🌸 2 🌸

354 40 7
                                    

Lima belas menit sudah lamanya Hiashi berceramah. Mulutnya terus mengoceh, tidak terlihat cape sedikitpun. Padahal saat ini dia tengah membaca sastra Jepang kuno. Kacamata yang dia pakai agak sedikit turun ke pangkal Hidung, terkadang dia mengintip Hinata yang masih bersimpuh di lantai kayu berlapis vinil. Itulah yang terjadi, dia kerap menasihati secara serius putri semata wayangnya, tatkala perempuan itu bertindak teledor.

"Mau berapa jam lagi kamu duduk di situ, Hinata? Obati Hidungnya. Kalau mengering dan infeksi, taggung jawabmu jadi lebih berat, bisa-bisa dilapor ke kantor polisi. Seorang wanita berusia 25 tahun sengaja menganiaya pria tak bersalah, hingga menyebabkan hidung mancung si pria patah."

"Apa yang Ayah katakan? Aku bukan kriminal yang perbuatan kejinya harus dimuat di halaman depan surat kabar," sanggah Hinata sembari memperlihatkan muka masamnya. Sedangkan si pria asing yang menjadi korban, duduk sambil mendongakkan kepala ke belakang. Hidungnya disumbat menggunakan kapas dan daripada mendengar perdebatan aneh di antara kedua orang yang baginya juga tak kalah aneh. Dia memilih diam, menahan nyeri akibat luka dan memar di wajahnya.

"Lembutlah sedikit sebagai wanita. Belum apa-apa langsung menyerang. Lihat dia! Pasti bekas pukulanmu itu sangat sakit." Hiashi mendengkus seraya menggeleng-geleng. "Ambil salep di kamar Ayah, pakaikan padanya. Itu bisa mengurangi memar dan berangsur-angsur rasa sakitnya akan hilang." suka tidak suka, Hinata tetap mematuhi perintah sang ayah. Dia balik ke rumah untuk mengambil salep yang diminta.

"Aku sudah menelepon orangku. Anda tidak perlu cemas, sebentar lagi dia sampai." Naru menginterupsi masih dalam posisi serupa.

"Dulu dia tidak begitu. Sebelum ibunya meninggal, Hinata adalah gadis manis yang penurut. Tiga tahun ini dia terus berada di rumah, maksudku tidak pernah bepergian jauh. Sempat dia ingin menetap dan bekerja di Tokyo, tapi aku melarangnya. Aku takut terjadi apa-apa. Hingga sekarang dia merasa masih berkewajiban untuk mengikutiku, karena tidak mau aku khawatir."

"Untuk apa Anda menceritakannya padaku?" Bukan berniat lancang. Hanya saja dia pikir agak berlebihan saat ada seseorang bicara terlalu terbuka kepada orang yang baru dikenal.

"Jangan salah mengira, aku bukan sedang mempromosikan putriku. Anggap saja kita berteman. Tapi kalau itu dugaanmu, tidak masalah juga."

"Maaf, Tuan. Sebenarnya aku kurang peduli, selain benar-benar mendapat ketenangan di tempat ini. Semoga  Anda tidak tersinggung, aku lebih suka jujur daripada pura-pura demi menyenangkan orang lain." omongannya yang blak-blakan justru menarik bagi Hiashi. Hingga tawa keras itu mengudara, dia sempat melirik singkat dengan kening berkerut.

"Aku yang jadi tidak enak." gelak sumbangnya bertahan, sampai kedatangan Hinata mengusir ketegangan.

"Yang ini maksud Ayah?"  Hinata memastikan ulang kotak salep yang dia bawa.

Hiashi mengangguk dan berkata, "Oleskan dengan benar. Ayah akan siapkan ramuan pemulih untuk dia minum." sepeninggal Hiashi, Hinata menghampiri si pria asing. Dia duduk menghadap lelaki berambut pirang itu, belum melakukan apa-apa karena sungguh dia bingung harus memulainya dari mana.

-----

Ketika Hinata telah berhasil membujuk, maka lelaki itu berbaring di sofa sekarang. Sedang Hinata akan segera mengoles salep tadi ke bagian wajahnya. "Ada apa lagi? Kamu itu enggak bisa tenang, ya?"

"Apa? Aku enggak tenang? Rasanya sakit, tahu!! Hidungku hampir patah dan kamu masih menyalahkanku?"

"Heh pirang! Tenanglah sebentar." Hinata mendorong jidatnya sampai kembali telentang. "Kita harus bekerjasama, kalau mau ini cepat selesai."

"Aku punya nama, jangan memanggilku dengan sebutan seperti itu." karena kesal dia menyingkirkan tangan Hinata dari depan mukanya, "Berikan saja padaku, aku bisa sendiri."

"Diamlah! Kamu susah sekali diatur. Aku yang tahu caranya."

"Dengar! Kamu tidak perlu melakukannya, Ayahmu sudah pergi. Aku lebih khawatir hidungku ini benaran patah kalau dipegang olehmu." tentu sikap awal Hinata yang semberono langsung membuatnya tidak bisa berhenti waswas.

"Ya ampun, degilnya." Hinata mendengkus malas di situ, lalu menahan kuat kening Naru dengan telapak tangannya. "Kurasa rambutmu yang kuning itu bikin gerah, ya? Kamu jadi tidak sabaran begini, emosian lagi."

"Ini bukan kuning, tapi pirang."

"Aku tahu, pirang! Enggak usah diajari juga aku paham warna kepalamu."

"Kita enggak saling kenal, jadi tolong berhenti menyebutku dengan kata-katamu yang pasaran itu. Aku punya nama."

"Aku malas berdebat, terserah mau bilang apa." sahut Hinata seraya dia mencomot salep itu dan buru-buru mengusapkannya ke hidung Naru.

"Akhh! Pelan-pelan, dong! Sakit ini, kamu pikir aku main-main apa?!"

"Cengeng!" matanya melotot saking kesalnya. Kemudian dia bergegas meninggalkan Naru yang sedang menyumpahi ulahnya.

"Idiot! Ssshh, akhh ... kapan ngilunya akan hilang?!"

-----

"Wah! Mereka sungguh pintar memberi sambutan. Tidak benar-benar patah, 'kan?" kata Kakashi, lelaki yang diakui Naru sebagai semacam pengawalnya. "Aku bisa mati jika tulang hidungmu bengkok. Badai pasti muncul kalau Ibumu tahu, apalagi sampai melihat ini." Mereka duduk di sofa yang sama, Naru memutuskan tetap berbaring di sana hingga Kakashi tiba. "Bagaimana suasananya? Kalau tidak suka kita pindah secepatnya. Buat apa lama-lama, dalam beberapa jam kamu sudah babak belur begitu."

"Aku tetap di sini. Tempatnya nyaman, kecuali anak perempuan si pemilik rumah. Aku enggak pernah ketemu perempuan barbar kayak dia, bikin pusing. Pagi-pagi dia menyelonong, mengintipku mandi, lalu dia mencoba menyerangku. Ya, ini hasilnya!"  Sambil menunjuk hidungnya, dia menceritakan kronologi tadi dengan rasa dongkolnya menggebu-gebu.

"Yang benar? Dia mengintip?"

"Iya!"

"Pintunya enggak ditutup?!"

"Buat apa ditutup? Biasanya pun enggak."

"Kamu sumber masalahnya! Ini bukan di rumahmu, jadi jangan gunakan peraturanmu. Kebiasaan di rumah sendiri jangan dibawa-bawa ke tempat lain. Beginilah jadinya kalau kamu bertingkah semaunya. Masa pintu kamar mandi dibiarkan terbuka, padahal kamu lagi mandi di dalam."  Naru berdecak lidah, dia bangkit menuju dapur dan mengambil sekaleng jus dari kulkas. Rasa haus yang mendadak muncul, mendorong dia mereguk setengah isi kaleng tersebut.

"Berikan satu padaku."

"Mau juga?! Cape mengoceh, butuh minum juga ya."

"Aku 'kan cuma memperjelas semuanya. Berarti insiden hari ini akibat keteledoranmu sendiri. Ya ... walau tindakan gadis itu enggak bisa dibenarkan dan cukup membahayakan."

"Sudah kubilang 'kan?! Tapi dia enggak merasa bersalah sedikitpun. Menyebalkan sekali, jangan sampai aku melihatnya lagi hari ini."

"Jadi, tetap di sini atau pergi?"

"Seminggu, beri aku waktu satu minggu. Nanti kukabari bakal pindah atau tidak. Mudah-mudahan sih enggak ada kekacauan lain, atau biar kucoba bicara deh sama pemilik rumah."

"Baiklah! Langsung hubungi aku kalau ada gangguan. Hindari risiko, lebih hati-hati lagi sama situasi di rumah ini. Pintu depan dikunci saja." 

Bersambung...

Uninvited Neighbor ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang