Alvin menggiring Sivia ke tempat tidur, lantas mendudukkannya. Ia meraih segelas air putih yang memang telah ada diatas meja disamping ranjang tersebut, kemudian menyuguhkannya pada perempuan beralis tebal itu.
Sivia menyambutnya lalu meneguknya penuh nafsu karena memang Ia sangat begitu haus saat ini, Alvin tersenyum manis dan mampu menohok hati Sivia saat melihat senyuman termanis itu. Senyuman termanis yang saat ini hanya untuknya dan saat ini juga telah menjadi miliknya. Senyuman dari seorang Phalvin Sena, suaminya.
Tatapan itu beradu, mencoba saling mengutarakan perasaan yang kini sama diantara keduanya. Perasaan yang tanpa mereka sadari telah tumbuh dan berkembang sangat begitu cepat. Kelegaan dan kejujuran perasaan masing-masing telah tersampaikan, dan itu artinya mereka akan memulainya semua dari awal, dengan nyata, pasti dan sesungguhnya tanpa kebohongan serta permainan yang menyelimuti.
"Kau masih mencintai, Zeva?" Sivia bergumam dengan suara yang tertahan, seperti hanya lirihan kecil. Ia takut, takut menyinggung perasaan Alvin. Atau bahkan takut membuat Alvin mengira Ia meragukan Cinta dari lelaki itu.
Alvin hanya menatap Sivia sendu, lalu mengambil posisi duduk disamping perempuan itu. Perempuan yang telah resmi Ia miliki saat ini, maksudnya telah resmi bukan hanya sekedar dari status melainkan juga hatinya. Ia telah memiliki perempuan ini seluruhnya dan seutuhnya. Jari-jari kokohnya meraih tangan Sivia, lantas menggiring telapak tangan lembut Sivia tepat didadanya.
Sivia meneguk ludahnya susah, seraya menatap sepasang mata biru pucat itu begitu kentara. Tatapan itu beradu, seakan-akan mampu menghanyutkan Sivia, yang saat ini wajahnya telah sangat merah merona. Alvin begitu tampan dengan mata biru pucat dan sipitnya, wajahnya oriental juga tenang penuh misteri benar-benar membuat Sivia terhipnotis. Bukan, bukan terhipnotis dalam arti lain. Tapi Ia terhipnotis dengan alami, alami karena perasaan keduanya.
"Apa yang kau rasakan disana? jika kau merasakan dia berdetak disana begitu cepat dan bahkan lebih cepat dari sebelumnya berarti aku hanya mencintaimu tanpa yang lain didalamnya. Karena hidupku bergantung pada mu, jantung ku tergantung cinta mu." Sivia tertunduk, mengalihkan wajahnya kini benar-benar memanas menahan malu campur senang. Ya Tuhan, bisakah Alvin tidak seromantis ini padanya. Apa? Romantis? Hey, bukankah ini hanya perlakuan biasa? Ah, entahlah Sivia merasa ini sudah lebih dari cukup untuk membuktikan. Ia mencintai Alvin, itu tandanya Ia harus mempercayai Alvin.
"Zeva memang masa lalu ku, dan aku bahkan tidak akan bisa melupakan kejadian yang lalu begitu saja apalagi dengan kesalahan terbesar ku yang terus-menerus menghantui tanpa ampun. Tapi aku percaya, dengan mu semuanya akan lebih ringan untuk ku. Hanya dengan melihat mu tetap disisi ku." Alvin meraih kepala Sivia, lalu mencondongkan kepala cantik perempuan itu mendekat kearahnya. Kecupan kecil Ia daratkan pada kening Sivia, dan perempuan itu hanya menikmatinya dalam diam. Menikmati setiap kecupan-kecupan kecil itu yang mampu membuatnya melayang, kecupan itu turun pada pucuk hidungnya. Sivia membuka matanya, Alvin tersenyum namun masih bertahan menempelkan bibir seksinya tepat pada pucuk hidung Sivia.
Sekian detik, Ia melepaskannya tapi hanya berjarak 2 centi dari wajah Sivia, benar-benar begitu dekat, sampai-sampai desahan nafas keduanya berbaur menjadi satu. "Sudah lama aku tidak mengecup pucuk hidung mu, kau sepertinya menginginkannya lagi." Sivia tersentak kemudian mendorong tubuh Alvin agar menjauh darinya.
"Jangan menggoda ku." Balas Sivia matanya berubah tajam, itu hanya aksi untuk menghilangkan rasa malu juga kesan nervous yang sejak tadi menderanya.