end

219 13 4
                                    

Air mata menetes membasahi pemakaman yang bunganya saja masih belum kering sempurna. Katakanlah itu karena efek hujan yang memang selalu turun padahal masih belum musimnya. Membuat kelopak maupun buket bunga yang ada di pemakaman itu nampak masih terawetkan. Ditambah lagi para remaja yang rutin datang kesana dikala masih hangatnya merindukan sang sahabat membuat tumpukan kelopak mawar itu makin menebal.







"Kau sudah puas sekarang? Ini yang kau mau?"







Air mata kembali menetes dan mulai mengalir mengikuti alur yang mengukir nama pada batu nisan berwarna putih itu.





"Saya sudah menangis untukmu. Menangis karena dirimu. Kau puas sekarang?"




"Lihat? Entah bagaimana kau berhasil membuat rajutanmu ini pas di tubuh saya. Sangat pas dan sempurna..." Ucapnya sembari merentangkan tangannya seakan menunjukkan Hoodie coklat yang tengah ia gunakan.

Diliriknya makam baru lain disebelah makam Lia yang sengaja ia buatkan disana.




"Kau bahkan memilih menyusul putrimu juga. Putri yang tak pernah kau temui, namun berhasil meruntuhkan semua kekuatanmu selama ini untuk bertahan hidup..."



"Tapi kenapa aku tak pernah memiliki ikatan seperti itu? Seharusnya aku merasakannya lebih awal. Setidaknya, aku bisa menghentikan semua ini terjadi dan membuatnya tetap hidup meskipun akhirnya dia akan membenciku..."










Donghae berlutut, mengusap nisan putih milik sang putri penuh sayang. Usapan yang mungkin seumur hidupnya selalu Lia harapkan darinya namun tak pernah gadis itu dapatkan.





"Kau berhasil... Kau berhasil membuat saya kalah dengan permainan saya sendiri. Kau berhasil membuat kebencian menjadi cinta yang jauh lebih besar dari kebencian saya sebelumnya padamu..."





"Kau rubah kecil yang licik. Kau menggunakan Jeno karena dia persis dengan saya? Kau benar-benar licik. Kau menyadari betapa miripnya dia dengan saya hingga kau selalu ingin berada di dekatnya..."






Donghae menghapus air matanya dan menengadah menatap langit yang mulai menggelap seiring dengan tenggelamnya sang Surya.






"Kau curang, Lia. Kau melukai banyak orang disini sedangkan kau bisa tertawa bahagia disana sekarang melihat kehancuran kami disini. Kau... Kau bahagia-"














































"-Kau bahagia melihat kehancuran papa disini..."





Donghae menelungkup kan kepalanya di bantu nisan putrinya dan menangis terisak.





"Papa hancur karena mu, sayang..."























































Jeno menerawang tangannya yang ia angkat tinggi dengan tubuh berbaring pada ranjang ukuran kecil namun nyaman untuknya. Menggerakkan jari jemarinya seakan menggapai dan menggenggam sesuatu yang telah tiada lalu tersenyum tipis.






"Aku mirip sama dia ya, Lia? Karena itu kamu suka banget nempelin aku. Tiap hari kamu genggam tangan aku dan ngeliatin aku yang mirip banget sama dia. Karena dia gak bisa ngasi kasih sayang yang kamu mau..."








"Harusnya aku dari awal nanya ke om Minho tentang kamu. Apalagi kamu tiap sakit selalu bilang udah berobat ke rumah sakit tempat dia kerja. Harusnya aku peka dan pasti bisa tau lebih awal..."









Ia menurunkan tangannya dan mengusap gelang milik Lia yang kini ada padanya. Membalikkan tubuhnya hingga tengkurap dan menatap foto mereka berlima yang terpajang di atas meja sisi ranjang. Foto yang seingat Jeno mereka ambil ketika acara outbond sekolah.







"Kamarmu, aku pinjem ya? Gak sering, paling setiap aku kangen sama kamu doang. Ya walaupun itu pasti setiap hari, sih. Mau gimana lagi? Salahmu yang setiap hari selalu buat aku ketergantungan sama keberadaan mu. Disekolah aja rasanya aneh kalau jam istirahat ke kantin tanpa kamu megang tanganku..." Ucap Jeno tersenyum. Ia bisa melihat pantulan senyumnya sendiri dari kaca bingkai foto itu lalu tertawa pelan.





"Mata kita sama ternyata..."















"Hah...."





Jeno kembali membalik tubuhnya dan melihat sekeliling kamar yang lampunya telah menyala karena diluar gelap sudah menyapa. Meski sudah cukup lama, ia masih bisa mencium aroma yang sama di ruangan itu. Apalagi jika malam begini entah kenapa aroma bunga mawar di sekitar rumah kecil itu seakan menyeruak lebih kencang.






"Jangan pernah benci aku..."








Jeno tersenyum dan menggeleng pelan.





"Aku gak akan benci sama kamu karena kamu gak salah apapun. Tapi aku benci kamu karena kamu nyerah buat bertahan disini untukku, Lia..."

























.
.
.












The end























.
.
.







Forgive Me || EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang