Aku selalu menomorsatukan orang lain. Tetapi, sekali saja aku memperjuangkan apa yang aku mau, mereka menganggapku egois.
***
Dua sosok cowok tampan yang masih berseragam SMA, tampak sangat panik ketika memasuki rumah sakit. Keduanya berlari menghampiri meja resepsionis untuk mengetahui keberadaan Ginny. Tadi, saat dalam perjalanan menuju rumah sakit, Heksa mendapat kabar kondisi Ginny menurun.
"Astaghfirullah!" Heksa melompat mundur bersembunyi di belakang Willy.
"Apa sih, lo. Jangan malu-maluin, dah."
Heksa memalingkan wajah. Ia terjingkat kaget karena baru saja berpapasan dengan beberapa perawat yang mendorong ranjang pasien dengan penutup kain putih.
"IGD belok kanan, Sa." Willy menunjuk papan petunjuk arah.
Keduanya melangkah beriringan menuju Ruang IGD yang ada di dekat gerbang belakang rumah sakit. Begitu sampai di Ruang IGD, Heksa dan Willy mencari-cari Pak Dendy di antara beberapa penunggu pasien yang duduk di pinggir koridor. Guru mereka itu tidak tampak di mana-mana, mungkin sedang mengurus administrasi atau apa. Willy menghampiri seorang perawat yang baru keluar dari IGD.
"Kata perawat, sebentar lagi dipindah ke ICU, Sa. Kudu dipasang alat bantu oksigen ... apa, tuh, namanya ...."
"Ventilator?"
Willy mengangguk memberi informasi yang didengarnya dari perawat. "Terlalu banyak air yang masuk. Jadi, harus ada penanganan khusus. Sampai sekarang Ginny belum sadar."
Heksa berjongkok. Mengacak-ngacak rambutnya dengan frustrasi. "Arrrgh! Acute Respiratory Distress Syndrome!"
Willy cuma diam karena tidak mengerti. Namun, ia urung bertanya. Takut melihat Heksa makin frustrasi.
"Dia kelamaan di dalam air. Lo tahu air kolam renang ada kaporitnya, kan? Kalau banyak yang masuk ke paru-paru, bahaya. Dia kena gangguan pernapasan berat."
"Tapi, masih bisa selamat, kan? Duh, Andre mana, nih, sebagai cowoknya? Mestinya dia nyusul ke sini, kan, meskipun abis ribut sama elo?" tanya Willy karena tak tahu harus berkomentar apa. Willy masih saja kaget dengan kegeniusan Heksa yang tiba-tiba muncul, walau ia juga tahu betul sejak kecil, Heksa sudah terbiasa dengan bahasa-bahasa medis karena orang tuanya dokter.
"Mana gue peduli sama Andre. Soal Ginny, selamat atau nggak?" Heksa mengulang pertanyaan Willy. Sahabatnya itu mengangguk sekali. "Lo kira gue Tuhan? Prediksi dokter aja bisa salah, apalagi gue yang sehari-hari sibuk ngurusin wajah tampan gue ini."
Willy menghela napas panjang. Nyesel tanya Heksa. Tahu gitu, diam saja sambil berdoa agar segera mendengar kabar baik.
"Lo mau ngopi dulu, Sa? Atau, cari udara seger sono. Muke lu stres berat. Kayak ikan cupang ketemu rivalnya."
Karena Heksa masih tak bergerak, Willy mendorongnya pelan. "Jarang-jarang, nih, gue baik. Biar gue di sini aja, kali-kali Andre datang. Sana pergi, sebelum gue berubah pikiran, ya."
"Telepon gue kalau ada kabar terbaru!" Heksa berpesan sebelum beranjak dari Ruang Tunggu IGD.
Sebenarnya, Heksa bukannya tidak mau mencari udara segar. Masalahnya, berjalan sendirian di lorong rumah sakit baginya cukup menegangkan. Apalagi, kalau pas tidak ada barengannya. Kalau lagi apes, salah satu koridor yang ia lewati bisa benar-benar sepi. Lalu, akhirnya Heksa memilih lewat jalur lain meski sedikit lebih jauh.
Tujuan awal Heksa adalah kantin. Niatnya mau beli es kopi vietnam. Namun, ia takut ada yang sirik dengan ketampanannya, lalu menuangkan racun dalam minumannya. Eh, tapi di kantin mungkin tidak tersedia menu kopi vietnam. Heksa mengada-ngada saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happy Birth-Die 2
Teen FictionAndre Oktovian, yang memiliki kemampuan bisa melihat jodoh orang, akhirnya melihat jodoh masa depannya, yaitu Ginny. Karena tidak ingin hal itu terjadi, Andre berusaha untuk menggagalkan takdir tersebut, dan menghalangi Pijar (yang juga punya kekuat...