CHAPTER 19: MENYESAKKAN

653 76 0
                                    


Orang-orang yang tenggelam, sering kali tidak terlihat. Seolah tak kasatmata, padahal banyak manusia di sekelilingnya. Hingga tersisa buih-buih di permukaan yang perlahan menghilang bersama jiwa yang turut melebur di dalam air.

***

Langkah Andre tertahan. Ada yang mendahuluinya.

Heksa.

Benar .... Itu Heksa!

Tiba-tiba saja Heksa datang berlari menerobos pintu, lalu melompat turun ke kolam. Byur!

Suara dari arah kolam sontak membuat orang-orang di sana tersadar. Hansamu dengan sigap melompat ke kolam. Melihat Heksa kesulitan menangkap tangan Ginny, ia turut membantu mendorong tubuh gadis itu agar naik ke permukaan.

"Bisa-bisanya gue nggak sadar kalo Ginny masih di kolam." Willy menggaruk tengkuknya panik. Ia berdiri di pinggir kolam sembari mengamati situasi. Kalau-kalau dibutuhkan, Willy siap membantu.

Pak Dendy langsung menghubungi rumah sakit dan meminta ambulans segera dikirim.

Heksa dan Hansamu berhasil membawa tubuh Ginny ke permukaan. Keduanya berusaha sekuat tenaga untuk menaikkan gadis itu ke pinggir kolam. Rasanya sungguh sangat berat.

Heksa yang punya tenaga seperti badak itu pun sampai nyaris menyerah. Tangannya sangat pegal ketika menggendong Ginny bersama Hansamu menuju pinggir kolam.

"Ya Tuhan, Ginny ...."

Pak Dendy serta Willy menarik tubuh gadis itu, lalu membaringkannya ke pinggir kolam. Guru Olahraga itu berusaha memberi pertolongan pertama. Namun, tak ada pertanda baik. Ginny masih terbujur kaku dengan tubuh yang membeku seperti es.

Sementara itu, Andre hanya bisa menatap tanpa daya. Dia merasa tidak berguna. Merasa usaha Pak Dendy tak ada hasil, Heksa kembali membungkuk, lalu menggendong Ginny ke luar area swiming pool. Cowok itu sama sekali tidak mengacuhkan Andre. Heksa berlari menyusuri koridor. Disusul Willy bersama Hansamu di belakangnya. Air menetes meninggalkan jejak kaki Heksa yang basah. Sementara, Pak Dendy menyusul dan segera menyalip paling depan. Mencari ruang agar murid-murid menepi ketika mereka melewati koridor. Andre hanya bisa mengekor di belakang rombongan itu.

"Sial. Mulai pegel tangan gue." Heksa menggerutu, tapi suaranya sampai ke Willy.

"Lo mau sampai kayak gini, pasti karena udah janji ke Pijar, kan?" bisik Willy sembari mempercepat larinya agar sejajar dengan Heksa. "Lo emang cowok sejati, Men ...."

"Man ... Men ... Man ... Men .... Coba aja kalau tadi lo nyadar duluan, pasti nggak kayak gini ending-nya. Ini nyawa orang, Bro!"

Willy terengah-engah. Murid-murid yang masih berada di sekolah tentu terheran-heran melihat rombongan berbaju renang itu, kecuali Heksa yang masih memakai seragam. Ada kejadian apa lagi?

"Itu ambulans-nya datang."

Beruntung ketika sampai di lapangan, petugas ambulans langsung sigap mendatangi mereka. Heksa membaringkan tubuh Ginny ke ranjang beroda.

Salah seorang petugas rumah sakit menoleh sebelum menutup pintu belakang mobil.

"Ada yang mau ikut bersama kami?"

Willy menyikut Heksa. "Ini, nih. Dia yang tadi nolongin Ginny. Sana, Sa. Bareng ambulans aja."

"Ini mobil ambulans yang juga dipakai buat jenazah?" tanya Heksa polos. Wajahnya memucat. Ia bergidik ngeri, lalu bergeser ke samping Willy. "Lebih baik Pak Dendy saja. Beliau guru mata pelajaran Olahraga sekaligus orang yang paling bertanggung jawab atas kejadian ini."

Happy Birth-Die 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang