4. Malam minggu

403 16 0
                                    

Tok tok

Rania menggeliat saat mendengar suara ketukan pintu. Ia menatap ke arah jendela kamarnya yang mulai tertembus matahari.

"Rania."

Mendengar panggilan itu membuat Rania langsung bangkit. Ia berlari ke pintu dan membukanya dengan penuh semangat." Bunda." ucapnya senang.

Yang di panggil Bunda hanya diam dengan ekspresi lelahnya. "Bunda boleh ngomong?" tanyanya.

Rania mengangguk. "Boleh masuk bun."

Angel— wanita berusia 40 tahun itu masuk ke dalam kamar nuansa pink itu. Ia menghelakan nafasnya panjang sebelum akhirnya mendudukkan diri di pinggir kasur. Ia menepuk sisi sebelahnya mengisyaratkan Rania untuk duduk. "Sini nak." ucap Angel.

Rania menduduki dirinya di samping Angel." Bunda baru pulang. Bunda tinggalin Rania." ucapnya.

Angel tersenyum kecil lalu mengusap surai hitam Rania. Perlahan tangannya bergerak untuk menggengam tangan Rania. Ia mengusapnya pelan." Anak bunda sudah besar."

Melihat sikap Angel membuat perasaan Rania tak karuan. "Kenapa bunda?" tanyanya cemas.

Angel menahan tangisnya. Ia menggengam erat tangan Rania." Maaf... bunda enggak bisa pertahanin ayah untuk ada di keluarga kita."

Duar! Hati Rania bagai tertancap pisau. Rasanya sakit sekali. Seperti tertusuk sangat dalam hingga nafasnya terasa berat. Matanya berkaca-kaca. Ia tak pernah menyangka kalimat itu akan terucap.

"Rania tinggal sama bunda—"

"Gamau." Potong Rania.

Ia melepaskan genggaman tangannya. Berulang kali ia menepuk-nepuk pipinya berharap ini semua hanyalah mimpi. Namun saat merasakan sakit di pipinya ia langsung menangis sejadi-jadinya. Ia menyadari bahwa ucapan sang bunda adalah kenyataan yang tak dapat terelakkan.

"Enggak enggak boleh pisah. Enggak boleh bunda. Bunda harus minta maaf sama ayah. Bunda harus bujuk ayah buat pulang kesini—"

Ucapan Rania terpotong saat Angel mendekapnya erat. Mendengar ucapan Rania membuat hati Angel terasa hancur. "Maaf... maafin bunda."

Rania menangis sejadi-jadinya. Ia memeluk sang bunda erat. Bayangan tentang kebahagiaan yang dulu mereka lalui terputar manis dalam pikirannya. Dulu ayah dan bundanya selalu datang ke ulang tahun, merayakan hari apapun, namun kini semuanya seperti selesai.

Angel melepaskan pelukannya, ia menatap Rania dalam. Berulang kali dalam hatinya ia meminta maaf kepada putrinya. Namun perpisahan tak pernah bisa terelakkan.

"Rania, kita enggak bisa tahan seseorang untuk terus di hidup kita. Kita harus membiarkan seseorang yang ingin pergi, kalau kita terus paksa dia bertahan disini, nanti kita yang sakit."

Rania kembali meneteskan air matanya. Ia memeluk Angel lagi." Bunda jangan sakit." bisik Rania.

Angel tersenyum kecil. Hatinya terasa sangat hancur.  Menghilang berhari-hari dari kehidupan tak membuatnya lebih baik. Bagaimanapun ia harus kembali dan menghadapi kenyataan yang ada. Ya, kenyataan memang selalu tak mengenakan, tapi ia tak punya opsi penolakan. Harus di terima. Itulah kehidupan.

"Bunda enggak sakit kan ada Rania."

Hari itu Rania hanya memeluk sang bunda seharian. Ia paham betul rasa sakit yang bundanya alami. Bagaimanapun juga ia tak mau bundanya terus merasakan sakit. Namun perceraian juga tak mudah ia terima. Bagaimanapun juga perceraian terasa menyakitkan bagi seorang anak. Tak ada yang baik-baik aja dari perpisahan orang tua.

———————————

        
Galuh menatap pantulan dirinya dari cermin. Ia tersenyum kecil. Meskipun ia tau perbedaan hidup antaranya dengan Rania, ia tetap ingin selalu bersama Rania. Cinta selalu seperti itu kan? Selalu ingin bersama dengan orang tersayang meskipun kemungkinannya tak ada.

"Mau kemana?" tanya Gino.

Galuh hanya menatapnya datar dan keluar dari rumahnya. Ia meninggalkan Gino begitu saja. Rasanya terlalu malas untuk mengobrol dengan Gino. Emosinya masih memuncak. Namun saat sampai di depan rumah ia semakin kesal saat melihat rantai sepedanya yang lepas. Ia mendelik kesal ke arah Risa yang kini hanya tersenyum tak bersalah.

"Mas kan mau pake dek." ucap Galuh.

Risa terkekeh." Maaf mas.."

"Kamu tuh ya. Besok bawa ke bengkel ya!" omel Galuh sambil mengusap rambut sang adik.

Risa mengangguk." Siap mas. Mas mau ke rumah kak Rania ya?" tanya Risa.

"Iya nih. Kalau ibu tanya bilang mas ke rumah ka Rania ya."

"Mas pengecut ah." ucap Risa tiba-tiba.

"Maksud kamu?" tanya Galuh.

"Ya mas deket doang enggak berani bilang suka. Kalah sama Dimas."

"Siapa Dimas?"

"Temenku. Dia baru bilang suka sama Risa."

Mendengar itu Galuh tertawa. Ia mencubit pipi Risa." Risa enggak boleh pacaran ya."

"Iya mas Risa tau. Tapi kasian tau kak Rania pasti nunggu mas."

"Sotoy sana masuk terus belajar." ucap Galuh yang langsung di jawab anggukan oleh sang adik.

Galuh terdiam beberapa saat. Ia menatap ke arah langit yang kini di hiasi beberapa bintang. Perlahan senyumannya terbentuk. "Apa bisa gue sama Rania?" Galuh menggelengkan kepalanya pelan." Enggak, gue terlalu kurang ajar kalau minta itu."

Galuh menghelakan nafasnya panjang dan memakai helmnya. Ia memutuskan untuk naik motor. Dan untungnya jarak rumahnya ke rumah Rania hanya 5 menit.

Kini ia tiba di depan gerbang rumah Rania. Gadis itu sudah berdiri dengan celana jeans dan kemeja peachnya.

"Nunggu lama ya?" tanya Galuh sambil membuka helmnya. Ia menatap ke arah Rania, seketika raut wajahnya berubah saat melihat mata sembab Rania.

"Kenapa hey?" tanya Galuh.

Rania tersenyum kecil."Gue boleh naik sekarang?" tanya Rania.

Galuh mengangguk lalu memberikan helm ke Rania. Setelah terpasang, Rania langsung menduduki dirinya dimotor. Kali ini tanpa di suruh Rania langsung melingkari tangannya di pinggang Galuh membuat laki-laki itu terdiam seketika. Jantung Galuh terasa ingin keluar. Keringat dingin mulai keluar. Ia menatap ke arah Rania yang menyenderkan kepala ke bahunya.

"Gue capek, Gal. Mau nyender sebentar ya." ucap Rania.

Galuh mengangguk, ia menggeser spionnya ke arah Rania. Perlahan bibirnya terangkat membentuk senyuman kecil." Iya. Jalan ya."

"Hm."

Galuh mulai menggas motornya. Kini motor scoppy itu berjalan membelah malamnya jakarta. Ia membiarkan Rania menyandarkan kepalanya. Matanya terus-terusan melihat ke arah tangan Rania yang melingkar indah di pinggangnya. Jika bisa, Galuh ingin salto rasanya.

"Gal." panggil Rania.

"Hm?"

"Capek."ucap Rania.

"Tidur. Bahu gue boleh lo tidurin hari ini."

Rania menghelakan nafasnya panjang." Gue mau pergi dari dunia, capek hidup, Gal."

Mendengar itu Galuh tersenyum kecil dan memperhatikan gadis itu lewat kaca spionnya. "Beneran? Gue boleh bawa lo pergi?"

Gadis dengan raut sendu itu hanya menghelakan nafasnya panjang." Halah paling nanti gue di anterin pulang juga."

Galuh terkekeh lalu mengusap tangan Rania yang melingkar di pinggangnya. Ia tersenyum kecil lalu berkata." Ayo kita pergi, gue bakal bawa lo ke dunia gue, jadi jangan minta pulang, ya?"

Rania terkekeh." Emang bisa?"

"Bisa, Rania."

Dari Galuh untuk RaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang