12. Bintang malam untuk Rania

291 9 2
                                    

Galuh menghentikkan motornya di sebuah rumah yang nampak besar. Halamannya terpampang luas membuat Rania sedikit terkejut. Rania pun turun dari motor dan membuka helmnya. Ia menatap Galuh yang kini hanya diam dengan pandangan sendu.

"Gal? Kenapa?" tanya Rania.

Galuh terdiam. Ia menatap rumah itu lama." Ran menurut lo, rumah itu kaya gimana?" tanya Galuh.

Rania bergumam. Ia ikut menatap rumah yang ada di hadapannya. "Rumah itu tempat kita pulang, tempat kita nangis, tempat kita bahagia, enggak akan ninggalin gue."

Galuh terkekeh." Harusnya ya? Tapi... lo enggak bisa berharap kalau itu bisa selamanya, Ran. Karena gimanapun juga, rumah itu cuma tempat singgahan, dia enggak bisa menetap selamanya. Makanya kalau suatu saat lo menemukan orang yang bisa lo ajak
nangis, bisa lo ajak pulang, bahagia bareng, bisa peluk lo, apapun itu jangan berharap dia bisa selamanya ya Ran? kalau lo mau cari rumah yang bisa ada terus, enggak pernah ninggalin lo, selalu ngerti lo, itu enggak ada di orang lain tapi ada di diri lo sendiri. "

Mendengar itu Rania terdiam. Kata-kata Galuh selalu berhasil menamparnya. Ia sadar bahwa ternyata rumah yang selama ini ia cari sudah ada. Bahwa ternyata diri sendiri adalah tempat pulang ternyaman yang di beri tuhan. Bukan orang lain. Selama ini Rania selalu mencari siapa ya orang yang bisa buat dirinya bahagia, bisa membuatnya tenang dan mengerti akan segala perasaannya. Tanpa tau bahwa ternyata hanya dirinya sendiri rumah yang terbaik.

"Ini rumah bokap. Sekarang udah tinggal sama istri dan anak-anaknya. Seperti yang lo liat, rumah ini masih kokoh, bagus, dan enggak ada yang berubah. Situasi apapun yang pernah ada di dalam sana enggak menghancurkan rumah ini. Bokap gue masih baik-baik aja setelah gue dan nyokap pergi. Semenjak saat itu gue enggak mau menjadikan seseorang rumah buat gue Ran. Karena pada akhirnya, gue tetap sendirian."

Galuh merasakan air matanya menggenang. Namun sebisa mungkin ia menahannya. Terlalu gengsi menuangkan tangis di hadapan Rania. Namun terlalu sakit juga menahan rindu akan rumahnya itu. Ia ingin kembali ke sana. Tapi tak bisa. Terlalu takut. Terlalu asing baginya.

Galuh rindu rumah namun ia tak bisa pulang.

Rania menggengam tangan kecil Galuh. Kali ini ia yang harus menguatkan Galuh. "Kalau lo terlalu takut, jangan. Gapapa enggak sekarang Gal. Tapi kalau lo udah siap buat hadapin ketakutan lo, lo jangan sendirian ya? Lo punya gue Gal."

Galuh terkekeh lalu mengacak-acak rambut Rania lembut." Lo juga punya gue, Rania. Jadi jangan sedih sendirian ya. "

Rania terkekeh lalu mengangguk kecil. Ia menatap Galuh lama." Jadi hadiah gue sampai sini aja?"

Galuh menggelengkan kepalanya. "Enggak dong. Ada lagi. Siap? "

Rania mengangguk. "Siap."

Galuh terkekeh lalu berkata." Susul gue." tutur Galuh sambil berlari meninggalkan Rania.

Rania yang terkejut langsung ikut lari menyusul Galuh. Malam itu Rania, berlari mengikuti langkah kaki Galuh. Kemanapun ia tak apa. Karena Rania tau pasti membahagiakan.

-------------------

"Main basket?" tanya Rania saat melihat Galuh yang kini memegang bola basket.

Mereka kini sudah tiba di lapangan komplek rumah lama Galuh. Disana, Galuh sudah membawakan Rania 1 bola basket membuat gadis itu bertanya-tanya dalam pikirnya.

"Gal come on, gue ga suka olahraga."

"Ayo tanding. Kalau lo menang lo boleh beli seblak." ucap Galuh.

Cewek mana yang tak tertarik dengan seblak? Saat mendengar itu Rania langsung merasa senang. Ia mulai mendekat ke arah Galuh." 2 bungkus?"

"10 juga boleh buat lo." ucap Galuh sambil terkekeh.

Rania ikut tertawa. Ia mendekati Galuh dan merampas bola basket dari Galuh. Rania berlari lalu memasukkan bola ke dalam ring. Meskipun kerap gagal, Rania tetap senang. Ia hanya tertawa-tawa dengan Galuh karena kebodohannya saat mendribble bola basket.

Malam itu Rania benar-benar seperti melupakan sedihnya. Ia hanya memantulkan bola dan melemparkan bola ke dalam ring. Tertawa bersama laki-laki yang kini juga ikut tertawa bersama Rania. Meskipun sesekali menjahili Rania dengan menggelitik pinggang Rania.

Hingga tak terasa 1 jam mereka bermain basket. Kini keduanya menjatuhkan tubuh di lapangan. Membiarkan tubuh mereka tergeletak di lapangan. Keduanya sesekali masih tertawa di iringi helaan nafas ngos-ngosan.

"Seru enggak?" tanya Galuh.

Rania menatap Galuh." Banget. Sering-sering ajak gue main basket."

Galuh mengontrol nafasnya sambil menatap ke arah langit malam yang nampak banyak bintang." Dunia enggak buruk Ran ternyata."

Rania mengangguk. Ia ikut menatap indahnya malam." Bener."

"Ternyata mutusin bertahan gak buruk kan?"

"Enggak. Gue lega."

"Kenapa lega?"

"Bisa kenal lo dan bertahan." ucap Rania di ikuti senyuman kecil.

"Gue juga beruntung." ucap Galuh.

"Beruntung kenapa?"

"Punya bintang dihidup gue."

Rania terkekeh. Ia menghadap ke samping sehingga bertatapan langsung dengan Galuh. "Siapa bintang hidup lo emang?" tanya Rania.

Galuh menatap Rania lama. Berteriak dalam hati betapa cantiknya gadis di hadapannya ini. "Elo. Rania."

Mendengar itu membuat senyuman Rania luntur. Ia sontak langsung bangun dan merapihkan bajunya dari debu. Ia menatap Galuh." Udah malem, ayo pulang."

Sementara Galuh, ia hanya mengangguk dan ikut bangkit. Ada perasaan sedih dalam dirinya namun lagi-lagi ia bilang ke dirinya bahwa ya gimanapun Rania memang tak pernah akan menjadi miliknya.

----------------

Tamara menatap temannya yang sejak pulang tadi hanya diam saja. Bahkan Rania tak menyentuh susu coklat kesukaannya. Aneh. Gadis itu ingin bertanya namun takut menganggu. Namun ia sangat penasaran.

"Lo kenapa Ran?" tanya Tamara hati-hati.

Rania menghelakan nafasnya." Lo pernah bingung enggak?"

"Sama?"

"Perasaan lo sendiri."

Tamara yang paham akan pertanyaan Rania langsung menanggapi." Pernah. Selalu."

"Kadang lo mau sama dia, kadang lo sama dia kaya jauh banget dan enggak mungkin."

"Enggak mungkin kenapa?"

Rania menghelakan nafasnya panjang." Enggak pantes. Orang kaya gue enggak boleh jatuh cinta lagi harusnya, Tam."

"Ran gue harus berapa kali bilang kalau itu bukan salah lo. Itu takdir Rania."

"Mau orang bilang itu takdir, musibah atau apapun gue tetep ngerasa enggak pantes, Tam. Harusnya tuhan hukum gue bukan beri gue perasaan kaya gini."

"Perasaan apa? Lo suka sama Galuh?"

Rania menggelengkan kepalanya." Enggaklah lo Gila."

"Lo yang gila. Lo bisa bohong sama gue, sama Edo, sama Galuh tapi lo enggak bisa bohong sama perasaan lo."

Mendengar itu Rania hanya terdiam. Ia menatap Tamara."... lo bener tapi apa gue pantes buat jatuh cinta lagi, Tam?"

Dari Galuh untuk RaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang