Dering bel jam pulang sudah berbunyi, seperti apa yang dibicarakan Gilang di awal jika dia akan mengantar Alvia sampai rumah. Keduanya berada di latar parkir mencari motor Gilang.
Gilang segera menuju ke motornya yang terparkir tak jauh dari jarak mereka berdiri diikuti Alvia di belakang. Mereka diam satu sama lain, tak ada obrolan apa pun di antara mereka. Seluruh mata di area parkir pun turut ikut mengawasi mereka diam-diam.
Selesai, Gilang segera memundurkan motornya dengan memberikan helm kepada Alvia sebelumnya. Ia segera menyalakan motor dan menunggu Alvia naik ke jok belakang motornya. Perjalanan mereka hanya diisi dengan kesunyian. Baik Alvia maupun Gilang tak ada yang mau membuka suara.
Sekitar dua puluh menit kemudian, Gilang memberhentikan motor di depan rumah Alvia. Ia tersentak di depan ketika mendengar dering ponsel yang sangat nyaring. Di depan, Gilang merasakan pergerakan Alvia yang sudah turun dari motornya. Ia menerka-nerka jika ponsel yang berbunyi tadi adalah ponsel Alvia.
"Assalamualaikum. Halo, Ayah?"
Gilang terkejut ketika mendengar Alvia membalas telpon di seberang yang ternyata dari ayahnya. Dia tiba-tiba merasa merinding, bagaimana tidak, perkataan dari ayah Alvia tadi pagi yang ia kira hanya gertakan saja ternyata Alvia sendiri langsung di telpon tepat ketika dia berhenti di depan rumah Alvia.
Untung saja dia benar-benar mengantar Alvia ke rumah. Jika saja dia tadi mengajak Alvia ke salah satu tempat entah kemana bisa berbahaya untuk dirinya.
"Iya, Via baru aja nyampek, Yah." Gilang menoleh ke samping, menatap bagaimana Alvia menjawab perkataan ayahnya dengan lembut tak lupa tatapan sayang yang terpatri di wajah gadis itu.
"Ayah hati-hati, nanti Via sampaikan ke mama." Tepat setelah itu, Alvia menutup telpon dengan sang ayah dan menatap sekilas pada Gilang.
"Kok masih di sini?" tanya Alvia cuek.
"Woaahh!" Gilang berdecak berkali-kali menuding Alvia tak percaya. "Lo nggak merasa untuk ngucapin terima kasih ke gue gitu?" selorohnya.
Alvia menatap Gilang. "Kan, lo yang ngajak berangkat bareng. Lo sendiri yang ngasih tumpangan gratis ke gue," papar Alvia sembari menepuk jok belakang tempat dia duduk tadi.
Gadis itu mengangguk. "Apa jangan-jangan lo nggak ikhlas nganter gue?" selidik Alvia.
"Gue laporin ayah, nih, kalau lo nggak ikhlas nganterin anaknya." Jemari Alvia sudah bersiap untuk menelpon kembali Herlambang, tetapi Gilang mencegah tangan usil Alvia.
"Bukan nggak ikhlas, Via ...," jeda Gilang. Alvia menunggu Gilang melanjutkan kalimatnya dengan bersedekap dada. "Terus?"
Gilang berdesis, "Masa lo harus diajarin lagi macam-macam sopan santun barengan sama anak kecil!" erang Gilang mulai kesal.
Dalam hati Alvia ingin sekali tertawa kencang. Ia tau maksud dari Gilang hanya saja, dia ingin membuat laki-laki itu kesal saja. Anggap saja balas dendam karena sudah berani menuju rumahnya tanpa memberitahunya terlebih dahulu.
"Oh, jadi gue disamain sama anak kecil gitu!" seru Alvia yang mulai meninggikan suara dengan sengaja.
Ekspresi Gilang di depannya sudah benar-benar kelihatan masam sekali. Rasain, nih!
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetangga Tapi Mesra
Teen Fiction[CERITA INI DIIKUTKAN DALAM EVENT GREAT AUTHOR FORUM SSP X NEBULA PUBLISHER] "Jangan membenci seseorang terlalu dalam. Soal perasaan nggak ada yang tau ke depannya akan gimana. Awas nanti bisa berubah jadi cinta lho!" Mungkin kalimat itu sudah serin...