Chapter 12: Perdebatan

659 88 11
                                    


"Pasti banyak penghalang. Tapi, pejuang harus tetap siap untuk berjuang!"

***

"Lo beneran nggak mau ngabarin Heksa?" tanya Andre kepada Pijar ketika keduanya berada di perjalanan menuju lokasi resepsi Jose dan Cath.

Pijar termenung sesaat, lantas menggeleng ragu. "Nggak usah. Kan, kali ini petunjuknya dari lo, Ndre. Gue bahkan cuma lihat tahun sama bulan kematiannya Cath. Tapi, nggak tahu apa penyebabnya dan di mana lokasinya. Jadi, gue butuh bantuan lo."

"Ya, lo sih, bilang nggak papa bisa nyante gitu. Ntar ujung-ujungnya gue juga yang kena," tanggap Andre sembari memberengut. "Nggak kebayang kalau dia tahu nggak dilibatin di misi kali ini. Pasti mencak-mencaknya sama gue, dah."

"Soalnya setahuku hari ini Heksa juga ada jadwal anter papanya check up. Kabarnya papa Heksa akhir-akhir ini sering kecapekan sampai hampir pingsan," Pijar menjelaskan sambil tertunduk sendu.

"Hmmm. Ya udah, ntar kalau dia ngamuk biar gue yang urus." Andre mencoba menenangkan gadis itu.

Lagi-lagi Pijar hanya diam. Terkadang Andre memergoki ekspresi canggung atau sungkan yang ditunjukkan gadis itu ketika berbicara dengannya. Tidak seperti yang Andre lihat saat Pijar ada di dekat Heksa, keduanya seperti tak pernah kehabisan bahan obrolan.

Dreeet ... Dreeet ....

Andre langsung menepikan mobilnya begitu mendengar getaran ponselnya di dasbor. Ia mendengkus jengah dan langsung menyandarkan bahunya ke kursi.

Mom.

"Bentar ya, Jar." Andre memperlihatkan layar ponselnya ke Pijar. Ia meminta izin ke luar mobil untuk menjawab panggilan itu.

"Ndre, kamu di mana?" tanya mamanya to the point begitu mendengar suara putranya. Sebelum Andre sempat merespons, wanita itu kembali berkata dengan terburu-buru.

"Ntar siang Ginny sama papanya mau ngajak lihat-lihat gaun di butik. Ini Mama masih di kantor, ngawasin pegawai yang nge-handle wedding Jose sama Cath. Jadi, selesai Mama kerja ...."

"Aku nggak bisa, Ma." Tanpa basa-basi Andre langsung memotong.

"Ndre!" bentak Juwita. Ia pening menghadapi sikap putranya yang akhir-akhir ini sering memberontak. "Kamu sampai kapan mau kayak gini ke Mama?"

Andre mendengkus. Sorot mata teduh nan bersahabatnya yang biasa, seketika sirna. "Sampai Mama dan Tukang Tipu itu pisah, baru Andre bakal jadi anak penurut lagi!"

Tut ... Tut ... Tut ....

Pintu kemudinya yang tidak tertutup rapat membuat Pijar dapat sedikit mencuri dengar bentakan lelaki itu. Ia langsung menunduk begitu Andre masuk lagi ke mobil. Selama beberapa saat, Pijar sengaja diam untuk memberi kesempatan Andre menenangkan diri.

Akan tetapi, cowok itu tiba-tiba menoleh cepat ke arahnya. Dengan sorot tak bersahabat, Andre ingin meminta timbal balik sebelum benar-benar membantu Pijar menyelesaikan misinya.

"Apa kematian Ginny beberapa bulan lagi?" tanya Andre. "Gue mau nolongin dia juga." Untuk kali pertama, Andre berdusta kepada gadis itu. Ada rasa sesak dan bersalah saat melihat keluguan sorot mata Pijar.

Pijar langsung mengangkat wajahnya. Ia menatap Andre dengan berbinar. "Bulan ini. Apa lo mau nolongin dia juga?"

Cowok itu mengangguk tanpa ragu. Membuat Pijar semakin terpengaruh dan meyakini bahwa Andre benar-benar ingin menyelamatkan Ginny.

"Karena apa?" Dengan suara lembut, Andre kembali bertanya. "Sakit atau hal lain?"

Bahu Pijar naik-turun. Kulit putihnya tampak semakin pucat ketika ia berusaha mengingat cuplikan kematian orang lain.

Happy Birth-Die 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang