"Matamu begitu biru, biru gelap."
"Kamu menyukainya?"
"Kamu bercanda? Aku sangat, sangat, sangat! Menyukainya!"
_______________
Sebagian celana telah diangkat hingga ke lutut, air tak tenang sesekali meninggi ke betis atas wanita ini. Riakan ombak kecil itu hanya datang dan pergi tanpa peduli kehadiran satu manusia ini. Seolah menjadi matahari malam, cahaya bulan menyinari sepenuhnya sang hamparan samudra. Melangkah dua kali dengan langkah-langkah lebar, celana itu akhirnya basah hingga pahanya. Dinginnya udara malam sudah tak bisa dibendung lagi, namun rasa rindunya mengalahkan semua itu, dia berusaha untuk mencapai tengah samudra dengan perasaan takut yang masih dia simpan.
Dirinya itu tak pernah menghampiri tengah laut yang kelam, dia hanya berani berdiri di pinggiran pantai nan dangkal, pantai mana pun itu. Dia hanya menyaksikan terang dan gelap berusaha saling dominan, laut membawa kegelapan, sedangkan bulan berusaha untuk selalu menemani luasnya air yang biru kehitaman. Tangan itu sekarang hanya berada di antara tubuhnya, tak meraih lagi seperti dulu, kali ini dia berusaha untuk melangkah lagi, dua langkah lagi.
Namun tak bisa, sekarang, dia sangat takut dengan dalamnya laut.
Sekali lagi dia ingatkan dirinya, dengan lirih dia berkata, "Bumi ini sangat luas, bagaimana bisa aku menemuimu lagi." Kata-kata yang selalu menjadi keluh kesah hatinya setiap saat.
Matanya biru gelap, bukan karena pantulan samudra. Terangnya cahaya bulan tidak tercerminkan dalam lingkaran mata itu, gelapnya bahkan sama dengan kelamnya air laut di tengah malam yang sepi tanpa penunjuk arah. Laut tanpa bintang.
Bintang-bintang itu kadang setia, kadang tidak. Tapi sekarang, mereka hadir dalam jumlah yang tak terbatas, menyaksikan wanita ini berdiri dalam waktu yang lama menatap kejauhan. Tak ada yang melarangnya melakukan semua ini, karena dia tak akan sanggup untuk melangkah lebih jauh. Dia tak memiliki keberanian itu, dirinya tidak lemah, tapi kenangan itu masih saja tersimpan dalam ingatannya. Seolah abadi, tak ditelan masa.
Tak ada alasan untuk tersenyum saat melihat sunyinya samudra, napas yang mengganggu selalu menemaninya setiap saat, detak jantung yang berisik pun selalu setia dalam setiap hidupnya. Balutan suhu tubuh yang hangat selalu menandakan dirinya untuk menjalani hidup, lagi dan lagi. Dia bahkan tak sanggup lagi mengulang hari, sebab sosok yang ingin dia temui tak kunjung hadir melengkapi hari.
Tidak hanya satu atau dua tahun dia menunggu. Tidak juga sepuluh atau dua puluh tahun dia mencari, tapi lebih dari itu. Satu abad pun telah dia lewati, dua abad hingga tiga abad lamanya. Dia telah mencari selama itu untuk menemui sosok yang sama dengan semua ingatan dalam benaknya.
Tapi tidak ada, harapan itu kian menipis. Sang pemilik mata biru kini hampir menyerah.
Menunggu atau mencari, dia melakukan semuanya.
"Kamu bilang akan kembali, kamu membuatku menunggu selama ini." Tak ada tangisan, dia sedang tak bersedih, sekarang suaranya sedikit marah dan kecewa, mata itu tak pernah teralihkan dari gelapnya langit dan tenangnya garis samudra, dia berkata lagi, "Kamu menyiksaku dengan perasaan ini, kamu!" Dia terpejam dan mencoba menenangkan amarahnya, "Kamu selalu masuk dalam mimpiku, mengingatkanku akan kedatanganmu. Atau.." Matanya terbuka lagi dan melihat arah depan dengan tatapan tajam, "Atau itu hanya ilusi? Apakah aku memang ditakdirkan sendiri, selamanya?" Alisnya bersatu, ternyata marah itu tak surut dari tadi, "Jawab aku! Kamu sebenarnya memang tak pernah ingin kembali, bukan!?" Air pantai yang dingin itu menerpa kakinya beberapa kali, namun dia abaikan.
Kesunyian semakin terasa saat semua yang dia tanyakan tak kunjung mendapat jawaban. Jangan salahkan alam yang terbentang luas, pertanyaan itu memang dilontarkan untuk memberi ruang napas dalam hati yang penuh gemuruh. Dia berusaha untuk membuang semua beban yang selalu masuk setiap saat, ketika paras cantik itu masuk dalam bayangan jelas di benaknya. Dia hanya ingin melampiaskan semua rasa rindu itu pada penghuni samudra yang tak kunjung hadir ke dalam hidupnya.
"Kamu.." Dia menahan kata-kata kasar, seolah menimbang apa yang harus dikatakan, akhirnya dia berkata dengan keras dan lantang, "Kamu pembohong!"
Teriakannya tak mengubah apa pun, semua masih tampak damai dalam posisi mereka masing-masing, seolah bebatuan, ombak, samudra, langit, bulan dan bintang mengabaikan teriakan itu. Namun, ada satu yang menjawabnya.
Angin.
Angin halus melewati mata wanita itu dengan lembut, wanita yang berteriak ini seketika memejamkan matanya. Dia tak bisa melihat apa pun, kecuali hitam. Lalu dia berkata, "Selalu seperti ini." Entah itu jawaban atau hanya kebetulan, angin selalu menyapa matanya yang biru gelap itu.
Dengan pelan dia buka mata itu lagi, lalu pandangannya kembali menyapa bumi luas itu, dia berkata dengan kecewa yang sama, "Aku akan pergi."
Lagi, mencarimu di tempat yang berbeda.
Berbalik membelakangi samudra, mata itu kembali sendu. Tak terang dan tak bersemangat, langkah kaki mulai mendekati pasir pantai, sekarang pasir itu menyatu dengan kakinya yang basah. Masih pada perasaan yang sama, tatapannya masih bersedih, seolah penuh tanya dan kebimbangan, dia sungguh ingin sebuah jawaban dari satu pertanyaan.
Kapan?
Kapan kita bertemu lagi?
Menghela napas cukup dalam, dia berlalu dari pantai yang sepi itu. Tidak melihat ke belakang sekali pun, langkah itu menjauh dengan cepat hingga dia menemukan alas kakinya dan kembali ke dalam mobil di pinggir jalan.
Freen Samman, itulah namanya.
Lagi, tentang sebuah penantian, bukanlah hal yang mudah. Sampai sekarang, dirinya selalu mengingat kata-kata akhir sang wanita itu.
Dalam gelapnya samudra, wanita itu menyampaikan isi hatinya, 'Tunggu aku, aku akan kembali. Cari aku, ingatkan aku tentangmu lagi, Freen.'
Author_Lagibosan
Mempersembahkan
Dark Ocean
"The dark blue eyes need her soulmate back."
KAMU SEDANG MEMBACA
DARK OCEAN - FREENBECKY
FanfictionLautan, samudra, thalassa adalah satu artian yang sama. Misteri selalu melekat erat pada dalamnya samudra. Diiringi oleh kisah hidup seorang wanita yang terdampar di pulau tak berpenghuni, bertemu dengan salah satu misteri samudra. Satu kisah penant...