Energy Charger

425 366 86
                                    

Energy Charger || Kategori : Cerpen remaja, Romance|| warning kata kasar, aksi tak untuk di contoh!||

***

100%

"Meira, lagi-lagi nilai ujian kamu dibawah 100! Kamu selama ini tidak pernah belajar ya?!" seorang pria paruh baya membentak seorang gadis di hadapannya. Gadis itu bernama Anjani Meira, atau sering dipanggil Meira. Wajah pria itu memerah, urat-uratnya pun mulai tampak, lengkap dengan tangan yang terkepal.

Sedangkan Meira hanya diam. Pandangannya mengarah ke lantai. Meira tidak sanggup melihat raut wajah pria yang menjadi sosok Ayahnya itu. Meira juga tidak menjawab karena ia sudah terlalu takut pada Ayahnya. Ia tidak mau salah bicara. Meira menangis dalam diamnya, entah mengapa Ayahnya itu selalu menuntut Meira untuk mendapatkan sesuatu yang sempurna. Termasuk tentang nilai, baik yang akademik maupun non-akademik. Bahkan itu sudah terjadi sejak kecil sampai sekarang ini. Padahal menurut Meira, Ia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan keinginan Sang Ayah.

"Kenapa kamu diam, Meira?! Jawab Ayah!" seru Ayahnya semakin geram pada Meira.

Meira yang dibentak sekian kalinya seperti itu, tersentak dengan degup jantung yang semakin was-was. Takut-takut kalau Ayahnya akan bermain tangan.

"M..maaf Ayah, Meira akan berusaha lagi," ucap Meira terbata-bata.

Merasa tidak puas dengan jawaban Meira, Ayahnya itu langsung melempar lembaran nilai rapot ke wajah Meira. Hinggalah kertas itu berceceran di lantai.

"Kamu selalu bilang akan berusaha tapi, mana hasilnya? Kamu selalu gagal! Kamu harus mencontoh kakak mu, dia pintar dalam segala hal! Bukannya bodoh seperti kamu! Dasar parasit! Mempermalukan keluarga saja!"

Setelah mengatakan itu, Ayahnya pun berlalu dari sana. Meninggalkan Meira yang mulai meneteskan air mata.

'Ayah, kau tidak pernah menggores luka di tubuhku, tapi kau menggoresnya di dalam, hati ku hancur, Ayah!' batin Meira meringis sejadi-jadinya.

Meira jatuh bersimpuh sembari memungut satu per satu lembar kertas nilai rapotnya. Meira mengusap kertas itu, kertas yang berisi nilai dengan rata-rata 90 itu langsung menjadi tak bermakna dimata Ayahnya. Apa salah Meira selama ini? 90 Dimata Meira adalah sebuah kesempurnaan. Orang lain belum tentu bisa mendapatkannya, apalagi yang terkenal pintar pun pasti ada masanya akan jatuh. Lalu Meira? Dari dulu ia berusaha mempertahankannya. Namun, semua itu tetap terlihat kurang untuk Sang Ayah.

Meira merasa sikap Sang Ayah semakin hari semakin keras kepadanya. Apalagi semenjak kepergian Sang Bunda. Ayahnya tak lagi sama. Ayahnya selalu membanggakan Kakaknya dan tak pernah sekalipun melihat usahanya walau sekecil apapun.

'Aku rindu Ayah yang dulu. Sangat...,'

***

85 %

Siang hari setelah makan siang, Meira bergegas menuju dapur. Tepatnya ke arah wastafel. Sudah menjadi bagian dari tugasnya di keluarga untuk mencuci piring setelah mereka semua makan. Dilihat dari raut wajah Meira, ia seperti sangat kelelahan. Ditambah matanya yang sembab karena tadi pagi ia menangis tak henti-henti. Tangan Meira pun terlihat bergetar menahan dinginnya air keran.

Prangg!!!

Dan tanpa di sengaja Meira menjatuhkan sebuah piring. Meira terkejut saat mengetahui Hal itu. Ia pun segera berjongkok untuk membersihkan pecahan piring tersebut.

"Ya ampun, Meira!!!!! Kamu ini gimana sih?! Kerja kok gak becus!" seorang wanita datang di saat Meira sedang membenahi kekacauan di dapur. Wanita itu diikuti oleh sosok laki-laki bertubuh tinggi dan tampan. Namun, ketampanannya justru membuat Meira merinding bukan main.

Thousands Of Pieces Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang