A one-shot story of
Na Jaemin and Choi Lia—
Jaemin mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, melintasi jalanan yang mulai sepi karena sudah memasuki waktu dini hari.
Beberapa menit sebelumnya, Jaemin menerima telepon dari kekasihnya, Lia.
Lia tidak mengatakan sepatah katapun di seberang telepon, tetapi Jaemin tahu jelas kekasihnya sedang tidak baik-baik saja.
Tanpa banyak bertanya, Jaemin segera meraih kunci mobilnya dan mengatakan pada Lia bahwa dirinya akan tiba dalam sepuluh menit. Setelahnya, panggilan diputuskan sepihak oleh Lia.
Sebenarnya, Jaemin lebih suka mengendarai motor tetapi udara malam sangat dingin. Itu akan mempengaruhi suhu tubuhnya. Jaemin tidak mau hal tersebut terjadi karena teringat perkataan Lia bahwa pelukan Jaemin itu terasa hangat dan nyaman.
Sesaat setelah sampai di gedung apartemen Lia, Jaemin segera menuju lantai unit Lia lalu memasukan passcode pintu yang merupakan hari jadi Jaemin dan Lia.
Saat Jaemin memasuki unit apartemen Lia, keadaan ruangan gelap karena seluruh lampu dimatikan.
Jaemin berjalan pelan menuju arah kamar Lia, ia sudah hafal di luar kepala seluruh letak apartemen Lia.
Jaemin membuka perlahan kamar Lia yang juga tidak terdapat cahaya sedikitpun.
"Lia?" panggil Jaemin pelan.
"Hm." sahut Lia, Jaemin menyadari suara Lia yang bergetar.
Jaemin berjalan pelan menyalakan lampu tidur yang berada di atas nakas, memberikan sedikit penerangan meski remang-remang, lalu naik ke kasur Lia.
Lia mendekat ke Jaemin. Pandangan mereka berdua bertemu.
Jaemin bisa melihat tatapan sendu Lia yang membuat hatinya sakit.
Jaemin membawa Lia ke pelukannya, meski belum mengatakan sepatah katapun namun keduanya seperti bisa saling mengerti hanya melalui tatapan saja.
Jaemin mengusap pelan rambut panjang Lia. Tidak hanya Lia yang nyaman saat berada dipelukannya, tetapi Jaemin juga merasakan hal yang sama. Jaemin merasa nyaman saat menghirup aroma tubuh Lia, seluruh penat dalam dadanya terasa seperti diangkat kemudian lenyap.
"Maaf kamu harus ke sini tengah malam," Lia akhirnya bersuara, posisinya masih berada dipelukan Jaemin.
"Nggak masalah, jangan minta maaf. Malah aku bakal marah kalo kamu gak hubungin aku," balas Jaemin lembut.
Lia menggembuskan napasnya pelan, yang masih bisa didengar oleh Jaemin.
"Aku capek. Aku ngerasa gak berguna, gak ada yang sayang sama aku." ujar Lia menumpahkan keluh kesahnya.
"Wajar kalo ada hari kamu ngerasa capek, gapapa. Itu manusiawi. Tapi jangan pernah berpikir gak ada yang sayang sama kamu selama aku masih ada." ucap Jaemin lembut.
Lia mulai terisak pelan, sekuat tenaga ia menahan tangisnya tapi tak bisa.
Selama ini hanya Jaemin yang menyayanginya sampai seperti ini, perkataan itu bahkan tidak pernah Lia dengar dari orang tuanya. Kalau bukan karena Jaemin, mungkin Lia sudah lama menyerah pada hidupnya.
Jaemin bisa merasakan Lia mengeratkan pelukannya.
Sebenarnya, meski mereka dekat dan menjalin hubungan beberapa tahun ke belakang, Jaemin merasa Lia tidak terlalu terbuka tentang masalahnya.
