SA - BAB 37 : Pengakuan

261 45 44
                                    

2024

___

Melihat Wanda lagi untuk pertama kalinya setelah empat tahun seharusnya menjadi momen yang membahagiakan-sesuatu yang selama ini Amar pikir akan ia nantikan. Tapi kenyataannya tidak seperti itu. Ketika ia melihat sosok Wanda di pangkalan, kenangan yang selama ini ia coba kubur dalam-dalam justru menyeruak kembali. Hatinya berdebar, namun bukan karena kebahagiaan. Ini rasa yang jauh lebih rumit.

Amar mencintai Wanda, itu tidak pernah berubah. Bahkan di masa-masa paling sulit dalam pendidikan militer, pikiran tentang Wanda selalu hadir, memberikan kekuatan baginya untuk terus maju. Tapi perasaan itu juga yang membuatnya merasa terluka. Wanda adalah alasan di balik sebagian besar keputusan besar yang ia ambil-termasuk menjadi TNI. Semua itu, meski tak pernah terucap, adalah bentuk pengabdian yang diam-diam ia persembahkan untuknya.

Amar menatap Wanda dari kejauhan, jantungnya berdegup kencang, tapi bukan karena rindu yang membuncah. Ada sesuatu yang lebih berat di dadanya, sesuatu yang tak bisa ia utarakan meski seluruh tubuhnya menjerit ingin menghampiri perempuan itu. Wanda, perempuan yang selalu ada di pikirannya selama bertahun-tahun, kini berada hanya beberapa langkah darinya. Tapi, semuanya berbeda sekarang. Wanda bukan lagi sosok bebas yang bisa ia impikan.

Ia sudah tahu, sejak sebelum pertemuan ini terjadi, bahwa Wanda kini bertunangan-dengan sepupunya, Aslan. Kabar itu menghantam Amar seperti badai yang tak bisa dihindari. Sepupu yang selalu ia anggap keluarga, ternyata adalah orang yang kini mengikat hati perempuan yang selama ini ia cintai diam-diam. Rasanya seperti dijebak di antara dua dunia: satu dunia yang ingin memperjuangkan cinta, dan dunia lain yang penuh dengan kesetiaan pada keluarga.

Amar menarik napas panjang, mencoba mengabaikan dorongan untuk melangkah mendekati Wanda. Bagaimana mungkin ia bisa mendekati seseorang yang sekarang sudah terikat dengan keluarganya sendiri? Wanda bukan lagi miliknya, meski dulu pun ia tak pernah benar-benar memiliki keberanian untuk mengatakan apa yang ia rasakan. Ironisnya, ketika ia akhirnya punya kesempatan untuk mengungkapkan segalanya, waktu telah mengkhianatinya.

"Gue nggak bisa," batin Amar, menggenggam jemarinya kuat-kuat. Melihat Wanda tersenyum di kejauhan, membuat hatinya semakin terkoyak. Senyum itu dulu miliknya, atau setidaknya begitu ia berharap. Tapi sekarang senyum itu adalah milik Aslan-sepupunya yang selama ini selalu menjadi teman seperjuangannya.

Maka, Amar memilih diam. Mengabaikan Wanda, seolah-olah pertemuan ini tak berarti apa-apa. Itu satu-satunya cara agar ia bisa melindungi perasaannya, juga melindungi Wanda dari kebingungan yang mungkin muncul. Ia mencintai Wanda, tentu saja. Cinta itu tak pernah padam, hanya terpaksa ia kubur dalam-dalam. Karena baginya, cinta bukan hanya tentang memiliki, tapi juga tentang melepaskan ketika seseorang yang ia cintai sudah bahagia dengan orang lain.

Tapi dalam diamnya, ada ribuan kata yang ingin ia sampaikan.

Dalam diamnya, Amar merasakan ribuan kata membanjiri pikirannya, tapi semuanya terkunci di bibirnya. Jika saja ia bisa mengatakan apa yang sebenarnya ia rasakan, mungkin kata-katanya akan terdengar seperti ini:

"Wanda, gue udah lama nunggu kesempatan buat ketemu lo lagi. Gue nggak pernah berhenti mikirin lo, bahkan ketika jarak memisahkan kita. Tapi sekarang, gue cuma bisa berdiri di sini, ngelihat lo dari jauh. Lo udah tunangan sama Aslan, sepupu gue. Gue nggak mungkin ngerusak kebahagiaan lo. Lo milik dia sekarang."

"Gue cinta sama lo sejak lama. Tapi gue nggak pernah punya keberanian buat bilang. Sekarang, semuanya udah terlambat. Gue harus jaga jarak, karena perasaan gue nggak ada artinya lagi. Lo udah pilih jalan hidup lo, dan gue harus terima kenyataan itu."

"Tapi kenapa hati gue masih terus ngikutin lo, meskipun gue tahu gue nggak boleh? Kenapa setiap kali lo senyum, gue ngerasa hancur karena tahu senyum itu bukan buat gue?"

Secret Admirer Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang