Empat Belas

654 67 43
                                    

Setelah empat kali belajar bersama Mia, she told me that she was going to submit her first essay to my mentor. Aku meminta tolong untuk mentor Bahasa Inggrisku untuk menilai essay Mia. Walaupun Mia menolak tawaranku untuk membiayainya belajar Bahasa Inggris, kali ini dia menerima saat aku bilang kalau aku bisa meminta tolong mentorku untuk menilai essay yang Mia buat.

"Testnya malam ini kan?" Tanyaku

'Iya kak, tadi katanya jam 6. Aku berangkat jam 4, soalnya lokasinya lumayan jauh.' Mia menjawabku di seberang telepon.

"Mau aku anterin? Aku bisa ijin dulu, nanti balik lagi." Tawarku sambil melihat jadwalku di laptop, sejujurnya aku tidak bisa karena aku punya dua orang pasien di jam 3 dan 5.

'Kak, I have you schedule. You know that right? I'll be okay.' Mia meyakinkanku.

Aku terdiam sejenak. Sejak mengutarakan perasaanku, rasanya ingin setiap saat saja aku bersama Mia. Tapi karena kami berdua punya kesibukan masing-masing, dan juga kami sama-sama akan mencoba kuliah di luar negeri, membuat aku dan Mia tidak bisa terlalu sering bertemu. Setelah recital pertamanya, Mia mendapatkan tawaran untuk menjadi guru musik magang. Bayarannya tidak besar karena Mia juga tidak punya gelar dibidang musik. Hal ini juga yang membuat Mia semakin yakin akan mengambil jurusan Musik di Amerika. Sedangkan di UK dia akan mengambil jurusan bisnis.

"Tell me if you need anything, okay?"

'I need you to focus on your day and don't forget to drink enough water.'

"Only if you do the same." Balasku sambil tersenyum. Kami lalu mengakhiri panggilan telepon. Karen tidak memungkinkan untuk sering bertemu, Mia menginisiasi agar kami selalu meluangkan waktu untuk membuat panggilan singkat. 'pesan singkat kurang berasa vibesnya' adalah jawaban Mia saat kutanya kenapa tidak melalui pesan saja.

Aku memasukkan handphoneku ke saku celana, lalu masuk ke dalam ruang praktik. Sebelum aku sempat membereskan peralatan gigi dengan dibantu asistenku, Angga masuk ke dalam.

"Dok, ada waktu sebentar?" Aku melihat jam tanganku, pasien berikutnya baru akan kutangani 15 menit lagil. Aku mengangguk lalu menyusul Angga yang berjalan keluar melalui pintu belakang ke arah parking lot.

"Fan." Angga terlihat pucat, kedua tangannya mengepal gugup, dan dia tidak berani menatap mataku.

"What? Why?" Aku ikut panik melihat Angga yang seperti orang ling-lung.

"Dyah hamil."

"..........." Aku terlalu shock untuk mengatakan apapun.

-----

"Lu gila ya?!" Aku tidak sadar suaraku hampir seperti berteriak. Mendengarku yang jarang sekali marah, Angga terjongkok, dan menarik rambutnya.

Dyah yang sedang menjalani S2nya sekaligus menekuni profesinya sebagai jurnalis di salah satu stasiun TV swasta. Dyah yang juga sedang mempersiapkan gelar S2 keduanya di Luar Negeri. Dyah yang membuatku berambisi untuk mengejar mimpiku di bidang jurnalistik. Angga menghamili Wanita ambisius yang menginspirasiku.

"Why?! Wh? WHY?! What did you do? Lu ga pakai pengaman?" Tanyaku. Aku sama terkejutnya dengan Angga karena aku ingat persis percakapan kami di Cafe waktu itu. Dyah masih ingin mengejar karir dan pendidikannya, dan Angga harus menunggu 3 tahun lagi sampai Dyah memperoleh double degreenya. Angga manusia gila.

"You didn't rape her, don't you?!" Tanyaku marah.

"Sumpah demi Tuhan engga Fan. Gue bukan manusia gila yang mau ngehancurin anak orang. Tapi bulan lalu gue sama dia emang hampir tiap malem tidur bareng. Gue gakuat Fan, gue cinta banget sama dia. Gue pernah minta keluar di dalem. Dia bilangnya lagi ga subur. Jadi gue gas-in." Jawab Angga.

Sippin' Waterfalls ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang