Mataku masih membaca kalimat yang tertulis dilayar handphoneku berulang kali. Tidak menemukan respon apapun untuk membalas pesan tersebut.
‘Kak Fany, sore ini aku mau ke petshop jenguk Miny, mau pergi bareng?’ – Mia
Sebagian besar dari diriku ingin sekali segera mengiyakan ajakannya. Tapi perasaan dihatiku yang sampai saat ini masih belum bisa kujelaskan, tetap mengganjal dan tidak bisa hilang sekeras apapun aku coba melupakannya. Aku masih menghindari Mia sampai saat ini.
Sudah tiga hari sejak aku melihatnya di café bersama perempuan itu. Ah sudahlah. Aku kembali focus ke layar laptopku, mencoba melanjutkan personal statement yang sedang aku buat. Walau aku masih ragu apakah akan mengambil kuliah lagi atau tidak, aku tetap membuatnya, jaga-jaga kalau hatiku berubah haluan dan aku berani mendiskusikannya dengan mama. Sejak aku membaca pesan Mia aku tidak bisa menambahkan satu katapun di dalam essayku.
Aduh! Apa yang salah denganku.
Aku menutup laptopku karena merasa buntu. Jam dimejaku menunjukkan pukul 12.45, masih ada 15 menit sebelum appointmentku berikutnya. Bekal yang dimasakin oleh mama masih tersimpan rapi di lunch bag di tasku. Aku mengeluarkannya lalu membuka setiap kotak makan yang ada di dalam. Mama memasak nasi dengan lauk ikan tongkol yang disambal. Sayur wortel dan jagung rebus juga ada di kotak makan yang lainnya. Tidak lupa mama juga membuatkanku teh manis hangat.
Untuk sejenak aku melupakan perasaan yang Mia ciptakan di hatiku dan memakan bekalku dengan lahap. Apa nanti semisal aku jadi kuliah di luar negeri, aku masih bisa merasakan masakan seperti masakan mama ya? Hatiku kecut membayangkan hal tersebut namun tangan dan mulutku masih tetap bergerak menikmati masakan mama.
---
Setelah hari yang Panjang, aku menyempatkan diriku untuk singgah ke salah satu lembaga bahasa yang berdasarkan hasil riset singkatku cukup bagus dan juga punya jadwal yang pas denganku. Aku akan mengambil kelas intensif malam hari untuk meningkatkan kemampuan Bahasa Inggrisku. Kelas yang aku ambil hanya dua kali seminggu dan aku memilih hari kerja karena aku lebih baik menyiksa tubuhku dari senin sampai jumat daripada harus mengorbankan weekendku.
Setelah berbicara panjang lebar dengan seorang wanita yang bertanggung jawab untuk bagian administrasi pendaftaran, dia menyarankanku untuk datang dan melihat kelas yang akan aku ikuti. Kelasnya cukup intensif karena hanya terdiri dari 4 peserta dan 1 orang mentor. Kelasku hanya akan berfokus pada 2 core skills yaitu speaking dan writing. Program ini akan mempunyai satu major task yang harus kami presentasikan di akhir program.
Ternyata dari pembicaraan kami di telepon, aku harus melewatkan kelas pertama yaitu hari ini, dan baru bisa ikut pada pertemuan kedua. Aku tidak mempermasalahkan hal tersebut karena tetap ditawari untuk mengambil kelas pengganti walaupun di hari yang berbeda.
“Selamat malam. Dengan ibu Zefanya atau Fany?” Sapa perempuan dengan suara familiar tersebut. Ternyata temanku mengobrol di telpon tadi saat ini sedang berdiri di hadapanku. Aku mengangguk.
Tanpa banyak bicara, Tyas menuntunku ke ruangan tempat kelasku berada. Tidak ada sepatah katapun yang kami ucapkan selama menuju kelas. Sepertinya Tyas sama sepertiku, tidak suka bicara. Dan aku merasa semua yang perlu ditanyakan sudah cukup terjelaskan dari telepon.
Kami berhenti di depan sebuah kelas, pintu depannya terbuat dari kaca dengan frame kayu, jadi aku bisa melihat dengan jelas suasana di dalam kelas.Saat melihat tiga orang peserta yang ikut kelas bersamaku, aku menangkap satu wajah familiar. Aku tidak ingat pernah melihat pria itu dimana, namun yang jelas dia juga menyadari keberadaanku di depan kelas. Dia tersenyum lalu mengangguk. Aku membalas sapaannya dengan sedikit membungkuk. Aku mencoba untuk menebak usianya. Mungkin sekitar 30 atau 31.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sippin' Waterfalls ✓
RomanceFany merasa dirinya menjadi orang dewasa terlalu cepat...