SA - Bab 4 : Kelas Baru

750 113 12
                                    

2017

Kata orang, kelas dua belas berlalu begitu cepat. Wanda dan Diba, yang awalnya ragu akan hal itu, kini harus menerima kenyataan. Rasanya baru kemarin mereka berbagi rahasia tentang kekaguman mereka pada kakak kelas dua belas, tapi sekarang, mereka sudah menyaksikan perpisahan yang begitu mendalam.

Di sudut belakang, mereka berdua berpelukan erat, tangis pecah tak tertahankan.

"HUAAA, KITA UDAH GAK BISA NYASAR DI GEDUNG DUA BELAS LAGI!" Diba berteriak.

"HUAAA, UDAH GAK ADA PEMANDANGAN INDAH DI LAPANGAN BASKET!" Wanda menimpali, air matanya semakin deras mengalir.

"HUAAAAA."

Diana, yang melihat tingkah mereka, hanya bisa menggeleng. "Ya Allah, lebay banget sih tu dua orang."

Fandi, sang ketua kelas, tiba-tiba masuk dan langsung memberi instruksi, "Masuk! Ada tugas dari Bu Sufi." Instruksi ini kontan membuat semua anak di kelas sebal.

"Buset, ngapa ngegas banget sih Bu Sufi?" Anggi mendelik, merasa terganggu karena dia sebenarnya ingin melihat acara pelepasan balon dari anak kelas dua belas.

Wanda mengusap sisa air matanya. Meski ia sudah berhenti mengagumi KMH (Kakak Maskulin yang Hebat), kenyataan bahwa pria itu akan pergi dan menikah tetap berat untuk diterima.

"Mau izin ke toilet," Wanda berbisik pada Diba. Tanpa ragu, mereka berdua langsung menuju toilet besar di dekat kelas darurat, bukan toilet kecil di samping kelas. Toilet itu lebih luas dan memiliki cermin besar, sempurna untuk membenahi penampilan setelah menangis.

Wanda memandangi wajahnya di cermin, menutupi seluruh mukanya dengan tisu, sementara Diba sibuk menatap pria idamannya dari kejauhan, KMB, yang sedang berlarian memegang balon.

"Gini amat ya, jadi pengagum rahasia," gumam Diba.

Wanda mengangguk setuju, matanya melirik kelas darurat, tepat ke bangku belakang kelas sepuluh tujuh. Namun, penghuni yang ia cari tidak ada. Ia menghela napas. "Iya, gini amat," gumamnya pelan.

Sulit sekali menemui Amar akhir-akhir ini. Pikiran itu kembali mengganggu pikirannya—Amar sudah punya pacar, udah nggak ada gunanya lagi.

Setelah beberapa saat di toilet, mereka kembali ke kelas. Wanda berjalan lebih dulu, sementara Diba sempat menyapa teman SMP-nya di jalan. Saat berbelok menuju kelas, Wanda tiba-tiba berhenti.

Bruk!

"Aduh! Napa berhenti, sih?" ringis Diba di belakangnya.

Wanda merasa deja vu. Tubuhnya bertabrakan dengan seseorang. Kakinya, yang biasanya gesit, seakan tak bisa menghindar, terlebih setelah Diba menabraknya dari belakang. Lalu ia sadar. Orang di depannya adalah...

"Lo nggak punya mata, Dib?" suara itu terdengar familiar.

Wanda tertegun, mendongak. Itu Amar!

Diba dengan santai menimpali, "Ya makanya jangan berdiri di sudut!"

Wanda bingung. Sejak kapan Diba dan Amar begitu akrab? Dulu, Amar selalu terlihat malas bertemu dengan Diba. Wanda ingin bertanya, namun ia takut Diba akan curiga. Diba terlalu peka jika bicara soal cowok.

Yang lebih membuat Wanda terheran adalah Amar tidak memarahi dirinya. Padahal, dia yang menabraknya, bukan Diba. Namun, lagi-lagi, ia merasa dicueki, seperti dulu.

"Ayo, Nda! Ngapain bengong?" Diba menariknya, sementara Amar dan teman-temannya sudah berlalu.

Wanda menoleh ke belakang, menatap punggung Amar yang semakin jauh. Matanya membelalak ketika ia melihat Amar juga menoleh ke arahnya. Cepat-cepat ia memutuskan kontak mata itu dan berjalan menuju kelas.

Secret Admirer Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang