🌸 17 🌸

145 25 6
                                    

Naru bersandar pada tiang penyangga. Kedua tangannya bersedekap, sembari dia memperhatikan ke depan. Tak jelas apa yang menarik baginya. Satu-satunya fakta adalah, keberadaannya di rumah ini hampir mencapai batas perjanjian, justru lebih awal dari hari yang telah ditentukan dan masih tersisa dua minggu lagi.

Lusa dia segera berangkat ke Tokyo demi mengecek langsung gerai seni miliknya. Sebentuk emosional menguasai jiwa, begitu banyak cerita terjadi di sini dan semua itu menimbulkan beragam rasa di hati. "Tidak usah cengeng. Kedatanganmu kemari 'kan untuk bekerja."

"Maksudmu apa? Jangan bertele-tele!" Sebenarnya dia masih dalam posisi semula. Meski ucapannya ketus, tapi tak ada perubahan dalam rautnya. Naru membelakangi Kakashi, seakan-akan sengaja mengabaikan kehadirannya.

"Setidaknya kamu perlu mengadakan pesta kecil sebagai tanda perpisahan. Ajak dia makan malam atau pergi berjalan-jalan. Kupikir itu juga merupakan cara berterima kasih yang pantas. Aku tahu sih, kamu mengalami sesuatu. Mungkin sebuah ketertarikan atau lebih dalam lagi ... perasaan sukamu terhadapnya baru kamu sadari." Setelah pernyataan itu terucap, yang dapat didengar oleh Kakashi hanyalah bunyi embusan berat dari napas si Uzumaki.

"Kurasa tidak sejauh itu. Bukan soal Hinata dan bukan karena aku berusaha mengelak. Tapi yang sedang kupikirkan sekarang ada banyak hal, biasa dialami orang-orang ketika akan kembali dari suatu tempat yang disukai. Tempat ini sangat berkesan bagiku." Perkataannya seperti pemuka bijak, tanpa dia sadari kejujuran tadi justru menguatkan penjelasan Kakashi.

"Belum kusebut namanya, kamu langsung mengarah pada Hinata. Percuma, Nar ... kita berdua tahu kalau kamu tidak hanya terlibat dengan tempat-tempat yang menarik. Kamu dan Hinata selalu bertengkar, memperdebatkan soal-soal sepele, terjadi hampir setiap hari, lalu perhatiannya padamu? Akui saja bahwa kamu juga merasakan ada yang lain dari sikap dia."

Bibirnya terkulum. Naru terbiasa menerima banyak kalimat tak mengenakkan dari Kakashi. Apalagi jika bukan gayanya yang berlagak menggurui. Tapi kali ini, kata-katanya seperti menerangkan kenyataan yang ingin ditutupi oleh si Uzumaki.

"Tapi mustahil semudah itu. Aku tidak mau mempermainkan perasaan gadis manapun. Sampai sekarang ... Vanessa masih membuatku berpikir keras. Kamu gila jika mengira aku akan berbuat sama kepada Hinata. Aku enggak pernah berpikir bakal dijuluki pria kurang ajar yang dengan sengaja memanfaatkan kebaikan juga perhatian mereka." Kini dia berbalik, berbicara lantang menghadap Kakashi."

"Kamu yang bikin rumit, padahal tinggal memastikannya saja," hening sesaat di sana. "Sudahlah! Apa gunanya kamu pendam. Yakinkan sendiri hatimu baru putuskan. Bisa jadi solusi juga untuk menghapus perselisihanmu dengan Kushina."

"Kakashi, aku paham betul sikap sok tahumu itu. Bukan berarti semua asumsimu yang tak jelas dapat kuterima, terutama masalah serius dengan ibu."

Kakashi mengambil tiga langkah ke depan. Sempat dia bergumam lalu berkata, "Anggap saja bantuan dari seorang teman. Sudah lama Kushina tidak lagi membahas keinginannya terhadapmu. Terakhir kali ... dia berharap agar kanu tidak menunda-nunda untuk menikah. Lagi pula pilihanmu ada. Kamu masih ingat 'kan, waktu itu ada Vanessa dan si wanita tionghoa."

"Ruby?" Lalu Kakashi spontan mengangguk. " Kalau tidak salah dia sudah menikah setahun yang lalu, suaminya dari China juga."

"Jadi sekarang kamu pun akan menunggu sampai Vanessa dan Hinata memakai gaun pengantin di sisi pria lain?"

"Tidak ada hubungan apa-apa di antara kami. Ibu mengenalkan Ruby karena dia anak temannya, dia juga memiliki kekasih."

"Pokoknya jangan terlalu lama berpikir. Pastikan bagaimana perasaanmu untuk Hinata. Kurasa dia memang menyukaimu. Kemarin siang, dia dan Ayahnya terus mengawasimu sampai kamu pergi. Kushina juga sepertinya menyukai Hinata."

Naru mendengkus lelah ketika terus menerus Kakashi berteori. "Aku belum pernah melihat ibu begitu peduli dengan teman-temanku, tapi berbeda terhadap Vanessa."

"Siapapun bisa memahami kenyataan itu. Dengan Hinata dia baru bertemu, tapi mereka gampang akrab. Dan Hinata mendapatkan banyak perhatiannya. Hadiah itu, kamu sudah memberikannya 'kan?"

"Aku benar-benar lupa! Kemarin dia ngambek, terus pulang."

"Berikan padanya."

"Nanti pasti kukasih, dia kemari hari ini."

"Aku bersyukur tidak pernah berhubungan dengan seorang wanita. Pikiranku bukan tempat untuk disinggahi mereka, kepalaku bisa meledak jika itu terjadi." Kakashi melirihkan itu setelah dia meninggalkan Naru di engawa.

-----

"Ini apa?"

Sepuluh menit lalu Naru menariknya ke rumah sebelah, selagi dia tengah mengemasi pakaian-pakaian yang sudah bersih dan rapi ke dalam lemari. Awalnya dia menolak, namun sedikit paksaan oleh si Uzumaki dia pun bersedia.

"Hadiah dari Ibuku. Mestinya kemarin kuserahkan, tapi kanu malah pergi begitu saja. Ya aku jadi lupa lagi, untung ada Kakashi yang mengingatkannya."

"Kamu tahu apa isinya?"

"Enggak."

Keduanya duduk di atas kasur di kamar Naru. Bingkisan diletakkan di tengah-tengah mereka. Berhadap-hadapan sembari silih memandang, menunjukkan rasa ingin tahu yang sama. "Boleh kubuka?"

"Itu milikmu, kenapa pakai bertanya segala."

"Kenapa aku jadi gugup begini ya. Semenjak kematian ibu, aku enggak pernah lagi menerima kejutan dari siapa pun." Begitu hati-hati dan perlahan dia menarik pita yang ada di kiri atas bingkisan. Kertas mengkilap berwarna merah tua, pembungkus ini pun dia buka dan spontan senyumnya mengembang. "Serius ini untukku?!" Hinata mendongak, terlihat oleh Naru binar-binar kegembiraan di mukanya.

"Memangnya itu apa? Satu set perhiasan? Tas bermerek? Atau paket mekap terbaru? Reaksimu berlebihan sekali."

"Aku tidak tahu benda-benda macam apa yang kamu maksud. Menurutku kado ini yang terbaik." Buru-buru Hinata membuka penutup kotak. Tak ada habisnya kesenangan yang dia perlihatkan. "Bibi, terima kasih banyak. Aku benar-benar senang sama hadiahnya." Hinata memeluk kimono tersebut dengan perasaan suka cita yang meluap-luap.

"Kimono?!"

"Iya. Cantik, 'kan? Harganya sangat mahal. Sebentar, akan kucoba. Semoga ukurannya pas. Soalnya model yang memakai kimono ini lebih tinggi dariku." Hinata tergesa-gesa turun dari ranjang. Dia mengenakan kimononya tanpa melepas pakaian. "Cocok tidak?" Tatanya sambil dia berbalik, berputar, juga bergaya anggun, seolah sedang bergaya bak peragawati.

Alih-alih menanggapi pertanyaan Hinata, Naru justru mendekatinya dengan langkah lambat. Ekspresi seriusnya mengintimidasi, hingga Hinata terduduk di pinggir ranjang. "Ternyata ibuku sangat memahami dirimu ya. Kimono ini terlihat lebih indah karena kamu memakainya. Hinata ... Maafkan aku." pernyataan sekian menimbulkan kebingungan di benak Hinata.

Belum lagi rasa penasarannya terhadap kata-kata Naru tadi terjawab, pada saat itu juga kelopak matanya melebar. Berpandangan dalam jarak terlampau dekat, tak baik bagi jantungnya. Dia berdebar-debar. Sementara Naru telah memegang dagunya sekarang, lalu memiringkan kepala dan semuanya terasa cepat bagi Hinata. Dia merasakan keterkejutan asing untuk pertama kalinya. Bibir mereka menempel, sangat lembut, hingga rambut-rambut halus di tubuh Hinata pun turut menegak.

Bersambung...

Uninvited Neighbor ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang