"Tak ada yang bisa menebak, bagaimana akhir dari sebuah pertemuan."
***
Ciiiiiit ....
Suara derit roda mobil Heksa membuat murid-murid yang berjalan kaki di sekitarnya sontak menyingkir. Cowok itu tidak mengurangi kecepatan mobilnya meski ia sudah memasuki gerbang utama Rising Dream.
Heksa membuka kaca jendelanya. Ia meneriaki teman-temannya di depan tangan kirinya yang dibentuk menyerupai corong. "Minggir kalian. Gue mau lewat. Beri jalan pada pangeran SMA Rising Dream ini!" bentak Heksa pada sekumpulan murid kelas XII yang menghalangi jalannya.
Tak peduli meski mendapat lirikan tajam dari murid-murid itu, Heksa segera menepikan mobilnya di area parkir milik para guru. Kebiasaan. Walau ujung-ujungnya nanti pasti kena semprot Pak Broto.
"Waktu tersisa lima belas menit lagi," ucap Heksa, dinadakan seperti suara dingin Chef Juna yang membuat para peserta jadi terburu-buru menyelesaikan masakannya.
Cepat-cepat Heksa turun dari mobil, lalu terdengar bunyi "pip" dua kali saat ia menekan bulatan merah pada remote mobilnya.
Tok ... tok ... tok ....
Heksa yang baru melangkah menjauhi mobil terpaksa berbalik lagi begitu mendengar suara aneh dari balik punggungnya.
"Astagfirullah!" Heksa menjerit ketakutan.
Ia sampai terjungkal ke belakang saat mendapati sosok gadis beraura suram duduk di kursi pengemudi. Hanya terlihat bagian matanya karena wajah gadis itu terhalangi rambut panjang yang tampak berantakan.
"Gawat, gue lupa kalau tadi berangkat sama si Zombie." Sembari merapal doa, Heksa membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Pijar turun.
"Kok lo tahu-tahu udah di kursi gue, sih? Terus, kenapa rambut lo berantakan kayak gitu?" Heksa segera menjaga jarak saat gadis itu turun dari mobilnya.
"Tadi lo kenceng banget nyetirnya, Sa. Rambut gue jadi acak-acakan gini," jawab Pijar sembari menyisir rambutnya dengan jari jemari.
Heksa berdecak sekali, lalu mendekati gadis itu. "Aaa, bodo amat, gue buru-buru!" tukasnya galak. Sebelum memelesat pergi, Heksa sengaja menjaili Pijar dengan mengacak-acak rambut gadis itu. "BYE!"
Bukannya marah, sudut-sudut bibir Pijar malah tertarik ke samping. Gadis itu tersenyum. Namun, efeknya membuat murid-murid yang melewatinya langsung bergidik ngeri. Beberapa dari mereka bahkan cepat-cepat berlari menuju kelas masing-masing.
Dengan rambut yang masih berantakan dan kulit pucatnya, senyuman khas gadis itu tampak seperti seringai di mata orang-orang yang melihatnya.
Sementara itu, terjadi kehebohan di kelas XI Bahasa.
Siapa lagi biang keroknya kalau bukan Heksa?
Begitu masuk kelas, cowok itu langsung menghambur ke arah Andre yang ternyata sampai tertidur di meja setelah menunggu sahabatnya yang tak datang-datang itu.
"Ndre, Ndre! PR lo mana!" Heksa mengguncang-guncang pundak cowok itu.
Andre mengangkat wajahnya yang disandarkan di meja. Matanya mengerjap-ngerjap bingung. "Tadi dipinjem siapa, ya?" Telunjuk Andre terarah ke bangku di barisan depan.
"Kerjaan Hamka nih, pasti! Dia, kan, langganan pinjem PR lo." Heksa mendumel sendiri. Yang dipinjam PR-nya Andre, tapi ia yang kesal.
Ia menyerbu ke meja Hamka, lalu serta-merta menyambar buku PR Andre meskipun temannya itu masih sibuk menyalin jawaban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happy Birth-Die 2
Teen FictionAndre Oktovian, yang memiliki kemampuan bisa melihat jodoh orang, akhirnya melihat jodoh masa depannya, yaitu Ginny. Karena tidak ingin hal itu terjadi, Andre berusaha untuk menggagalkan takdir tersebut, dan menghalangi Pijar (yang juga punya kekuat...