Chapter 13: Kenyataan

519 76 2
                                    



Yuhuu, absen duluu....

***

"Bahkan, kekacauan bisa saja terjadi meski rencana sudah tersusun rapi."

***

Heksa yang mendapat kabar dari Andre, langsung tancap gas menuju rumah sakit. Begitu bertemu Andre, lelaki itu nyaris saja memelesatkan tinjunya ke wajah Andre. Namun, untungnya Willy yang datang bersama Heksa menjadi penengah di antara perseteruan dua sahabatnya itu.

"Lo kalau nggak bisa tanggung jawab, nggak usah sok bantuin Pijar, Ndre!" Heksa mengepalkan tangan.

"Sabar, Sa. Sabar. Andre juga pasti udah berusaha maksimal buat lindungin Pijar." Willy menarik bahu Heksa agar menjauh dari Andre.

"Haisssh!" Heksa meraup wajahnya sendiri. "Lagian, Pijar kenapa nggak telepon gue, sih?"

Willy meminta Heksa duduk sembari bersandar pada dinding agar lebih tenang. "Ya, mungkin Pijar tahu beberapa hari ini bokap lo, kan, agak menurun kesehatannya. Pijar pasti kepikiran juga."

Andre tak tahu harus berkomentar apa. Bahkan, maaf yang sudah ia sampaikan berkali-kali tak akan membuat Heksa mengampuninya. Ia tersentak saat mendengar ponselnya berdering. Lalu, menyingkir dari kedua sahabatnya ketika melihat nama si penelepon. Sementara, Heksa dan Willy berjaga di depan IGD selama dokter memeriksa Pijar.

"I ... ya, Ma? Kenapa?" tanya Andre tanpa basa-basi.

"Ndre ... Kamu udah tahu kalau gedung resepsi Jose sama Cath kebakaran?"

"Hah? Kok bisa, Ma?" Andre pura-pura terkejut.

"Ada korsleting listrik. Situasi di sana kacau banget, Ndre." Suara Juwita terdengar lemah.

Andre berusaha memilah kata agar mamanya tak curiga. "Mama udah dapet kabar dari kantor belum? Keadaan mempelai sekarang gimana?"

Lama terdiam, Juwita hanya bisa menghela napas panjang. Melepaskan rasa sesak di dadanya sebelum merespons Andre dengan suara parau, "Cath selamat, tapi ...."

Andre bersandar ke dinding. Lega bukan main. Namun, detik berikutnya, ia seolah kembali diingatkan bahwa mustahil takdir berada dalam kendali manusia. Kepalanya mulai pening.

Suara mamanya dari seberang memanggilnya berulang kali. Namun, di mata Andre, apa pun yang ada di sekitarnya mengabur. Telinganya juga hanya mampu menangkap samar-samar suara yang bersahutan dari kanan-kirinya. Ia mendongak dengan mata memejam. Berusaha menyingkirkan segala imajinasi buruk yang melintas di pikirannya.

"Ndre? Lo kenapa?" tanya Willy cemas. Ia menggoyang-goyang panik bahu Andre saat melihat temannya itu merosot ke lantai dengan ponsel yang masih tergenggam.

Heksa yang berada di depannya juga terlihat cemas. Namun, ia gengsi sehingga hanya melirik Andre diam-diam.

"Nggak mungkin ...." Andre menggeleng-geleng, panik sendiri. "Nggak, nggak mungkin." Bibirnya terbuka, mengucapkan sesuatu tanpa suara.

Selanjutnya, dari mulut Andre hanya terdengar gumaman-gumaman yang tak dapat dimengerti Heksa maupun Willy.

Cath selamat. Tapi, Jose mengalami luka bakar serius, 85%. Dia masih menjalani perawatan intens dan belum sadar sejak dibawa dari gedung tadi. Cath kelihatan bener-bener terpukul, Ndre, karena kemungkinan Jose selamat kecil.

Cerita singkat dari mamanya sukses membuat kepala Andre semakin pening. Matanya berkunang-kunang.

Gimana bisa? Gimana bisa gue sama Pijar berjuang mati-matian nolong Cath, tapi ternyata malah Jose yang celaka?

Andre menenggelamkan kepala di balik lutut. Ia menunduk dalam-dalam. Tangannya meremas kepalanya sendiri seperti orang frustrasi. Di dalam hati lelaki itu membenarkan semua ucapan Heksa.

Lemah, tidak tegas, dan sering kali gagal ketika menawarkan diri untuk membantu Pijar.

Ceklek ....

Andre menoleh. Heksa langsung pasang wajah siaga. Willy juga tak kalah sigap. Begitu mendengar suara pintu IGD yang terbuka, ketiga lelaki itu berebut menghampiri Dokter Arhan. yang memeriksa Pijar.

"Gimana, Dok? Penglihatannya nggak papa, kan?" tanya Heksa. Sesekali ia berjinjit, melongok ke pintu IGD. Berharap dapat melihat Pijar yang masih terbaring di dalam. "Kami boleh masuk?"

"Konjungtivitis, infeksi yang disebabkan paparan asap kebakaran tadi."

Ketiganya menyimak penjelasan medis dari Dokter Arhan.

"Tapi, dia pasti sembuh, kan, Dok? Penglihatannya bisa balik, kan?" tanya Heksa, tak ingin berbasa-basi. Ia hanya ingin mendengar Dokter memberitahunya bahwa Pijar baik-baik saja. Bahwa penglihatan gadis itu bisa berfungsi seperti biasanya.

Sayangnya, Dokter Arhan tak langsung memberi jawaban. Bahunya yang tegap turun melemah. Pria itu menatap satu per satu lelaki di depannya dengan mata sayu.

***

Happy Birth-Die 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang