3

117 14 1
                                    

Pria dengan jas putih khas dokter itu menghela nafas panjang setelah membaca hasil pemeriksaan di tangan lalu melepas kacamatanya. Menoleh pada gadis yang nampak menunggu dengan tenang tersenyum duduk diseberang mejanya.







"Maaf Lia. Ini sudah sangat buruk..."






Mendengar hal itu, gadis itu masih tersenyum dan mengangguk pelan. Meski begitu, tubuhnya tak bisa berbohong disaat rasanya mulai dingin gemetar sambil memainkan jarinya satu sama lain.



"Eeemmm... Bisa resepkan saja obatnya, dok? Yang seperti biasa saja..." Ucap Lia membuat sang dokter menghela nafas lagi. Dia tahu, dia tak bisa melakukan apapun untuk Lia karena mereka sendiri berada dibawah kendali yang sama. Satu tangannya meraih buku resep dan satu lagi mengambil pulpen di sakunya lalu mulai menulis.





"Ini hanya obat biasa dan pereda nyeri, Lia. Bukan untuk menghambatnya..."





"Saya tahu, dok. Kira-kira berapa lama lagi waktunya?"





"Melihat dari hasil tes dan kondisimu sekarang, saya tak yakin itu akan bertahan lebih dari yang saya duga sebelumnya. Bahkan akan lebih buruk dari itu jika kau tak juga mendapat pengobatan lebih lanjut..."  Ucap sang dokter tak yakin. Ia hanya memberikan kemungkinan terbaik saja, berharap tak akan melunturkan senyum si gadis.





Sang dokter merobek kertas resepnya sambil menyerahkannya pada pasien muda itu. Lia pun menerimanya dengan senyumnya. Senyum yang bahkan dokter itu ingat sekali dari mana gadis itu mendapat copy-an nya.






"Terimakasih, dok..." Ucap Lia tersenyum lebih lebar lagi.






Ia pun membalas senyuman gadis itu dengan senyuman yang dipaksakan. Ingin membantu, tapi sulit. Dan kalaupun mendapat izin sekarang, akan terlambat. Ya, sudah terlambat. Karena jika operasi dilakukan pun kemungkinan berhasilnya sangat kecil mengingat obat-obatan yang Lia minum bukan hanya meredakan nyeri tapi juga memperparah kondisinya sebagai efek samping.



"Empat hari lagi acaranya. Dokter akan datang?" Tanya Lia sembari bangkit dan merapikan tali tas di punggungnya.






"Hhmmm... Bagaimana denganmu? Kamu bisa datang dengan saya..." Tawar sang dokter yang dijawab senyum dan gelengan oleh Lia.




"Terimakasih dok. Tapi lebih baik saya tak datang. Oh iya, boleh saya titip sesuatu?" Tanya Lia sembari kembali melepas dan membuka resleting tasnya setelah mendapat anggukkan oleh sang dokter.



"Apa?"

Lia mengeluarkan sebuah kotak ukuran sedang berwarna biru navy dengan pita emas mengikatnya lalu meletakkannya di depan sang dokter. Ia bisa melihat bagaimana tatapan penuh harap dan sendu dari gadis itu yang masih tak berpaling dari kotak yang sudah berpindah ke tangannya itu.




"Titip nanti di hari pernikahan mereka. Jangan bilang dari saya ya dok..." Pinta Lia yang diangguki oleh sang dokter.


"Hhmmm... Kau akan pulang naik apa?" Tanya sang dokter mengalihkan topik pembicaraan.



"Bis?" Jawab Lia agak ragu karena ia biasanya akan naik bis atau taksi. Entah yang mana yang lebih dulu ia temukan nantinya.


"Baiklah. Hati-hati di jalan, oke?"

Lia mengangguk tersenyum lalu membungkuk pelan pada sang dokter yang sudah lima tahun ini merawatnya dengan baik. Tak seperti teman-teman sang papa yang lainnya. Biasanya ia akan mendapatkan tatapan sama dinginnya dari para sahabat sang papa entah yang mendadak berkunjung ke mansion ataupun tak sengaja bertemu dengannya.



"Terimakasih banyak dok selama lima tahun ini sudah berusaha banyak untuk saya. Dokter adalah salah satu orang yang akan paling saya rindukan..." Ucap Lia yang entah kenapa membuat lidah sang dokter terasa kelu seketika. Bibirnya terasa gemetar dingin dengan mata yang mulai berkaca-kaca melihat senyum tulus dari wajah pucat si gadis muda dengan tubuh yang selalu berisi bekas memar setiap melakukan pemeriksaannya.




"Jauhi dia, Lia. Sudah cukup untukmu sekarang..."














Lia membalasnya dengan senyumannya lagi sembari memakai kembali tasnya.






"Untuk yang terakhir, dok. Setidaknya saya masih boleh kan memiliki satu harapan yang walaupun itu mustahil, namun setidaknya saya masih bisa bahagia dengan harapan saya..."





"Saya permisi,dok..." Lia kembali membungkuk lalu keluar dari ruangan itu dan setelah beberapa saat sang dokter yang masih merasa terbeban dengan pikirannya mendadak penasaran dengan isi kotak hadiah Lia.






"Jika aku melihatnya, dia tak akan tahu,kan?"







Ia mulai membuka pita yang menahan tutup kado itu lalu setelah ia buka isinya membuatnya tersenyum kecut. Entah sudah berapa lama gadis itu mempersiapkan hadiah itu yang mana seandainya dirinya yang ada di posisi sahabatnya mungkin dia akan sangat bersyukur memiliki anak seperti Lia. Ia masih ingat betul kapan ketika dirinya mengantarkan Lia pulang setelah pemeriksaan namun gadis itu meminta untuk mampir ke toko bahan karena ingin membeli benang rajut baru yang warnanya sama persis seperti hadiah pada kotak itu.




"Entah ini akan menjadi kali keberapanya aku akan melihat keluarga yang menyesal setelah kehilangan orang yang berharga dalam hidupnya..."









































.
.
.
.








Forgive Me || EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang