RT_Lima

166 21 0
                                    


Ashila terus mengomel begitu sampai di rumah. Ia tidak terima jika Kenzi ternyata bakal satu kota perantauan dengannya.

"Di Jogja udah bagus, tuh. Kenapa harus pindah, sih? Mama udah tau, ya?"

Bu Rohman yang sedang mengupas bawang merah mengangguk. "Emang kenapa kalau Kenzi pindah?"

"Aku nggak mau ketemu dia, Ma." Ashila memajukan bibirnya. Wajahnya sudah sangat manyun.

"Kok bisa suami istri nggak ketemu." Bu Rohman masih menanggapi dengan santai.

Ashila berdecak kesal. Mungkin, di dunia ini hanya dirinya yang menganggap pernikahan yang terjadi itu seperti alur novel fiksi, tidak nyata sama sekali alias khayalan. Namun, semua orang di sekitarnya yang menyaksikan bahwa pernikahan itu benar terjadi adanya, terutama Kenzi sendiri.

"Nanti Mbak nggak usah ngekos lagi," cetus Bu Rohman.

Ashila menoleh cepat ke arah sang ibu. "Kenapa, Ma?"

"Lek Arif baru beli rumah di sana pas tau Kenzi mau lanjut S2."

"Terus?"

"Terus, terus, ya Mbak tinggal di sana juga. Kan, udah suami istri," jelas Bu Rohman tanpa melihat raut wajah putrinya yang semakin menampakkan ekspresi geram itu.

Ashila mengentakkan kaki dengan kesal. Ia lalu berjalan menuju kamar. Rasanya, dirinya ingin pindah negara saja biar tidak bertemu dengan Kenzi. Lebih tepatnya tidak satu rumah. Ia sudah pusing memikirkan cara agar pernikahannya tidak terendus teman-teman di kampus.

***

Hari ini Ashila dan Kenzi akan berangkat menuju kota tempat mereka menuntut ilmu. Semua perlengkapan sudah masuk ke mobil Pak Rohman. Tidak hanya kedua belah pihak orang tua yang akan ikut mengantar, tetapi juga Mbah Kung dan Mbah Uti. Mereka ingin melihat rumah tempat cucu tersayang tinggal.

"Mbak ikut naik mobil? Masa suaminya dibiarin sendiri," ujar Bu Rohman saat sudah bersiap.

"Biar di mobil aja, Lis," sahut Mbah Uti sembari menyebut nama menantunya.

"Setuju, Uti. Dua jam lebih naik motor bisa pegal punggungku." Ashila lega, Mbah Uti berada di pihaknya. Ia harus bisa menghindari interaksi langsung dengan Kenzi.

"Betul, Nduk. Nanti kalau capek terus, kapan Uti punya cicitnya? Ya, to? Jangan ditunda ya, Nduk. Uti pingin gendong cicit sebelum dipanggil Yang Di Atas."

Mata Ashila membeliak mendengar ucapan Mbah Uti. Punya anak?

"Uti kok, ngomong gitu, sih. Uti udah aku doain tiap hari biar panjang umur, sehat selalu."

"Umur nggak ada yang tau, Nduk. Dengerin ucapan Uti tadi." Perempuan berusia 70 tahun itu menoleh ke arah Kenzi. "Zi, jangan ditunda punya anaknya."

Kenzi yang sedari tadi menjadi pendengar, sontak menegakkan punggungnya. Kepalanya pun mengangguk mantap. Ia lalu melirik ke arah Ashila. Tampak istrinya sedang menatap tajam ke arahnya.

"Insya Allah enggak, Uti. Mohon doanya." Kenzi berucap dengan takzim. Hal itu semakin membuat Ashila geregetan.

Punya anak aja sendiri sana!

Tidak lama kemudian, rombongan pun mulai berangkat. Perjalanan yang dilalui lancar walau sempat terjebak macet di daerah Singosari. Dua jam adalah total waktu yang ditempuh. Mobil pun berhenti di rumah tanpa pagar. Mereka sudah sampai di rumah yang akan ditempati Kenzi. Rupanya Pak Arifin membeli rumah yang berada di perumahan tepi utara Kota Malang. Rumah itu dibeli karena pemiliknya yang tidak lain kenalan Pak Arifin sedang membutuhkan uang. Harganya pun relatif murah dibandingkan harga pada umumnya.

RUMAH (te)TANGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang