RT_Tujuh Belas

161 26 0
                                    

Ashila turun dari motor setelah mengembalikan helm milik driver. Ia segera masuk ke kos. Langkahnya cepat menuju kamar Mona. Ashila membuka pintu kamar dengan tergesa.

"Mon!"

"Astagfirullah!" 

Mona yang sedang mengaplikasikan masker wajah melonjak kaget. Kuas yang niatnya disapukan ke pipi, malah melesat ke telinga. "Apa, sih, Ashila. Datang-datang bikin kaget aja."

Ashila tidak menjawab. Ia malah mengempaskan tubuhnya di atas kasur dengan posisi tengkurap. Kejadian tadi pagi sebelum pulang, membuat pikirannya kacau.

"Hei! Kenapa, sih? Pulang dari rumah suami aneh gini. Kalian habis ngapain?" tanya Mona asal.

Mendengar pertanyaan Mona, Ashila segera mnegubah posisi menjadi duduk. "Nggak, kok. Nggak ngapa-ngapain."

Mona menoleh ke arah Ashila. "Nggak tapi mukanya merah gitu."

Ashila menyentuh kedua pipi, panas. Desahan pasrah keluar dari bibir tanpa polesan lisptik tersebut. Ia lalu menutup wajahnya.

"Jangan bikin curiga. Kamu tuh, nggak bisa nyembunyiin suasana hatimu, Shil. Ada kejadian apa sama suamimu semalam?"

Ashila mencebik manja. Mona memang sahabat terbaik baginya. Terkadang, tanpa bercerita, mahasiswi tingkat akhir itu sudah paham tentang apa yang sedang dialaminya. Seolah ada tulisan di dahi yang bisa dibaca oleh Mona.

"Mon, kalau aku jatuh cinta gimana?" Ashila menggigit kuku jarinya dengan gemetar. Debaran tadi masih bertahan hingga kini.

"What?" Mona langsung menghentikan aktivitasnya. "Kamu jatuh cinta?"

"Kalau, masih kalau doang."

"Cerita dulu ada apa."

Ashila menarik napas panjang. Ia lalu menceritakan tentang pernyataan cinta Kenzi dan juga kontak fisik yang dialaminya. Namun, ia tetap merahasiakan tentang kecupan sekejap tersebut. Dirinya terlalu malu untuk bercerita, bahkan kepada Mona.

"Dia suka sama kamu? Udah kuduga sejak di rumah sakit itu. Nggak mungkin perjodohan itu terpaksa semua. Cuma kamu aja yang nganggepnya gitu."

Ashila mengangguk pelan. "Terus aku harus gimana, Mon?"

"Gimana apanya? Ya udah pulang ke rumah suami. Ngapain balik ke sini. Orang nikah itu harusnya kan bersama. Yang masih pacaran aja pingin banget tinggal bareng, yang udah halal malah hidup terpisah. Sungguh lucunya dunia ini."

Mona terdiam mendengar ceramah Mona. Ia masih tidak bisa menganalisis perasaannya. Yang jelas, usai pernyataan cinta, seperti ada ketertarikan darinya kepada Kenzi.

"Kamu mulai suka sama Kenzi, kan?" tebak Mona.

Ashila mengangkat bahu. "Mungkin aku baper saja."

Mona menggelengkan kepala dengan cepat. "Lebih dari baper, kamu mulai suka. Aku paham kamu, Shil. Dulu pas ditembak cowok-cowok itu, kamu biasa saja. Kenapa? Karena kamu nggak ada rasa. Ngerti?"

Ashila terkesiap. Analisis Mona masuk akal juga. "Aku suka Kenzi?"

Mona manggut-manggut. "Udah buruan pindah ke rumah suami. Bulan depan sewa kosmu kan udah habis."

"Masalahnya, mulai hari ini kami memutuskan untuk nggak berkomunikasi sampai aku wisuda." Ashila kembali menggigit kuku jarinya.

"Hah?! Ashila ... Ashila. Rumit bener urusan rumah tangga satu orang ini." Mona menepuk keningnya. Ia kembali melanjutkan aktivitasnya.

Sementara itu, Ashila kembali termenung. Ia tiba-tiba ingin menghapus perjanjian itu. Dirinya ingin tetap bertemu Kenzi. Namun, ia harus memegang komitmen. Salah satu impian sebentar lagi akan terwujud. Ashila tidak mau kehilangan kesempatan lulus kuliah dalam waktu tiga setengah tahun saja.

RUMAH (te)TANGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang