🌸 11 🌸

159 23 1
                                    

Mereka duduk berdua saat ini dalam suasana senyap penuh ketenangan. Berjalannya kesepakatan, mendorong Naru dan Hinata selalu berada di tempat dan waktu yang sama. Meski fakta sesungguhnya tidaklah benar-benar sepi, akibat Hinata terus menanyakan hal serupa. "Ini Sakura 'kan?"

"Aku sudah bilang berulang kali, dari kemarin juga. Temanmu tidak secantik dia, Hinata." Tiga jam lebih mereka di sana, di tempat kemarin, di halaman belakang.

"Dia pasti Sakura. Lagi pula buat apa kamu bohong padaku? Terus kenapa kemarin kamu dan rekanmu itu memperebutkan foto Sakura? Apa kalian menyukai Sakura?" Begitu banyak hal yang ingin Nata tahu. Dia mencecar tanpa henti, tapi sikap tertutup Naru membuat dia kesal bukan main.

"Enggak usah kepo urusan orang. Mau jadi wartawan?"

"Aku mendengar perkataannya. Dia mengancammu supaya tidak dekat-dekat dengan Sakura."  lidahnya berdecak selagi kuas tertahan di tangan, belum sempat menggores canvas karena terusik ucapan Hinata.

"Kalau dia memang Sakura, kamu mau apa?!"

"Enggak ada sih. Tapi aku ingin sekali mengajak dia ke sini untuk melihat lukisanmu. Baru matanya saja sudah bagus, ternyata kamu  memang berbakat." Cengar-cengir Hinata memujinya sampai cengengesan, berbeda dengan Naru yang kini ekspresinya justru berubah kesal.

"Susah banget ya berurusan dengan biang masalah. Dengarkan aku! Aku memberitahumu kebenaran ini, bukan berarti kamu boleh seenaknya bercerita kepada orang lain, termasuk teman-temanmu, Sakura sekalipun. Lukisan ini adalah rahasia, karena itu aku melukis di sini. Enggak ada yang boleh tahu. Lihat sekelilingmu, ada apa?"

"Tembok."

"Paham 'kan? Enggak ada seorangpun di sini, selain kita."

"Tapi lukisan ini milik Sakura."

"Astaga!" gigi-gigi Naru merapat saking gemasnya. "Pokoknya akan ada hukuman berat untukmu jika orang lain tahu soal lukisan ini, terutama Sakura. Aku bakal terus mengawasimu." kepala Hinata tertarik ke belakang tatkala Naru sengaja mengintimidasi dirinya, "Awas, kalau macam-macam!" Ancaman Naru seketika menyebabkan dia tunduk. Kelopak matanya ikut terpejam singkat.

"Sakura pasti senang melihat ini. Jika banyak orang yang tahu, lukisanmu pasti terkenal."

"Sepuluh kali lipat! Itu ganjaran bila kamu buka mulut. Bayar biaya perbaikan kameraku yang rusak sebanyak satu juta yen." Detik itu juga netra Hinata terbelalak, kemudian dia langsung menggeleng-geleng.

"Aku diam, aku janji!" Dia mengangkat dua jarinya sebagai tanda bersumpah.

"Bagus. Begini baru benar. Kamu terlihat manis kalau menurut." Dua sudut bibir Naru tertarik kencang, sampai menyipitkan matanya. Ekspresi ini bikin Hinata berdebar malu-malu, betah memerhatikan wajah Naru, bahkan setelah dia kembali menggesek kuasnya ke permukaan canvas.

"Apa Vanessa enggak jadi datang?"

Pertanyaan tersebut tak sejenakpun mengalihkan fokus Naru. Dia tetap berhati-hati dan telaten terhadap coretan di ujung jarinya. "Entahlah, kami jarang berkomunikasi sejak aku pulang ke Tokyo. Banyak yang berubah, aku atau dia tidak lagi selalu berkabar seperti sebelumnya. Apa yang dia lakukan, rencananya, bagaimana dia, aku enggak pernah mengetahuinya lagi."

"Tapi kamu dan Vanessa ... kalian kelihatan sangat dekat. Dia juga menyusulmu ke Tokyo."

"Kakashi sulit diajak bekerjasama. Ujung-ujungnya dia juga yang melaporkan segalanya." Hinata hanya mengangguk dalam diam, sembari menyimak pengakuan Naru.

"Omong-omong ... apa yang membuatmu menyukai Vanessa?"

"Tumben kamu santai begini, biasanya ribut setiap kali bicara." dia mendesah pelan, akalnya menyiapkan kata-kata yang pas untuk dijelaskan."Apa ya kira-kira?"

"Karena dia sangat cantik?Kupikir itu alasan terkuatnya."

"Ya, itu benar. Vanessa sungguh menawan, dia idola di kampus kami. Tapi ... alasanku enggak sesederhana dugaanmu. Perilakunya yang lembut, perhatian, ramah ... dia selalu menunjukkan senyumnya yang manis padaku, hanya padaku. Bersama Vanessa, hari-hariku yang dipenuhi beban berlalu dengan mudahnya. Dia siap mendengar keluhanku." hening di antara mereka usai penuturan sekian terbilang.

Kilas balik pertemuan keduanya, seluruhnya berputar ulang di benak Nata. Dia sendiri menyadari perubahan hawa dalam beberapa hari kebersamaan mereka. Meski sering adu mulut, lempar ejekan, namun tiada yang tahu bahwa dia menunggu masa-masa tersebut di setiap pergantian siang dan malam.

Naru adalah pria menyebalkan, itulah kesan pertama yang ditangkap oleh Hinata. Namun dia juga tidak mudah ditebak. Fakta ini meninggikan rasa penasaran Hinata, memacu keinginannya agar dapat kian dekat dengan tetangganya itu.

"Kamu benar-benar terpesona, ya?"

"Kamu ini mau apa sebenarnya? Hal-hal seperti itu bukan prioritasku sekarang." kening Hinata mengernyit akibat mendengarnya. "Jujur saja, aku senang dia mengunjungiku ke sini, tapi aku sendiri belum memikirkan tindakan  selanjutnya." cukup lama Naru mengamati kebingungan di wajah Hinata. "Sudahlah, aku enggak mau membahasnya lagi. Perutku tiba-tiba lapar. Eh, kamu mau ke mana?"

"Kamu lapar 'kan? Aku akan menghangatkan nasi kari yang kumasak tadi."

"Enggak perlu, kamu di sini saja." Naru menarik tangan Hinata hingga dia kembali duduk di tempatnya. "Biar  Kakashi yang melakukannya."

"Tapi dia lebih tua darimu dan aku. Kurang sopan jika terus-terusan menyuruhnya melakukan sesuatu buat kita."

"Aku hanya ingin memintanya membeli makanan diluar, karena nasi karimu itu sudah habis dia makan."

"Kupikir masih ada, syukurlah kalau memang sudah dimakan."

"Kamu cukup senang 'kan? Aku dan Kakashi enggak pernah menyia-nyiakan makananmu di rumah ini."

"Terima kasih."

"Buat apa? Kamu yang membagi kami makanan itu."

"Untuk kamu yang selalu menghargai pemberianku." keriangan Hinata kentara terbaca di mukanya, hingga membuat Naru turut heran dengan reaksi luar biasa yang ditunjukkan Hinata di atas perkara yang sangat biasa.

-----

"Rasanya lumayan. Seperti masakan mendiang ibuku," kata Nata selagi dia menyantap Nishin Soba dengan lahapnya.

"Habiskan kalau suka. Camilannya juga enggak kalah enak, aku sengaja beli banyak buat kamu. Jadi, jangan ada sisa."

"Takoyakinya sisakan!" teriakan Kakashi terdengar dari dapur, menyusul sekotak takoyaki langsung ditepikan oleh Naru.

Mereka makan dengan tenang, betapa menikmati hidangan di atas meja. Pertama kalinya bagi Naru mendapati Hinata makan dalam jumlah yang besar. Dia sanggup menghabiskan dua porsi berat, sementara Naru masih berupaya menuntaskan satu bagiannya. "Badanmu doang kecil, makanmu banyak sekali Hinata." 

"Kamu keberatan ya dengan gadis yang makannya banyak, kayak aku ini?!"

"Enggak sama sekali. Ya bagus jika kamu nyaman dengan dirimu sendiri. Itu nilai plus buat siapapun yang bisa memperlihatkan apa adanya dia, daripada pura-pura demi terlihat spesial di mata orang lain." Seketika senyum Hinata mengembang. Nyatanya pujian sesederhana itu bisa menyenangkan hatinya.

"Naru! Beginikah sikap seorang pria jantan? Apa maksudnya menyembunyikan keberadaanmu dari Ibu?" Mendadak Naru tercekat. Dia tercengang di tempatnya, kaget setengah mati akibat kemunculan ibunya secara tiba-tiba. Tubuhnya refleks membeku, bahkan sukar untuk menelan suapan terakhir yang telanjur masuk ke mulutnya.

Bersambung...

Uninvited Neighbor ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang