RT_Delapan

138 20 2
                                    


Namun, baru juga berdiri di samping ranjang, Ashila kembali beranjak lagi. Ia berlari ke meja petugas. Sayangnya, di sana tidak ada siapa-siapa. Ia harus segera mengetahui kondisi Kenzi yang sebenarnya. Jika dilihat dengan kasat mata, luka yang dialami Kenzi hanya di tangan. Berbeda cerita jika yang diperban adalah kepala.

"Si*lan!"

Ashila baru menyadari sesuatu. Dirinya teringat masa lalu di mana Kenzi yang masih anak-anak hobi sekali mengerjainya. Ashila pun bergegas kembali ke tempat Kenzi berbaring.

"Udah dipanggil dokternya?" tanya Mona.

"Nggak perlu."

Ashila berdiri di sisi ranjang dengan kedua tangan bersedekap. Wajahnya tampak dingin sembari menatap tajam ke arah pemuda yang matanya masih terpejam itu. "Ada cara mudah buat bangunin dia."

"Hah? maksudnya, Shil?"

Ashila menggerakkan tangan kanannya. Ia lalu memencet hidung bangir suaminya selama setengah menit. "Masih nggak bangun?"

"Shil, udah, Shil. Entar dia nggak bisa napas." Mona mulai panik. Ia sebenarnya paham apa yang sedang terjaddi. Saat mememluk Ashila, dirinya melakukan kontak mata dengan Kenzi.

"Masih mau merem aja? Oke!"

Ashila menatap lengan Kenzi yang dipenuhi perban. Gadis itu menyeringai sejenak. Ia lalu mengepalkan tangan kanan dan mulai mengambil ancang-ancang ke atas.

"Jangan!" Mona tersentak menyadari apa yang akan dilakukan Ashila. Namun, terlambat!

"Aduh!!" Kenzi memekik keras seraya mengusap lengan yang mendapat pukulan keras Ashila.

Mona menepuk keningnya melihat aksi sahabatnya tersebut. "Ampun, deh, Ashila."

"Emang ya, kalau darah jail sudah mengalir, nggak akan pernah bisa tobat." Ashila berkata dengan sinis. "Ayo pulang, Mon."

Baru selangkah beranjak dari tempatnya berdiri, tangan Ashila ditarik. Kenzi menahan sang istri agar tetap tinggal.

"Maaf, Shil. Maafin, ya," ucap Kenzi dengan wajah memelas. "Aku sakit beneran. Tadi nabrak boneka counter HP yang gerak-gerak itu. Eh, lenganku ketindih motor."

Ashila mendengkus kesal. Ia lalu mengentakkan tangan Kenzi. Gadis itu berjalan menuju pintu luar. Namun, saat akan membuka pintu, Suster memanggilnya.

"Mbak, bisa ikut saya ke bagian administrasi sebentar?"

Ashila mendesah pasrah sembari terus berdecak kesal. Ia pun mengikuti petugas medis tersebut. Tidak lama kemudian, Ashila kembali ke UGD.

"Jadi pulang?" tanya Mona yang menunggu di dekat pintu.

"Kamu pulang dulu, deh. Tetanggaku harus rawat inap. Aku takut dia nanti lapor orang tua kami kalau nggak aku urus di sini."

Mona terkikik. "Tetangga tapi dinikahin."

Ashila berkacak pinggang. Mata Gadis itu mendelik ke arah Mona. "Awas sampai kesebar ke teman-teman di kos."

Mona hanya bisa tertawa. Ia lalu mengacungkan ibu jari tangan kanan. Gadis dengan jaket denim itu pun segera berlalu.

Ashila kembali ke tempat Kenzi. Pemuda itu akan segera dipindah ke ruang rawat inap.

"Maafin ya, Shil." Kenzi masih memasang wajah memelas.

Ashila hanya terdiam tanpa senyuman. Ia masih kesal dengan suaminya itu. Terlebih mengingat air mata yang keluar karena takut Kenzi meninggal.

Duh, bikin malu sendiri aja. Ashila merutuki dirinya sendiri.

RUMAH (te)TANGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang