8. Rania kehilangan rumah

354 15 0
                                    

Rania kini menjadi pendiam setelah mendengar ucapan Edo. Ia memakan mie ayamnya dengan fokus. Sementara Galuh, laki-laki itu menatap Edo tajam karena menyebabkan situasi menjadi seperti ini.

"Gue ke kelas duluan." ucap Rania bangkit dari duduknya.

Rania melangkah pergi dari sana meninggalkan Galuh, Tamara dan Edo. Ia memutuskan untuk ke perpustakan dan membaca buku. Pikirannya kini penuh, ia memikirkan ayahnya yang tak kunjung pulang semenjak hari itu, memikirkan perasaan bersalah akan masa lalunya, dan juga memikirkan Galuh.

"Menjauh engga bikin masalah lo kelar Ran." ucap Tamara yang baru tiba.

Rania menatap Tamara datar lalu pura-pura membaca bukunya.

"Bukan salah lo. Kematian kak Raihan bukan salah lo."

Rania menutup bukunya. Ia menatap Tamara datar." Iya gue tau."

"Engga lo enggak tau. Sampai kapan kaya gini? Ran hidup yang layak, nafas yang bebas, jangan di tahan."

"Lo tau banget ya tentang hidup gue? Setahu itu? Gue selama ini diem saat lo nyuruh gue lupain kejadian itu, hidup dengan bebas, terima perasaan Galuh atau apapun. Gue udah diem."

Rania mengontrol nafasnya sejenak. Ia menatap sahabatnya serius." Lo pikir gue enggak mau hidup bahagia? Lo pikir enak hidup di tengah rasa bersalah kaya gini? Enggak enak Tam. Gue juga usaha buat move on dari semuanya, buat relain dan ikhlasin semuanya. Demi tuhan gue usaha."

"Cuma gimana kalau menghukum diri gue satu-satunya cara gue untuk hidup? Gimana kalau nyiksa diri sendiri adalah jalan keluarnya? Gimana, Tam?" tanya Rania dengan air mata yang menggenang.

Mendengar itu Tamara ikut menitikkan air matanya. Ia mendekap tubuh Rania kencang. Harusnya ia tak terlalu memaksakan gadis itu untuk move on atas segelanya. Terlebih saat kenyataan orang tuanya bercerai sedang menyergap hidupnya.

"Maafin gue." bisik Tamara.

Rania tak menjawab. Ia hanya menangis tak bersuara. Membiarkan keheningan perpustakan mengisi pikirannya. Membiarkan semuanya diam sementara. Namun ternyata meski begitu, sesaknya tak menemukan jalan keluar. Perasaan sakitnya tetap menetap dan diam disana.

—————-

Galuh menghelakan nafasnya panjang. Ia menatap gedung-gedung tinggi dari atap sekolahnya. Pikirannya kini penuh, ia memikirkan gadis yang menghilang sejak pulang sekolah tadi.

"Sorry Gal." ucap Edo.

Galuh mengangguk dan mematikkan rokoknya." Iya gapapa"

"Lo marah ya?" tanya Edo takut-takut.

"Kalau marah udah gue lempar lo ke bawah." ucap Galuh.

"Rania suka kok sama lo." ucap Edo.

Galuh tertawa kecil." Kalimat penenang?" tanya Galuh.

"Gue enggak tau apa yang nahan dia. Tapi dari cara dia natap lo, hangat, khawatir, cemas, takut. Mungkin bibir dia bilang dia enggak suka sama lo, tapi tatapan ga pernah bisa bohong."

Galuh mengangguk-anggukan kepalanya. Memang benar tatapan mata tak pernah bisa berbohong. Namun perasaan tak pernah salah. Ketika kita bingung, mungkin itu menjadi pertanda bahwa kita tak di sukai.

Dari Galuh untuk RaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang