Chapter 11: Dipertaruhkan

591 89 4
                                    



"Kenangan buruk tak bisa dihapus. Hanya penerimaan yang bisa mengobati luka pahit di masa lalu."

***

Biasanya Minggu pagi begini, Andre sudah bersiap joging. Atau bersepeda, nge-gym, apa pun itu yang bertujuan menyempurnakan roti sobeknya, otot-otot di dada dan perutnya. Ia berambisi ingin menandingi Heksa yang memiliki tubuh bugar dengan otot-otot terbentuk. Sementara ini, tubuh Andre sudah lumayan, meski belum terlalu tampak.

Akan tetapi, karena semalaman ia tidak bisa tidur, kini Andre masih membungkus tubuhnya di balik selimut. Padahal, sinar matahari yang cukup terik sudah menerobos jendela kamarnya.

Jam sembilan pagi.

Untung subuh tadi mamanya sudah berangkat bekerja. Weekend banyak acara penting yang membutuhkan katering mamanya. Kalau tidak, Andre pasti kena omel karena bermalas-malasan di kamar.

"Mas Andre ... Mas ...."

Suara ketukan disertai panggilan dari asisten rumah tangannya itu membuat Andre menekan bantal ke telinga.

"Dicari temennya tuh, Mas." Mbok Giyem Bi Sul mengetuk-ngetuk pintu kamar Andre dengan sabar. "Mas, kasihan temennya nunggu di luar."

Andre membuka selimut. Ia beranjak malas-malasan dari ranjang, menyambar kaus yang tersampir di kursinya sebelum ke luar kamar. Maklum, kalau tidur ia lebih suka bertelanjang dada.

Akan tetapi, biasanya pakaiannya terlipat rapi di lemari atau digantung di pintu kamar. Gara-gara kejadian semalam, sepulang dari ulang tahun Ginny, mood-nya hancur. Setelah melepas pakaian sembarangan, Andre langsung mengempaskan tubuh ke ranjang.

"Nggak cuci muka dulu, Mas?" Mbok Giyem menyodorkan nampan yang dibawanya dan menawarkan lelaki itu segelas susu hangat.

Andre menyeruput susunya sambil berjalan. "Alah, paling juga si sableng, kalau nggak Willy, kan? Ngapain dan— Astaga!" Baru saja Andre sampai ruang tamu, ia memelesat kembali ke ruang TV. Ia menatap Mbok Giyem yang baru menerima gelas susu Andre. "Gue masih tidur, ya, ini? Kok gue ngimpi lihat bidadari ada di ruang tamu?"

Mbok Giyem terkekeh kecil. "Mas Andre mau saya cubit biar percaya?"

Napas Andre ngos-ngosan. Ia segera berlari ke cermin yang tergantung di dinding ruang TV. Menatap pantulan dirinya yang tampak mengerikan dengan rambut tidak tertata dan wajah mengilat seperti perasan minyak dari gorengan kaki lima.

"Astaga, kayak gembel gini. Mana tadi Pijar udah sempet nengok dan lihat gue," desah Andre meratapi wajahnya sendiri. "Ah, gara-gara Mbok Giyem, nih! Tadi nggak ngasih tahu saya dulu kalau tamunya cewek." Ia kembali mengomel. Memang paling enak melimpahkan kekesalan kepada orang lain.

"Lah, kan, tadi saya sudah ngingetin Mas Andre buat cuci muka dulu. Eeeh, Mas Andre bilang nggak usah," tanggap Mbok Giyem tak ingin disalahkan. "Pacarnya Mas Andre, ya? Kok panik gitu kelihatannya. Eh, Mas, kalau sama pacar, mah, harus apa adanya. Biar kita tahu—"

"Bukan pacar saya, Bi, pacarnya Heksa!" Andre menyahut sebelum Mbok Giyem selesai berpetuah.

Bukannya merasa tak enak, Mbok Giyem malah semakin menggoda. "Nggak ada niatan buat nikung, Mas? Eh, tapi, tadi Mbok Giyem agak merinding awalnya. Kirain kuntilanak, Mas, soalnya serbaputih gitu pakaiannya. Tapi, setelah saya pikir-pikir, masa kuntilanak ngapel pagi-pagi gini?"

Bahu Andre melemas. Ia melengos tak peduli, lalu cepat-cepat membasuh wajahnya di wastafel dan membasahi sedikit rambutnya dengan air. Paling tidak, sudah memunculkan efek glowing.

Happy Birth-Die 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang