Because I'm Women (Last Chapter)

249 185 20
                                    

Beberapa bulan berlalu. Aku dan Mas Panca telah resmi bercerai. Aku pun sudah mendapatkan hak asuh atas anakku berkat bantuan Cahya. Aku memutuskan untuk kembali ke rumah orang tua ku, hanya sementara waktu sembari menunggu diriku mengumpulkan uang agar bisa membeli rumah sederhana untuk aku dan anakku tinggali. Ya, setelah perpisahan itu, ada banyak yang berubah dalam hidupku, termasuk saat ini, aku sudah mulai berkerja lagi. Aku bekerja di kantor Pak Satria sebagai sekretaris nya.

Aku bebas. Tidak akan ada yang mengaturku melakukan apapun yang aku mau. Dengan adanya dukungan dari orang tuaku beserta sahabat dekat ku, aku menjadi pribadi yang lebih kuat menghadapi rintangan hidup.

Aku ingat betul kesulitan di awal setelah berakhirnya pernikahan ku dengan Mas Panca. Kalian tahu? Rasanya sangat sakit mendengar Gina terus bertanya 'kenapa tidak bersama Papa?' atau 'Kok kita tidak pulang? Gina kangen Papa'. Ah, aku merasa seperti orang jahat saja yang tega memisahkan anak dari sosok ayahnya.

Tapi, mau bagaimana lagi? Ini semua bukan kemauan ku. Sebenarnya aku bisa saja bertahan dalam rumah tangga yang sudah terlanjur hancur-dengan faktor anak tentunya-ibarat kata aku membangun rumah dikala hujan deras yang pastinya tidak memungkinkan semen yang digunakan akan mengeras. Pasti semennya tidak akan menyatu. Meskipun menyatu, itu memerlukan kerja keras didalamnya agar bisa bertahan. Jika tidak bisa maka jalan satu-satunya adalah pergi meninggalkan bangunan tersebut. Dan kini aku melakukannya.

Hujan seperti Mas Panca. Derasnya kadang menyakitkan, seperti perkataannya yang setiap kali menusuk hatiku.

Aku sudah berusaha menyampaikan perlahan demi perlahan kepada anakku atas kondisi kami berdua. Aku mengatakan bahwa yang namanya penyatuan pasti ada perpisahan. Aku pun kerap kali mempertemukan anakku dan Mas Panca. Karena aku telah berjanji aku tidak akan melarang anakku bertemu dengan Papanya.

Oh ya, aku melupakan sesuatu. Tentang Mas Panca, sebulan setelah perpisahan itu, dia akhirnya menikah dengan Sinta. Mereka mengundangku. Aku bingung saat itu harus senang atau sedih. Sampai akhirnya seorang Pria merangkul ku untuk tetap ikhlas dengan semua yang terjadi dalam hidup. Aku pergi bersama Pria itu ke pernikahan mereka. Mengejutkan semua orang yang ada disana termasuk Mas Panca dan Sinta. Aku tidak peduli, yang aku tahu, aku diundang dan aku datang.

Ah, aku sengaja tidak mengajak anakku. Aku belum siap kalau anakku melihat Papanya bersanding dengan wanita lain. Wanita yang ia lihat saat pesta. Aku juga takut kalau anakku nantinya merasa bahwa dia tidak akan bisa lagi bertemu Papanya. Jadi biarlah waktu yang menguak segalanya.

Lagipula aku tidak lagi mendengar kabar Mas Panca sampai saat ini. Terakhir kali aku mendengar bahwa Mas Panca di alihkan ke perusahaan lain milik Pak Satria. Itu juga berita dari Cahya. Dan soal Cahya, dia sangat senang diriku ada di kantor. Hubungan persahabatan kami semakin erat. Kemana pun aku pergi dia selalu mengikuti walau kadang Pak Satria menegurnya.

Bagaimana tidak? Suatu hari, Cahya memaksa ku membujuk Pak Satria agar dirinya ikut bersama kami. Padahal waktu itu kami sedang ada rapat bersama pemilik perusahaan lain. Rapat yang didalamnya hanya ada Bos dan sekretaris saja. Cahya terus merengek hingga kami tidak memiliki pilihan selain mengajaknya.

Ngomong-ngomong aku pernah mengatakan bahwa sekretaris Pak Satria adalah Sinta. Yap, Sinta keluar dari kantor. Dengar-dengar dari orang, keluarnya Sinta adalah arahan dari Mas Panca. Mungkin Mas Panca tahu kalau aku sudah kembali ke kantor. Biarlah. Itu bukan urusan ku. Yang aku fokuskan saat ini adalah kerja dan menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari anakku.

***

"Wah! Ini beneran rumah kita, Ma?" tanya Anakku dengan riangnya sambil menelusuri setiap ruangan yang ada di dalam rumah.

Thousands Of Pieces Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang