🌻 1 🌻

1K 82 36
                                    

Lima bulan tidaklah singkat dalam menjalani sebentuk hubungan. Beraneka aktivitas baru yang semula canggung telah menjadi rutinitas menyenangkan bagi Hinata. Datang ke apartemen Naruto merupakan satu dari sekian banyak kegiatan sehari-harinya. Pagi-pagi sekali dia mempersiapkan beragam hal. Seperti memasak sarapan, membawa baju-baju yang sudah disetrika dan juga merapikan ruangan pemuda itu.

Selagi menata makanan ke permukaan meja, pandangnya berhenti pada tumpukan berpuluh-puluh bingkisan di lantai. Naruto tak berhenti mendapatkan segala macam hadiah dari gadis-gadis pengagumnya. Bahkan ketika mereka berjalan bersisian, para remaja itu pun tetap bergantian menyerahkan bentuk apresiasinya terhadap eksistensi si Ninja Nomor Satu di Konoha.

"Hin--" Berujung Hinata tersentak oleh teguran sekian. Spontan menengok sekadar untuk menyaksikan penampilan Naruto dalam konsisi setengah telanjang. "Kenapa melamun?"

"Tidak, aku tidak melamun." Lalu, mukanya yang sudah memerah dialihkan ke lain arah. Sungguh malu rasanya dan dia belum terbiasa melihat kondisi Naruto yang sedikit toples tersebut.

"Boleh ambilkan pakaianku? Aku tahu kamu tidak leluasa." Ini mengenai Naruto yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan cuma selembar handuk di pinggang serta selembar lagi untuk mengeringkan rambutnya.

"Maaf," tanggap Hinata sembari menyerahkan setelan hitam kesukaan si pemuda Uzumaki.

"Harusnya aku 'kan? Aku yang membuatmu tidak nyaman begitu."

"Aku coba agar terbiasa."

"Jangan memaksakan diri. Ini bukan termasuk sesuatu yang penting untuk ditaklukkan."

"Apapun yang berhubungan denganmu selalu penting di mataku, Naruto."

"Kamu ini manis sekali." Lengannya terangkat demi menunjukkan satu afeksi yang juga terhitung ke dalam kesukaan Hinata. Sapuan lembut dari jemari panjangnya turun ke puncak kepala si gadis Hyuuga. "Sini, duduk di sampingku! Kamu masak segini banyak, maka bantu aku menghabiskannya." Tidak perlu waktu panjang dalam mengenakan kostum kebanggaannya.

"Aku sudah makan bersama ayah dan Hanabi di rumah."

"Tapi, masih sanggup untuk menyuapi aku 'kan?" Senyum manisnya menghampiri. Itu sebagian dari tingkah menggemaskan Hinata, menurutnya.

Dan Hinata tidak perlu menimbang ulang saat mengambil posisinya di sebelah si pemuda Uzumaki. "Makanlah sepuasnya. Kamu butuh tenaga saat melaksanakan misi dari Rokudaime."

"Berat badanku naik semenjak kita pacaran. Kamu dengan telaten mengurusku--apa kamu bahagia? Aku mesti sering-sering menanyakannya, agar di sini tidak hanya kamu yang berjuang. Jadi, katakan sesuatu kalau memang kamu merasa itu dibutuhkan. Jangan memendam apapun! Aku memikirkan dirimu, Hinata. Kamu mengerti?"

"Baiklah. Aku tidak akan menyembunyikan apapun dari kamu."

"Terima kasih." Dan melalui satu kecupan kilat itu, Hinata telah kembali merona dibuatnya. "Nanti bantu aku membuka semua kado-kado itu, ya? Mau 'kan?"

"Hem, kamu sangat disukai sekarang."

"Aku hanya menyukai, Hinata." Sedangkan si gadis Hyuuga hampir kehilangan kepercayaan diri saking rajinnya dia tersipu oleh segelintir afinitas Naruto. "Jangan terus-terusan malu. Aku ini pacarmu. Hal begini awam di antara sepasang kekasih, sayang."

"Maaf, aku memang tidak separah dulu, hingga pingsan ketika berdekatan sama kamu. Dadaku ini sulit dikendalikan, mungkin sudah merekam jarak yang sempat membatasi."

"Gantian aku yang malu, bisa-bisanya kamu merayuku seperti itu."

Mereka tetap pada adegan inti, sungguh. Di mana Hinata sabar menyuapi pemuda bongsor di seberangnya. Namun, dilengkapi pula obrolan ringan cenderung intim dan menyentuh kewarasan. Bagaimana cara keduanya supaya tidak tergiring perasaan?

"Tidak, itu kejujuranku."

"Tahu. Wah, pacarku benar-benar manis. Kalau seperti ini terus, aku jadi inginnya hidup bareng kamu Hin, sampai mati."

"Makan dulu, baru cerita lagi."

"Takut malu?"

"Bukan, ehm--mungkin."

"Dasar, plinplan! Aku senang kamu yang berani begini, Hin. Berhenti menahan diri, oke?"

"Aku coba lagi. Dan tolong jangan bosan, ya. Aku tidak bisa segitu ekspresif kayak Sakura atau Ino."

"Kamu berbeda. Aku sekadar ingin kamu keluar dari keraguan, pasti menyakitkan dipendam."

"Aku tidak pernah keberatan ataupun menyesal. Setimpal sama apa yang aku peroleh--pengakuan kamu."

-----


Laceena

NARUTO NINDEN: Hitotsu ni NaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang