Chapter 16: Pertempuran

517 82 6
                                    

Absen dulu yuk!!!

Komen hadirrr yang udh gak sabar!

***

"Tersenyum paling lebar, tetapi ternyata memendam luka yang teramat besar."

***

Malam ini lagi-lagi Andre berusaha menyibukkan diri dengan belajar. Rumahnya semakin sepi. Dan, terasa kosong.

Semenjak mamanya menjalin hubungan dengan papa Ginny, ia merasa kurang diperhatikan.

Sekarang sudah menunjukkan pukul tujuh malam, tapi mamanya belum juga pulang. Padahal, semenjak orang tuanya bercerai dan Andre hanya hidup bersama Mama juga adiknya, dulu mereka tidak pernah melewatkan jam makan malam.

Semua berubah setelah sang mama mengenal Dedi, papa Ginny. Sekali dua kali Andre bisa memberi toleransi. Namun, hari ini tepat seminggu mamanya menghabiskan waktu makan malam di luar.

Andre bosan belajar dan akhirnya memangkas waktu dengan merakit mainan action figure-nya. Berjam-jam menghabiskan waktu sendirian bukan hal baru bagi cowok itu.

"Mas Andre ...."

Mbok Giyem mengetuk pintu dengan sopan. "Sudah jam berapa ini, kok, belum makan?"

Andre melirik jam dindingnya, lalu menatap tanpa minat makanan yang dibawa Mbok Giyem. "Aneh ya, Mbok? Udah jam sebelas, tapi Andre belum laper."

"Jangan-jangan Mas Andre ngerakit itu sambil nyemilin dikit-dikit, ya? Makanya, nih, banyak yang bolong."

Andre sedikit terhibur dengan candaan Mbok Giyem. "Ini memang buat ngerakitnya, harus dilepas-lepasin dulu dari kotaknya, Mbok."

"Owalah. Itu kayak mainan cucu Bibi di kampung. Kalau di depan sekolahnya, kayaknya harganya sepuluh ribuan, Mas. Dari dulu Mas Andre ini emang sederhana, ya. Mainannya sama kayak cucu saya di kampung, lho."

Menanggapi itu Andre hanya tersenyum tipis. Faktanya mainan yang ia beli dengan sistem pre-order itu, harganya mencapai jutaan rupiah. Diimpor langsung dari Jepang.

"Ya udah, Mas. Buruan dimakan, ya. Atau, kalau Mas Andre pengin makan yang lain, bilang aja. Nanti Mbok masakin lagi."

"Makasih, Mbok," ucap Andre sopan sebelum kamarnya kembali terasa sepi.

Benar ternyata. Menunggu jadi tidak terasa menjemukan ketika melakukan hal yang disukai. Andre bahkan tidak menyadari ia sudah duduk di lantai kamarnya yang dilapisi karpet tebal sambil merakit action figure-nya selama hampir empat jam.

Ke mana mamanya? Mana Mama tidak memberi kabar. Sungguh, rasanya Andre kehilangan sosok sang mama yang selama ini menemani hari-harinya.

"Kak Andre!"

Aura mengintip takut-takut dari celah pintu kamar Andre yang terbuka. Adik perempuan Andre itu sepertinya sulit tidur. Dulu Mama selalu menemani anak-anaknya tidur.

"Ini udah jam berapa? Anak SD mau bergadang ngapain?" tanya Andre yang langsung menggendong adiknya ke ranjang. Duduk di sebelahnya.

"Mau telepon Bang Heksa."

Andre seketika melongo. "Ha? Ngapain mau telepon Heksa? Lagian, tu bocah pasti udah molor. Kalau nggak ada PR, dia nggak ngerusuhin gue malem-malem."

Aura merengek. Menarik-narik ujung kaus Andre. "Aaa, bentar doang, Kak. Aura mau tanya soal bola. Kak Andre, kan, nggak suka bola. Jadi, pasti nggak tahu."

Kalau sudah merengek seperti ini, Andre mana tega. Terpaksa, ia menelepon Heksa dan langsung mendapat semprotan dari si pemilik nomor.

"LO TAU INI JAM BERAPA, HA? Gue udah bobok ganteng malah digangguin."

Happy Birth-Die 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang