Alvin melangkah ragu menuju sebuah ruangan yang berada di kiri sayap perusahaan bertandang ini. Sedikit gugup dan raut wajah yang nampak berpikir keras, Ia mencoba untuk membuang pikiran-pikiran buruknya, yang harus Ia lakukan saat ini, untuk berlaku profesional dan tidak mementingkan dulu permasalahan pribadinya dengan Pria yang memiliki perusahaan ini yang mulai mengembangkan nama didunia bisnis. Sahabatnya sendiri -Zariel Ltuno-.
Ia begitu ingat jelas, beberapa minggu lalu saat Zariel mengetahui semuanya dan bagaimana marahnya Zariel waktu itu. Hampir saja dirinya mati konyol akibat pukulan-pukulan mentah Zariel yang terus menyerbunya tanpa ampun. Alvin tahu, Zariel tidak akan membunuhnya, sejahat apapun Zariel lelaki itu adalah sahabatnya. Inilah yang menjadi point penting bahwa pemikiran Alvin saat membaca pikiran Zariel, karena sebenarnya lelaki itu hanya diliputi rasa kacau dan tekanan hati yang begitu meluap.
Zariel masih menganggap Alvin adalah sahabatnya, sahabat sejak kecilnya, sahabat yang selalu rela membantunya. Itulah pemikiran Alvin saat membaca pikiran Zariel, masih ada rasa sayang disana.
Alvin tersenyum samar, saat mendapati dirinya kini telah berada didepan ruangan Zariel. "Zariel sahabat mu, tidak ada yang perlu kau benci darinya." Ia menghela nafasnya pelan lantas mengetuk pintu tersebut sehingga pintu otomatis itu pun terbuka lebar beberapa detik, Alvin melangkah pelan memasuki ruangan ini yang entah kenapa setelah sekian kalinya Ia keluar masuk ruangan ini sesuka hatinya, baru kali ini Ia merasakan hawa dingin yang begitu menusuk dan mencekam.
Didapatinya, Pria jangkung tengah berdiri tegak membelakanginya sedang menggenggam segelas Wine. Yah, Alvin tahu itu.
Sekian detik mereka berdua masih berdiam dengan posisi yang sama, tak ada suara sedikit pun. Karena merasa bosan, Zariel akhirnya mulai membuka suara.
"Kenapa kau hanya berdiam ?"
Suara itu mampu membuat Alvin tersentak, Ia meneguk ludahnya susah dengan tatapan yang kini menatap lekat punggung tegak Zariel, yang tengah memutar badannya tepat menghadap Alvin. Saat ini mereka dibatasi oleh meja kerja besar Zariel.
"Aku kesini untuk....."
"Aku tahu maksud mu." Potong Zariel dengan tatapan tak berminat menatap Alvin. Ia meneguk habis segelas Wine yang sejak tadi bertengger pada jari-jari kokohnya. "Aku membatalkan perceraian itu." Alvin terpengah, tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Zariel, Hey ! Bukankah, lelaki ini begitu menginginkan perceraiannya dengan Agni, bukan. Lalu ? Apalagi yang Ia rencanakan saat ini ?
"Kau bercanda, Zariel ?"
Zariel menatap nyalang kearah Alvin, rahangnya mengetat. "Aku telah membatalkan kontrak kerja ini dengan mu. Itu berkas yang kau perlukan, aku tidak membutuhkannya lagi." Alvin menggeleng tidak mempercayai apa yang diinginkan Zariel saat ini. Apalagi yang sebenarnya tengah lelaki itu rencanakan ?.
"Apa yang kau tunggu ? kau bisa pergi sekarang !" Alvin kembali tersentak, tatapannya berubah tajam menatap Zariel. 'Deg.
Ah, Ya Tuhan ! jadi ini, jawaban kenapa Zariel tiba-tiba membatalkan perceraiannya dengan Agni ? Tidak, Alvin tidak akan tinggal diam. Zariel masih berpikiran untuk menyakiti Agni ? Pikiran lelaki itu benar-benar terkabut kebencian dan penuh dendam. Tatapan Zariel yang awalnya penuh kemarahan pada Alvin, kini tatapannya begitu kosong, hampa sama sekali tidak ada tatapan mengerikan yang selalu Zariel hadirkan untuk menutupi kerapuhannya.