Chapter 14: Menyembunyikan

578 85 4
                                    


Jika takdir sudah berkehendak, mustahil manusia menolak.

Sekilas, kematian terasa berjarak.

Kau tak pernah tahu, jika pijar lilinmu lama-kelamaan tak lagi tampak.

Dan segalanya, berhenti berdetak.

***

"Konjungtivitis, infeksi mata. Bisa karena terlalu lama terpapar asap kebakaran tadi atau masuknya bakteri lain." Dokter Arhan menghela napas sejenak sebelum menjelaskan lebih detail. "Kondisinya masih seperti tadi. Tapi, kami sudah membalut matanya agar tidak terkena radiasi atau terinfeksi bakteri lainnya. Dia butuh dirawat sampai penglihatannya kembali normal. Saya yakin, dengan rutin memberi vitamin dan obat-obat lainnya, dia akan berangsur membaik."

"Radang mata biasa, kan? Bukan keratitis?" Heksa menyebutkan istilah yang membuat Andre dan Willy bertatapan bingung.

Meski nilai-nilai rapornya tidak lebih bagus dari kedua kawannya, tapi Heksa yang besar di keluarga dokter cukup mengenal beberapa istilah medis yang terdengar asing di telinga orang biasa. Keratitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada kornea mata, efek dari konjungtivitis yang tidak ditangani dengan baik.

"Bukan, bukan. Ini hanya radang biasa. Bukan radang yang menyerang kornea matanya. Seharusnya nggak sefatal ini dampaknya. Tapi, memang setiap orang, punya sensitivitas masing-masing. Dalam kasus Pijar, matanya," jawab Dokter Arhan berusaha menenangkan.

Heksa celingak-celinguk. Kalah cepat. Andre sudah memelesat masuk ke kamar Pijar, tentu seizin Dokter Arhan.

"Sial!" umpat Heksa. Ia tak bisa berbuat apa-apa selain menunggu Andre ke luar dari sana karena ada petugas yang menjaga di depan pintu IGD.

Ditemani Willy, Heksa menunggu beberapa saat sampai akhirnya Pijar dipindahkan ke ruang rawat kelas VVIP. Tentu berkat kesultanan Heksa, gadis itu bisa mendapat fasilitas terbaik dari rumah sakit.

Andre duduk di sofa. Tatapannya tak lepas memandangi gadis yang terbaring di ranjang itu. Sementara Heksa baru saja keluar kamar begitu mendapat notifikasi pesan dari sang mama. Willy pamit ke kantin sebentar karena sejak siang tadi perutnya belum diisi.

"Jar? Lo dah bangun?" tanya Andre lembut. Senyumnya mengembang ketika melihat Pijar mengangguk.

Andre yang melihat Pijar meneguk ludah berulang kali, mengira gadis itu haus. Tanpa perlu menawarinya dulu, ia segera mengambil segelas air di atas nakas. Membawanya mendekati Pijar sebelum tiba-tiba gadis itu bertanya dengan suara lemah.

"Cath? Dia selamat, kan?"

Bahu Andre melemas. Ia mundur selangkah, meletakkan kembali gelasnya, lalu menggeser kursi mendekati ranjang Pijar.

"Jar ...."

Sembari mengulur waktu, Andre mencari cara terbaik untuk menjelaskan keadaan Cath dan Jose pasca-kebakaran. "Lo percaya nggak, kalau pasti akan ada seseorang yang jadi malaikat pelindung kita dan selalu jagain kita dari bahaya di dunia ini. Entah siapa pun itu ...."

Pijar meremas seprai ranjangnya, mulai ketakutan mendengar kalimat pembuka Andre.

"Cath selamat, tapi Jose sekarat."

Deg!

Tangan Pijar yang mencengkeram seprai terlepas. Harapannya musnah.

Bagaimana bisa malah Jose yang celaka?

"Itu berarti penglihatan lo salah, Ndre?" tanya Pijar setelah rasa sesaknya perlahan hilang. "Lo bilang yang celaka Cath, kan?"

"Penglihatan gue nggak pernah salah, Jar." Andre memberi jawaban ambigu. Ia bersandar ke kursi sembari menatap Pijar dengan tangan terlipat.

Happy Birth-Die 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang