Prolog|Hutan Hujan Kalimantan

51 10 40
                                    

Seberapa luas dunia ini yang sebenarnya?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seberapa luas dunia ini yang sebenarnya?

Soalnya ada dunia lain di antah berantah sana yang tercipta secara misterius selain dunia kita yang sebenarnya.

Zaman renaisans? Dark age? Zaman tiga kerajaan? Zaman persilatan? Zaman Sci-fi? Bukan, bukan itu yang saya maksud.

Dunia antah berantah yang saya maksud itu, adalah dunia yang sangat sepi, tapi dipenuhi oleh perang.

Hutan? Sepertinya itu cukup menggambarkan tempat dimana saya berpijak sekarang.

Sekarang, saya sedang menjelajahi sebuah hutan hujan Kalimantan yang masih sangat luas dan bisa dilestarikan sampai ke generasi-generasi berikutnya, yaitu hutan hujan di Kalimantan Barat.

Bersyukurnya warga-warga di sana masih bisa mengatur nafsu kepuasan mereka demi kelestarian hutan ini, namun ada juga hal-hal yang sangat mereka takutkan dari hutan hujan ini.

Yaitu keberadaan Panglima leluhur yang terkenal dengan kesaktiannya dalam menumpas kan musuh dalam sekali tebasan, saya yang mendengar cerita turun temurun dari warga-warga disini menjadi penasaran, apa Panglima leluhur yang mereka maksud.

Saya dengan rekan-rekan saya sudah lama berada disini, bermalam-malam kami menginap di rumah salah satu yang dengan senang hati mengizinkan kami untuk menempati tempat tinggalnya untuk sementara waktu.

Waktu semakin berjalan dan kami berpamitan kepada warga itu, kami masuk ke dalam mobil khusus yang sudah kami sewa sebelum-sebelumnya.

Walau medan jalannya ada yang tidak berlapiskan aspal, namun itu tak membuat kami patah semangat, keadaan jalannya tidak perlu saya jelaskan lagi, bergelombang dengan tanah kuning yang sangat memanjakan kami di dalam mobil.

"Huek!" Septi, salah satu dari rekanku mengalami muntah di tengah jalan, karena ia mabuk perjalanan, padahal di dalam mobil tidak ada digantung Stella Jeruk.

"Woi! Ada kantong kresek tidak?!"

"Nih nih nih," temanku yang bernama Melani memberikan selembar kantong kresek kepada Septi, dan saya berada di bangku bagian depan.

Setelah memberi kantong kresek darurat, temannya membukanya dan membujuk Septi untuk mengeluarkan isi perutnya dan langsung dilakukannya sampai rasa mual nya hilang.

Saya tak lupa menoleh dan memerhatikan Septi yang selama di perjalanan, wajahnya sudah pucat pasi, dan perasaan saya saat memerhatikan gerak-gerik memang tidak meleset.

Keizya, temanku yang memangku Septi untuk muntah langsung menyimpan muntahan temannya di pintu mobil, soalnya jika dibuang begitu saja, maka ditakutkan akan akan meresahkan warga yang melewati jalan ini.

"Septi, sudah saya bilang untuk tidak memakan rendang jengkol terlalu banyak sebelum perjalanan ini," tegur Melani kepada Septi yang meminum sebotol air untuk membersihkan tenggorokan nya.

West Borneo Fantasy[Slow Up]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang