ... diluar 'kan bisa. Di sana banyak kok kafe atau gerai yang menjual makanan cepat saji."
"Makan ... atau kamu tetap di rumah?! Ibu enggak mau ya, kamu terus-terusan menyepelekan soal makan. Kalau enggak disuruh, enggak diawasi, pasti lalai." Kebiasaan Naru sejak dulu. Dia kurang peduli terhadap jadwal makannya sendiri, terlebih jika berhadapan dengan kuas, cat dan kanvas.
"Ibu..."
"Naru, ayo cepat! Makanan ini tidak bakal habis kalau hanya sebagian yang ikut makan. Hargai Vanessa, dong...! Dia bela-belain datang pagi ke sini, bawain makanan buat kamu dan kamu main pergi begitu saja." Ucapan ibu berisi tuntutan. Diam, lalu menurut adalah pilihan yang paling tepat.
Berat terdengar udara terbuang dari mulutnya, namun kuasa ibu di atas apapun tiada banding. Apalagi jika menyangkut perihal cara hidupnya yang masih berantakan. Di usia terbilang matang, Naru tetap membutuhkan seseorang yang bersedia untuk selalu melayani dan mengurusnya."Mau ke mana, sih? Aku datang, kamu malah pergi." Semangkuk sup miso, serta sepiring kecil tempura udang diangkat Vanessa ke hadapan Naru. Lantas lelaki itu meraih sumpit dan siap melahap makanannya.
"Ada janji sama teman lama, rekan bisnisku." Naru berterus terang sembari miso itu mulai disantap olehnya. "Semua makanan ini kamu beli di mana?"
"Kenapa? Tidak enak, ya? Temanku merekomendasikan resto yang ada di tengah kota. Kata dia mereka menyediakan bermacam hidangan lezat. Sup miso ini salah satu menu terbaik di tempat itu. Sebentar, aku coba." Vanessa menyendok kuah sup dari mangkuk Naru dan menyeruputnya. "Enak, kok."
"Aku enggak ada bilang kalau ini tidak enak. Cuma pengen tahu, kamu belinya di mana."
"Teh atau susu? Aku beli susu juga khusus buat kamu." Vanessa beringsut ke meja dapur, menuangkan teh pula susu ke masing-masing cangkir dan gelas.
"Berikan susu untuknya, sayang," kata Kushina menyela. Sedang Naru tampak diam menikmati makanannya, bahkan tersisa setengah sup miso di mangkuknya.
"Baiklah. Teh untuk Bibi, susu buat kamu." Senyum Naru terulas singkat. Bibirnya bergerak senyap, mengucapkan terima kasih. "Naru, kamu mau ke mana? Aku boleh ikut enggak?"
"Kebetulan sekali, rencananya Ibu akan mengajak Hinata hari ini. Jadi, biar Vanessa saja yang menemani kamu."
"Hinata ... maksudnya si pemilik rumah 'kan?" Anggukan Naru menimbulkan rasa penasaran di benak Vanessa. "Dia teman bisnis kamu juga?"
"Tidak. Dia hanya membantu pekerjaanku selama tinggal di sini. Aku membutuhkan seseorang yang paham dan hafal mengenai situasi kota."
"Selamat pagi!" Tiba-tiba Hinata datang, lalu menyapa dengan salam gembira.
"Baru saja dibicarakan, kamu sudah datang. Kemarilah, sayang. Kita makan bersama-sama. Loh, kamu bawa apa itu?"
"Ah, Bibi ... ini makanan kesukaan Naru. Gyoza goreng. Gelagat malu-malu Hinata membuat Naru menyeringai.
"Kedengarannya sangat enak. Apa semuanya untuk anak yang manja ini? Buat Bibi tidak ada?"
"Ada Bi, aku sengaja melebihkan porsinya." Nata bergabung ke meja. Dia duduk di samping Naru, kemudian membuka kotak bekal yang dia bawa. "Silakan Bibi coba. Sausnya enggak terlalu pedas."
"Ternyata kamu hafal kebiasaan Naru, ya. Dia memang tidak bisa makan makanan pedas sejak kecil, persis mendiang Ayahnya. Kalau Bibi beda lagi, justru suka cari makanan yang pedas asalkan enak dan cocok di lidah."
"Lain kali akan kumasak makanan yang sesuai selera Bibi."
"Oh, sayang. Karena kamu mengatakan itu, Bibi pasti menunggunya. Gyoza ini sungguh enak. Van, kamu tidak mau mencobanya, sayang?"
"Maaf, Bi ... aku sedang diet kolesterol. Aku yakin rasanya pasti enak, tapi aku benar-benar tidak bisa memakannya saat ini, walaupun aku ini penggemar gorengan."
"Berarti hari ini adalah hari keberuntungan Bibi."
Hinata tertawa karena mendengar perkataan itu. Sementara Naru dan Vanessa sepertinya telah siap dengan sarapan mereka masing-masing.
"Kita pergi sekarang?" tanya Vanessa.
"Iya, kalian pergilah. Bibi masih ingin berbincang-bincang dengan Hinata." Naru segera menandaskan segelas susu tadi dan beranjak, lalu Hinata mengikuti pergerakannya.
"Kamu tetaplah di sini, Vanessa yang akan pergi bersamaku karena ibu ingin ditemani olehmu."
"Kamu tidak keberatan 'kan, Nak? Kalau Naru tidak usah dipikirkan, Vanessa menjaganya dengan baik. Bibi harap kita bisa bersenang-senang selagi Bibi di sini." Hinata menghela napas perlahan, lantas senyumnya yang semula tipis mengembang sebelum pada akhirnya dia mengangguk.
"Ibu, kami pergi dulu. "kata Naru berpamitan. Hinata sempat memerhatikan mereka sampai ucapan Kushina menarik atensinya.
"Hinata, kamu begitu pandai memasak. Siapa yang mengajarimu, Nak? Apakah ibumu? Jika iya, Bibi jadi ingin bertemu dengannya."
"Bibi ... maaf, bukannya aku tidak bersedia mempertemukan Bibi dengan ibuku. Tapi, beliau telah lama meninggal." Tawa Hinata kentara sumbang, dia menutupi kesedihannya dari Kushina.
"Ya Tuhan, sayang ... apakah perkataan Bibi menyakitimu? Bibi benar-benar tidak menduga hal ini."
"Tidak, Bibi. Aku tidak apa-apa. Lagi pula ... kejadiannya sudah lama berlalu. Dulu ..."
"Hinata ... kamu tidak perlu cerita jika itu akan mengganggumu, sayang." Kushina mengamatinya dengan raut prihatin, sementara Hinata menunjukkan senyum di wajahnya, mengisyaratkan bahwa dia baik-baik saja.
"Ibuku hanya bisa memasak makanan sederhana. Tapi entahlah ... hasil masakannya selalu terasa istimewa. Sampai-sampai, ayahku tidak pernah mau membeli makanan diluar. Dia menunggu, menikmati dengan tenang ... dan setelah makanannya habis, dia tersenyum puas di depan ibu. Aku masih mengingat satu perkataan Ayah sebelum hari menyedihkan itu tiba. Badanku bakalan kurus bila tidak memakan masakanmu lagi. Sebulan berikutnya ibuku sakit keras, hingga dia meninggalkan aku dan Ayah. Maka dari itu, aku berusaha keras agar dapat memasak seperti cara ibu, demi Ayah."
"Ayahmu beruntung, dia menerima segala kasih sayang yang semestinya. Ibumu ... ibumu juga menunaikan kewajibannya dengan sepenuh hati. Mengurus suami, terutama menyangkut kebutuhannya di rumah adalah bentuk cinta seorang istri. Bagaimana bisa aku memaafkan diriku sendiri, jika kematian suamiku merupakan sebab kecerobohanku. Aku yang tidak melayaninya dengan baik. Sekarang aku tidak akan pernah membiarkan penderitaan suamiku terulang pada putraku. Dia harus menemukan perempuan yang tepat."
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Uninvited Neighbor ✓
RomancePagi Hinata yang mestinya penuh khidmat, tak disangka-sangka di hari itu menjadi sekelebat mimpi aneh. Dia melihat sesosok bertubuh polos, tidak dikenal dan berada di dalam kamar mandinya, dia ragu apakah seorang pria sungguhan? Tapi bagaimana kalau...