Meski begitu, Jaemin menahan diri agar tidak bertanya.
Jaemin menunggu Lia angkat bicara, walaupun sejauh ini hal tersebut tak kunjung terjadi. Lia biasanya hanya akan mengatakan dengan singkat yang dirasakannya bahwa ia merasa lelah, muak, kecewa bahkan membenci dirinya.
Jaemin hanya bisa memeluk dan menenangkannya, tanpa tahu apa hal yang mengganggu pikiran Lia hingga mengatakan hal yang membuat hati Jaemin ikut teriris mendengarnya.
Jaemin paling benci saat Lia mengatakan bahwa ia membenci dirinya sendiri, tidak di depan Jaemin yang sangat mencintai gadis itu.
"Lia, kamu harus selalu ingat aku saat kamu ngerasa gak ada yang sayang sama kamu. Bahkan saat kamu membenci diri kamu sendiri, aku tetap jadi orang yang paling mencintai kamu." Jaemin menjeda kalimatnya, "Kamu boleh sedih, capek, muak, kecewa atau apapun itu tapi bagi semua yang kamu rasakan sama aku. Jangan simpan sendiri, ya?"
Jaemin bisa merasakan Lia mengangguk pelan di dalam pelukannya.
"Jangan tinggalin aku, Jaemin." cicit Lia pelan dengan suara bergetar.
"Gimana bisa aku ninggalin duniaku? Kecuali kamu yang ngusir aku," balas Jaemin dengan nada bercanda.
Terdengar tawa kecil Lia, "Ngeselin, sempat-sempatnya becanda!"
Lia memukul pelan dada bidang Jaemin.
"Loh? Beneran! You're my world and my universe," ucap Jaemin lagi.
"Udahan dong, Jaem. Gombalannya gak usah dilanjutin!" protes Lia, kini ia menatap Jaemin.
Meski penerangan kamar Lia remang-remang tetapi Jaemin bisa melihat mata sembab, hidung dan pipi memerah Lia, serta tidak ketinggalan bibir yang mengerucut lucu.
Tentu saja Jaemin tidak melewatkan kesempatan emas untuk mencuri satu kecupan ringan dari bibir mungil Lia, membuat sang empunya melotot kaget dan pipinya semakin bersemu merah.
Jaemin tidak bisa menahan senyumnya, membuat Lia meraba pipinya, menyadari bahwa pasti warnanya sudah semerah tomat.
Lia kembali menyembunyikan wajahnya dalam pelukan Jaemin.
"Jangan liat!" seru Lia.
Jaemin mengulum bibirnya, setengah mati menahan tawanya melihat tingkah sang kekasih, tahu bahwa mungkin saja Lia akan menyuruhnya pulang jika kelepasan tertawa.
"Hm." gumam Jaemin pelan sambil mengusap punggung Lia.
Tak berselang lama, Jaemin dan Lia terlelap di alam mimpi. Semoga keduanya juga berjumpa di sana.
—Fin.
A/n :
Maaf kalo banyak typonya karena aku beneran nulisnya dadakan beberapa menit lalu dan langsung aku publish.
Let's say it's my midnight thoughts about Jaelia.
(Sebenarnya, ini juga salah satu gambaran konsep cerita yang belum bisa aku publish dalam waktu dekat. So I hope you enjoy this little sneak and peek!)Jangan lupa tinggalkan feedback yaa! Karena itu semangat buatku untuk nulis cerita lainnya~
Oh iya, boleh banget mampir ke twitterku @mosvly, aku sering bikin au juga, terutama jaelia!
Makasih, ILY 🤍
KAMU SEDANG MEMBACA
Paper Hearts | Jaelia
FanfictionRewrite one thousand stories of us and in every universe I will always love you, how I do. published on 23/02/2023 🏅#4 on choijisu (31/08/2023) 🏅#1 on choijisu (24/09/2023) 🏅#1 on choilia (08/12/2023)