"Hari ini ada misi?" Jemari Hinata sibuk mengangkut piring-piring ke wastafel untuk kemudian mencucinya. Dan Naruto masih tampak menikmati segelas susu yang tetap menjadi kebiasaan dia walau sudah segini dewasa.
"Belum tahu. Aku menunggu Kakashi-Sensei. Kalau dipanggil ke kantor, kemungkinan ada." Di akhir kata tadi, Naruto beranjak mendekat ke wastafel. Tubuhnya yang lebih besar tak ayal menutupi, sengaja membiarkan dadanya serta punggung Hinata bersentuhan secara samar di antara kain masing-masing. "Aku dapat hadiah apa dari kamu? Hari ini ulang tahun aku, loh." Sedikit bermain-main dengan pacarnya yang pemalu ini tentu tidak masalah bukan? Alhasil, dua tiga inchi badan dimajukan hingga Hinata praktis tersentak saat dapat merasakan himpitan kehangatan di balik garmen mereka masing-masing.
"Naruto, aku tidak lupa."
"Kenapa gemetar? Kamu tidak suka seperti ini, menempel denganku?"
"Tidak begitu. Jangan keliru!" Kepala menunduk, walau rona merah muda di pipinya bisa dipandang jelas oleh Naruto. "Kamu cuma menggodaku, iya 'kan? Terkadang aku masih kaget menerima serangan seperti ini? Setidaknya aku tidak pernah pingsan lagi, lalu merepotkanmu." Naruto tertegun, mendengkus ketika perasaan bersalah justru merayap ke permukaan benak. Seharusnya dia tidak menjahili Hinata setelah semua perhatian yang diberi pacarnya ini sejak pagi-pagi sekali.
"Aku salah, ya?! Maaf. Tadinya kupikir akan lucu kalau bisa melihat pipimu yang tembam itu jadi merah seperti Maruko-Chan." Kontan si empu yang dimaksud mendongak, menampakkan kelopak bundar pembingkai mata kelabu melebar sempurna. "Yang ini juga lucu, matamu terlalu bulat mirip kelereng."
Keduanya betah berdempetan, dengan Hinata yang hanya mengarahkan kepala dan inderanya sejajar si Uzumaki. "Syukurlah." Sejemang Naruto mengernyit. Entah apa yang ingin diucapkan Hinata, sepenggal kata menggantung demikian dapat membingungkan tanggapannya. "Aku senang karena bisa menghiburmu," sambung gadis ini. "Aku yang kaku. Kita berdekatan setelah bertahun-tahun aku mengira keinginanku hanya sebatas mimpi. Jadi, saat segalanya nyata dan bisa dibuktikan, aku justru menemukan kesulitan lain. Terkadang aku ragu mengenai apa yang mesti kulakukan supaya hubungan ini tidak cuma menyenangkan bagiku, melainkan untukmu juga."
"Hei, pikiran macam apa itu? Aku tidak akan mengungkapkan apa-apa sewaktu kita masih di bulan andaikan harapanku berbeda denganmu. Aku pun menginginkannya, Hinata. Aku ingin bersamamu dan aku menyadari satu kepuasan dan rasa nyaman berkat kedekatan kita. Apa penjelasanku belum cukup?!"
"Aku mengerti."
Pembicaraan selesai di situ. Baik Hinata maupun Naruto terjebak pada sungkan yang mereka sematkan ke satu sama lain. Hinata yang begitu menghormati si Uzumaki setara ninja-ninja pahlawan terdahulu di atas simbol cinta. Sementara, Naruto punya penghargaan besar terhadap harga diri Hinata sebagai gadis bermartabat. Beban batin tersebut menjebak insting mereka untuk bertindak lebih intim ataupun menyuarakan isi hati.
"Bagus. Saling memahami adalah satu dari beberapa hal penting yang mesti kita jaga." Tersenyum canggung, memisahkan diri dan angan dari hasrat yang tanpa tanda dan serta merta menuntut.
"Kita buka kado-kadonya sekarang?"
"Ya, mumpung aku masih bisa menemanimu. Aku berencana menjumpai Shikamaru di rumahnya. Ada beberapa hal yang perlu kami telusuri demi memastikan dugaannya."
"Ayo kita lakukan," kata Hinata serempak kaki-kakinya mendahului si Uzumaki ke tengah-tengah ruang dimana banyak kotak-kotak warna-warni tersusun di sana.
-----
With her Laceena
KAMU SEDANG MEMBACA
NARUTO NINDEN: Hitotsu ni Naru
FantasiaNaruto Uzumaki meresmikan hubungannya bersama Hinata Hyuuga. Dia tak ingin membuat semuanya menjadi sesuatu yang terus tiada disengaja terabaikan. Dan sejak pengakuan itu, dia menyadari hidupnya yang sedikit membosankan perlahan berubah dipenuhi ber...