Tujuh Belas

623 59 30
                                    

'Sorry aku batalin janjiku ya kak.' Aku mendengar nada kecewa dari suara Mia. Dia sudah berjanji akan mengunjungiku di kantor hari ini, tapi mendekati jam makan siang dia mengirim pesan kalau ada keperluan mendadak. Saat tahu aku sudah mau pulang barusan, Mia meneleponku.

"Kamu jangan minta maaf terus, aku jadi ga enak."

'Masalahnya aku udah janji.'

"Masalahnya kamu juga ada urusan Mia."

'But I wanna be with you every single time kak.' Gombal Mia kepadaku. Aku mengeluarkan tawa yang cukup keras. Untung saja aku sedang sendirian di ruanganku.

"Jarang banget denger kamu gombal gini." Godaku.

'Hah, jarang ya kak? Fix habis ini aku gombalin kakak sampai kak Fany muak.'

"Try me." Balasku mantap.
Aku? Muak dengan Mia? Aku coba memikirkan kemungkinan aku muak terhadapnya. Sepertinya tidak akan pernah.

"Udah makan?"

'Ini bentar lagi kak.'

Aku melihat jamku. Sudah hampir jam 9. Mia belum makan sampai jam segini. Nada bicaraku berubah menjadi serius.

"Where are you?"

'Hah?'

"Where are you now?"

'.....'

"Mia."

'Aku di rumah sakit kak. Ghea masuk rumah sakit.' Rasa kesalku berubah menjadi perasaan cemas. Selain karena Mia belum makan, tapi karena Ghea masuk rumah sakit.

"Ghea kenapa?"

'Ghea dipukulin sama papanya kak.'

"Rumah sakitnya dimana?"

'Rumah sakit Mery kak.'

"Aku jalan kesana sekarang." Kataku sambil menutup telepon.

-----

Air mataku masih tidak mau berhenti melihat lebam di seluruh wajah dan badan Ghea. Ada bekas darah kering di sudut mata kiri Ghea dan perban di alisnya. 4 jahitan di samping bibirnya juga menambah rasa ngilu di tubuhku. Mia duduk disampingnya, tangan Mia menggenggam tangan Ghea dengan erat. Ada sedikit rasa cemburu, tapi segera kutepis. Aku tahu Ghea benar-benar membutuhkan Mia saat ini. Aku hanya bisa berdiri di dekat kaki tempat tidur, karena Mia memintaku untuk diam. Ghea masih tidur.

Sebenarnya aku sangat ingin menghampiri Mia juga. Aku melihat ada beberapa lebam di sekitar leher dan tulang selangkanya. Saat dia menoleh kearahku sebentar, aku juga melihat ada memar di tulang pipinya, seperti habis diberi tumbukan keras.

Aku tertegun ketika melihat Ghea mulai terbangun dari tidurnya. Mia segera berdiri dari bangkunya dan mengelus rambut Ghea dengan lembut. Konjungtiva sampai ke iris mata Ghea sebelah kiri berwarna merah darah. Sepertinya orang yang memukulnya kidal karena sebagian lukanya ada di sebelah kiri.

Mia memanggil namanya dengan berbisik. Ghea menatap mata Mia dan tersenyum lemah. Ghea mengangkat tangan kirinya dan memegang pipi Mia yang berwarna kebiruan, lalu air mata menetes dari sudut matanya.

"Gapapa. Gapapa. Dengerin aku. Aku gapapa. Kita fokus ke kamu ya?"
Ghea hanya bisa mengangguk sambil menangis. Bahkan saat menangis, Ghea terlihat menahan sakit disekujur tubuhnya. Mia lalu mengambil gelas di atas meja dan mengarahkan sedotannya ke mulut Ghea.

Melihat Ghea kesusahan mengangkat kepalanya, aku bergegas ke bagian kanan tempat tidur dan membantu mengangkat kepala Ghea sepelan mungkin. Semoga saja tidak ada luka dibelakang kepalanya. Ghea terlihat terkejut melihat keberadaanku yang tiba-tiba, namun tetap membiarkanku membantu. Setelah Ghea selesai minum, aku meletakkan kepalanya keatas bantal.

Sippin' Waterfalls ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang