11. Malam di Bogor

334 13 4
                                    

"Ibaratnya gini wir lo punya uang lo punya kuasa." Edo mengucapkan itu sambil mengangkat gelas kopinya tinggi-tinggi membuat Tamara, Galuh, dan Rania menghelakan nafasnya panjang.

Rania menyenggol bahu Tamara." Berdua nih balikan bisa kali."

Mendengar itu Tamara langsung bergidik ngeri. Ia menatap Rania tajam." Mata lo gue colok!"

"Kalian nginep disini? Atau langsung pulang." tanya Rania.

Edo menatap sekeliling taman Rania yang sangat asri. Banyak pepohonan yang terawat. Terasa nyaman dan membuatnya betah." Nginep boleh?" tanya Edo.

Rania mendesis lalu mengeluarkan lima jari tangannya." Khusus Edo bayar 500 ribu."

Edo memanyunkan bibirnya gemas." Gitu amay. Bayar pake tebak-tebakkan gue enggak mau? Nih Ran ikan, ikan apa yang paling cerewet?"

"Mulai lagi." ucap Tamara.

Rania berpikir sejenak." Ikan mujair?"

"Salah ikan bawal hahahahahahaha anjir lucu banget mau berak, bye." ucap Edo sambil bangkit dari duduknya dan berlari kencang ke dalam rumah.

Kini tinggal Tamara, Rania dan Galuh. Ketiganya menyesap teh sambil menikmati gemblong buatan Bidah. Cuaca sore Bogor memang tak terkalahkan. Sangat enak, sangat nyaman apalagi untuk kumpul-kumpul seperti ini. Tamara tak merasa menyesal untuk datang kesini.

"Lu bakal tinggal disini?" Tanya Tamara.

Rania menghelakan nafasnya panjang." Mungkin gue bakal kos di Jakarta."

"Kos? Sendirian?" timpal Galuh mimik khawatir.

Rania mengangguk." Iya. Gimana lagi? Gue udah enggak bisa pulang ke rumah. Gue sekarang cuma punya diri gue sendiri. Kalau gue enggak punya rumah, gue harus ciptain itu, kan? Jadi, gue harap diri gue sendiri bisa jadi tempat pulang ternyaman."

Galuh tersenyum kecil lalu mengacak-acak rambut Rania gemas." Rania kita udah dewasa."

"Tapi apa lo enggak takut, Ran? Tinggal sendirian itu berat, enggak enak, kesepian, hampa."

Rania tersenyum kecil." Tinggal di rumah orang tua gue juga rasanya kaya gitu, Tam. Hampa, sendirian, kesepian."

Tamara terdiam beberapa detik. Ia menatap Rania lalu memeluknya erat. Gadis di pelukannya ini sangat kuat. Ia masih bisa tersenyum di kala perceraian orang tuanya terlebih bundanya yang tak ada kabar hingga hari ini.

"Nanti gue bantu cari kos ya?" tawar Galuh yang langsung di jawab anggukan oleh Rania.

"Anak-anak mandi udah sore!" ucap Bidah sambil menatap ke arah Rania, Galuh dan Tamara.

Mendengar itu membuat Tamara bangkit dari duduknya." Gue duluan deh." ucap Tamara.

Tamara berlari kecil ke arah pintu dan merangkul Bidah untuk masuk ke dalam rumah. Keduanya memang sudah sangat akrab semenjak liburan semester tahun lalu.

Kini hanya ada Rania dan Galuh yang masih bersantai sambil menatap langit yang perlahan berwarna oren menandakan maghrib akan datang.

"Ran yakin?" tanya Galuh lagi.

Rania tau. Pasti ini soal niatnya yang ingin kos." Yakin, Gal. Tenang aja gue bisa kok jaga diri, lagipun kita sebentar lagi lulus sekolah kan? Gue harus kuliah dan ujung-ujungnya kos. Lo gimana? Udah tentuin mau kuliah dimana?"

Ini yang paling Galuh takutkan. Kuliah. Biaya. Masa depan. Ketiga hal itu tak bisa Galuh kendalikan. Mendengar Rania yang sudah ada niat kuliah sementara dirinya yang masih ombang ambing karena biaya membuatnya merasa insecure. Membuatnya merasa semakin tak pantas untuk Rania.

Dari Galuh untuk RaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang