"STOP!"
Bora dan Mario bergerak cepat menghampiri Rei dan Egi yang kala itu sedang bertarung di bawah teriknya matahari.
Sesampainya di situ, Mario langsung memisahkan Rei dan juga Egi. Melihat Egi, Mario sebenarnya ingin ikut menghajarnya apalagi setelah ikut membaca pesan dari Egi yang ada di ponsel Bora saat Bora menunjukkannya sebelum mereka berhasil menemukan keberadaan Reihart yang menghilang mendadak dari kos-kosannya. Hanya saja Mario rasa, Egi sudah terlalu parah lukanya. Jika ia menghantamnya juga, pasti Egi akan pingsan di tempat.
"Rei, apaan sih lo!" omel Bora. Ia sudah hampir menangis melihat hal Rei yang memar dan hidungnya berdarah. Lantas Bora mengalihkan tatapannya pada Egi. "Egi, gue minta tolong jangan pernah hubungin gue lagi. Ngerti?"
Egi diam, hanya menatap Bora dengan bola matanya yang mulai berair.
"Gue ... gue nggak akan pernah balik ke elo, Gi!"
"Terus kenapa lo nggak block nomor gue? Kenapa lo biarin gue bisa kirim pesan ke elo kalau lo emang nggak ngasih gue kesempatan lagi, Bora?" tanya Egi.
Bora menahan air matanya yang menitik. "Sebenci gue sama lo, lo pernah membuat gue bahagia. Gue nggak mau musuhan sama lo apalagi sampai block nomor lo meski kita udah putus, apalagi kita satu fakultas. Tiap hari bisa aja ketemu nggak sengaja. Nggak ada gunanya gue block lo."
Egi menundukkan kepalanya, ia benar-benar menyesal. Ia menyesal sudah berbuat semenjijikan itu kepada Bora.
"Jadi gue harap, lo bisa terima keputusan gue. Jangan pernah ganggu gue lagi. Oke?" pinta Bora dengan suaranya yang mulai bergetar.
Egi melepaskan tubuhnya dari Mario, dia berjalan dengan terpincang-pincang meninggalkan halaman kosong itu tanpa sepatah kata pun, menghilang perlahan karena oleh jauhnya jarak.
"Gue beri kalian waktu ngobrol berdua," ujar Mario, setelah Egi sudah menghilang. "Gue tunggu di parkiran."
Mario pun begitu, ia pergi meninggalkan Bora dan Rei.
Untungnya lokasi kafe itu bukan di pinggir jalan raya yang ramai, melainkan sebuah komplek yang isinya kafe-kafe berjejer. Kafe-kafe itu pun rata-rata buka pukul empat sore, sehingga di siang hari seperti ini lingkungannya masih bisa dibilang sepi karena hanya beberapa kafe saja yang sudah buka.
"Harus lo berantem sama dia sampai berdarah-darah gini?" tanya Bora, pada lelaki yang saat ini berdiri di depannya.
"Wajar lah, lo juga bolak-balik jambak-jambakan. Apa bedanya?" jawab Rei, ia masih emosi, jadi ia menjawab seadanya dengan nada ketus.
"Rei! Gue serius!"
"Gue juga serius Leebora!" balas Rei dengan hentakan, membuat Bora diam sekita. "Gue akan diam kalau cewek yang gue sayang diganggu sama orang lain, entah itu cewek sekalipun yang ganggu, gue nggak akan diam."
KAMU SEDANG MEMBACA
Leebora, My Crazy Housemate
Romance"REIHART! GUE KAN TITIP PEMBALUT KENAPA MALAH DIBELIIN POPOK ORANG DEWASA?" "Jangan deket-deket, gue kan jadi pengen cium! Lo ganteng banget sumpah." "Wah habis mandi, pasti baunya wangi banget jadi pengen cium." "Rei, boleh nggak gue pegang otot pe...